Jumat, 06 Juni 2014

Kutukan Kucing Hitam

http://cdn.klimg.com/kapanlagi.com/p/kucinghitam06.jpg
“Pa, nggak sarapan dulu?” Hana, istri Joon, bertanya saat melihat Joon sudah keluar.

“Nggak, aku udah telat. Bang Abi minta kita semua kumpul jam 7 pagi. Soalnya ada meeting!” Joon berkomentar seraya memakai sepatunya.

Hana hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasan Joon, toh dia juga tidak mengerti apa yang Joon katakan. Dia hanya bisa melihat suaminya itu seperti orang terburu-buru. Tidak seperti biasanya.

Tanpa memanasi motor terlebih dulu, Joon langsung ngacir begitu mesin motornya menyala. Dia langsung ngebut walau masih berada di dalam gang rumahnya. Akibatnya, begitu seekor kucing hitam meloncat turun dari atas pohon, tepat di depan track jalan Joon, Joon terkejut dan langsung mengerem motornya. Sayangnya, rem yang diinjak Joon telat menghentikan laju motornya. Kucing hitam itu sudah terlindas, dan lebih parah lagi sudah hilang nyawa.


“Aduh, sial!” pekik Joon, demi melihat kucing hitam yang isi perutnya sudah terburai ke mana-mana. Bau amis mulai menguar-nguar ke udara.

Joon terdiam meragu. Di benaknya muncul dua pilihan, menguburkan bangkai kucing atau meneruskan perjalanan menuju kantor. Mau tak mau, akhirnya, Joon memilih opsi kedua. Joon kasihan dengan kucing itu, yang sudah mati mengenaskan. Karena itu, Joon merasa memiliki tanggung jawab untuk mengubur bangkai kucing itu sendiri, sehingga pasti membuat dirinya telat sampai ke kantor. Dia berinisiatif menelepon Bang Abi dan mengatakan dengan sejujur-jujurnya apa yang tengah menimpanya.

“Halo, Bang,” tukas Joon begitu hapenya telah terkoneksi dengan hape Bang Abi.

“Ya, gimana Joon?” sahut Bosnya.

“Bang, sorry nih, kayaknya gue bakal telat ngantor.”

“Kenapa emangnya?”

“Gue barusan ngelindes kucing. Mau gue urusin dulu.”

“Emang ngelindes kucing dimana lo?”

“Di gang keluar rumah gue, Bos.”

“Oh yaudah, lo urusin dulu itu kucing, nanti kalo udah selesai secepatnya lo kemari, okay?”

“Okay, Bos.”

***

Sesampainya di kantor, Joon memang telat. Meeting telah selesai. Dia cuma bisa mengabsen dirinya dan melanjutkan jalan ke toko. Sewaktu hendak keluar dari pintu, Joon bertemu dengan Mbak Indri, karyawan paling senior di bagian sales. Mbak Indri menanyakan apa yang telah terjadi secara detail pada Joon karena tadi sewaktu meeting Bang Abi—Bos mereka berdua—mengatakan jika Joon telah menabrak seekor kucing waktu berangkat. Makanya, dia akan telat ke kantor karena mengurusnya terlebih dulu.

Mbak Indri pun bertanya, “Terus apa yang lo lakuin sama tuh kucing?”

“Gue kuburinlah, makanya gue telat.”

“Bagus, lo udah ngelakuin hal yang bener,” komentar Mbak Indri, “Eh tapi, lo nguburinnya pake baju yang lo pake pas nabrak kan, Joon?”

“Nggak tuh. Gue nguburinnya pake kain bekas.”

“Duh,” Mbak Indri menepuk jidatnya, “Kenapa nggak pake salah satu pakaian yang lo pake pas nabrak?”

“Gile aja lo, baju baru dibeliin bini buat ngubur kucing!”

“Bukan gitu masalahnya, Joon. Menurut mitos, kalo ada orang yang nabrak kucing sampai mati, emang harus mengubur bangkai kucing itu secara layak. Dan dibungkus dengan kain atau pakaian yang dipakai orang itu pas nabrak si kucing. Kalo nggak, bisa-bisa yang nabrak dapat musibah.”

“Ah, lo, Mbak, masih aja percaya mitos-mitosan kayak gitu. Gue nguburin juga karena kasihan aja ngelihat kucing itu,” Joon menimpali perkataan Mbak Indri.

“Ya, gue cuma ngasih tauk lo kalau adatnya emang biasa begitu. Percaya nggak percaya sih.”

Joon mengedikkan bahu. Tampaknya dia memilih tak mempercayai mitos itu. ‘Bagaimana bisa arwah kucing mati menuntut balas?’ gerutunya dalam hati. ‘Aneh-aneh aja, urusan hidup dan mati kan sepenuhnya milik Tuhan. Lagian, hare gene masih percaya sama mitos, ck… katrok!’

Keduanya kemudian berpisah untuk pergi ke toko masing-masing. Joon memasukkan kunci motor dan setelah menyala, dia langsung bablas keliling ke toko langganannya.

Baru jalan sekitar 5 menit, Joon merasakan hape yang diletakkan di saku celana jeansnya bergetar-getar—tanda ada seseorang yang menghubunginya. Dia menepikan motornya untuk mengangkat telepon. Sebelum mengangkat, Joon sempat melihat layar hapenya sekilas. Di situ tertera nama istrinya, Hana.

“Halo, Ma.” Dari seberang telepon, terdengar suara Hana menangis sesenggukan. “Maaa… ada apa?” tanya Joon kebingungan.

“Pa, huuhuu huuhuu… Bapak nggak ada.”

“Nggak ada gimana?” Joon makin penasaran. Karena, tidak ada kabar yang mengatakan jika Bapak mertuanya itu sakit keras sebelumnya.

“Huuhuu… Bapak meninggal tadi.”

“Apa?!” Deg. Degub jantung Joon serasa berhenti sejenak mendengar pernyataan istrinya. “Inalillahi, kapan?”

“Belum lama. Katanya ditabrak motor gara-gara mau nyelamatin kucing.”

Joon mengernyit, ‘Kucing?’ Pikirannya segera melintas pada kejadian tadi pagi sewaktu dia berangkat ke kantor dan omongan Mbak Indri barusan sebelum dia jalan ke toko. ‘Kutukan kucing hitam?’

“Paaa…” Panggilan Hana memecah lamunan Joon.

“Ya?”

“Yaudah, cepet pulang. Kita ke rumah Bapak.”

“Ya, ya. Papa langsung pulang. Nih mau izin dulu sama kantor. Kamu tunggu sebentar ya?”

Joon segera mengurungkan niatnya untuk pergi ke toko dan menghubungi kantor untuk minta izin. Kemudian, dia mengarahkan laju motornya, pulang.