Sabtu, 12 April 2014

Kurma Dari Madinah

Pada usianya yang sudah uzur, sudah lebih dari 65 tahun, pak madi merasa gembira, karena putra semata wayangnya kini menjadi pejabat di pusat. Pada awal ramadhan ini, putranya kembali melakukan ibadah umrah di tanah suci. Lewat telepon, putranya minta doa restu dan bertanya”
“Bapak mau saya bawakan oleh-oleh apa?”
Pak Madi langsung menjawab tegas. “Bawakan saja kurma dari madinah !”
“Hanya itu saja, pak?” Tanya putranya lagi.
“Ya, hanya kurmah dari madinah. Terserah berapa kilo.”
Putranya tertawa. “Satu kuintal apa cukup pak?”
Pak madi juga tertawa. “Kalau kamu tidak keberatan, satu ton juga boleh.”

Pak madi ingin menjalani sisa puasa ramadhan ini dengan berbuka puasa dengan kurma dari madinah. Betapa nikmatnya mengunyah kurma dari madinah sambil membayangkan Rasulullah yang sedang berbuka puasa dengan menyantap 3 butir kurma. Dan karena Rasulullah tinggal di kota madinah, tentu kurmanya juga dari madinah.
Dalam batin pak madi, puasa ramadhan tahun ini mungkin terakhir baginya. Ajalnya terasa semakin dekat saja. Entah kapan tapi pasti ajal itu akan datang. Semua teman sebayanya sudah wafat. Dan didesanya pak madi warga yang paling tua.
Dan pada usianya yang uzur ini, pak madi tinggal bersama istrinya. Selama ini, pak madi sering bersitegang dengan istrinya dalam memilih gaya hidup. Pak madi lebih suka hidup sederhana, sedangkan istrinya suka hidup bermewah-mewah.

“Kita hidup di desa. Yang sederhana saja.” Kalimat ini sering diucapkan pak madi setiap kali melihat istrinya bersikap wah.
“sederhana bukan berarti tidak mewah, pak. Bagi yang mampu, kemewahan bisa dianggap sederhana.” Tukas istrinya.

Pak madi selalu mengalah. Percuma berdebat kusir dengan istrinya. Tapi pak madi selalu sedikit melihat akibat yang ditimbulkan dari sikap istrinya yang suka bermewah-mewahan. Misalnya, putranya menjadi ikut-ikutan suka bermewah-mewah.  Jika pulang ke desa, puteranya selalu membawah mobil mewah tipe terbaru yang baru saja keluar dari diler dan belum ada nomor polisinya.
Pernah pak madi memberi nasihat kepada putranya agar jangan suka bermewah-mewahan.

“Kamu pejabat Negara. Kalau suka bermewah-mewahan, kamu bisa melakukan korupsi.”
Putranya tertawa. “Bapak tak usah khawatir. Tanpa korupsi, saya bisa hidup mewah, karena punya banyak kolega dan banyak sumber penghasilan.”

Mendengar ucapan putranya itu, pak madi justru makin khawatir. Sebab, sepengetahuannya gaji pejabat Negara tidak seberapa jika dibandingkan dengan gaya hidup dan beban sosialnya. Gaji yang cukup besar bagi pejabat bisa habis untuk membayar berbagai rekening tetap bulanan, juga biaya pergaulan tingkat atas seperti menghadiri pesta-pesta.

“Kamu boleh menikmati hidupmu dengan bermewah-mewahan, tapi jangan sekali-kali melakukan korupsi dan mencemarkan nama baik orang tua.” Pak madi berpesan kepada putranya dengan suara berat. Rasanya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu gara-gara punya anak menjadi koruptor yang diberitakan di berbagai media massa.

Sampai pertengahan ramadhan, pak madi belum ditelpon putranya lagi. Dan setiap pak madi mencoba menelpon putranya selalu gagal. HP milik putranya selalu dimatikan.

“Mungkin ingin khusyuk menjalani umrah, sehingga selama di tanah suci tidak mau diganggu, pak” istrinya mencoba menghibur.
“Tapi seharusnya dia sudah pulang, bu. Jangan-jangan dia sakit di tanah suci?”
“Kalau dia sakit, pasti menelpon, dong. Kita kan orang tuanya.”

Pak madi makin cemas. Sejak ramadhan, kebiasaannya membaca Koran setiap pagi dihentikan. Begitu juga kebiasaannya menonton tayangan berita siang ditelevisi juga dihentikan. Sepanjang hari pak madi terus memperbanyak dzikir dan bertasbih.
Dengan menahan cemas, pagi itu pak madi mencoba membuka Koran yang baru saja diantar loper. Matanya langsung terbelalak membaca berita di halaman muka.
Nama putranya tertulis dengan huruf besar sebagai tersangka korupsi uang Negara miliaran rupiah. Dan sekarang dinyatakan sebagai buron atau masuk daftar pencarian orang alias DPO.
Dada pak madi langsung terasa nyeri. Dipanggilnya istrinya yang sibuk mengamati gambar-gambar desain busana baru yang dimuat di majalah.

Ketika istrinya mendekat, pak madi langsung menyuruhnya membaca berita di halaman Koran itu.
Istrinya terperanjat. “ pasti berita ini fitnah, pak. Tak mungkin anak kita melakukan korupsi.”
“Sekarang tidak bisa sembarangan memuat berita fitnah, bu. Berita ini pasti benar, sehingga ditempatkan di halaman muka.”
Isterinya menangis .

Dada pak madi semakin nyeri. Ingin segera bangkit dan berbaring di kamar tidurnya, tapi tiba tiba sekujur tubuhnya tidak bertenaga lagi. Ingin juga bicara lagi, tapi mulutnya tiba-tiba menjadi kaku.
Sejak saat itu, pak madi lumpuh dan bicaranya gagu. Dokter yang memeriksanya menyatakan pak Madi terserang stroke dan kemungkinan lumpuh permanen karena usianya sudah uzur.
Istrinya terpukul. Betapa di hari tuanya harus repot-repot merawat suami yang menderita lumpuh total. Sedangkan putra semata wayangnya menjadi buronan. Hari hari yang semula ceria dan serba  wah, kini menjadi muram dan serba susah.

Di pagi itu, pak madi baru saja dimandikan dan disuapi istrinya. Sejak menderita lumpuh dan tidak bisa bicara dengan jelas, pak madi tidak lagi berpuasa.
Tampat istrinya sangat lelah. Matanya terasa gelap, dan sekujur tubuhnya lemas. Lalu duduk di berdanda depan untuk menghidup udara segar.
Tiba tiba datang seorang kurir dari perusahaan layanan jasa titipan kilat yang mengantarkan bungkusan kardus yang dikirim putranya dari singapura.
Bungkusan kardus itu segera dibawa kekamar dan dibuka didepan pak madi. Isi bungkusan kardus itu adalah kurma dari madinah seberat 10 kilogram dan selembar surat dengan tanda tangan putranya.
Dalam kelumpuhan, pak madi mendengar istrinya membaca surat dari putranya itu.

“Maafkan saya, karena telah mencoreng nama baik keluarga. Sekarang saya sehat-sehat saja di singapura. Dan bersama surat ini, saya kirimkan sepuluh kilogram kurma dari madinah.”
Pak madi melirik sebutir kurma dari madinah yang telah dipungut istrinya dan hendak disuapkan ke mulutnya. Di mata pak madi, sebutir kuma itu bagaikan sebongkah bara panas. Tak mungkin bisa dinikmatinya. Tak mungkin bisa.

Minggu, 06 April 2014

Ronggeng Dukuh Paruk

 
Tidak sulit membuat warta mau bertambang bila orang mau menyediakan setumpuk kata pujian baginya. Di antara sesame anak dukuh paruk, warta dikenal mempunyai suara paling bagus. Tembang kegemarannya juga menjadi kegemaran setia anak dipedukuhan itu, sebuah lagu duka yatim piatu. Orang takkan menemukan siapa-siapa pengubah lagu itu yang mampu mewakili nestapa anak-anak yang didunia tanpa ayah dan emak.
Lagu yang menjadi terkenal di Dukuh Paruk semenjak belasan anak kehilangan kedua orang tua akibat racun tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu.

    Beduk tiga dalam arsa guling
    Padang bulan kekencar ing latar
    Thengkuk-thengkuk lungguh dhewe
    Angine ngidid mangidul
    Saya nggreges rasaning ati
    Rumangsa yen wus lola
    Tanpa sanak tanpa kadang
    Urip sengsara tansah nandhang prihatin
    Duh nyawa gondelana

    (Pukul tiga dini hari, aku belum mau terlena
    Bulan menabur cahaya di halaman
    Selagi aku termangu seorang diri
    Angin yang berhembus ke selatan
    Membuat hati semakin merasa
    Beginilah awak yang telah sebatang kara
    Tiada Ayah-Bunda tiada sanak saudara
    Hidup sengsara selalu menderita
    Oh, nyawa bertahanlah kau di badan)

Warta sudah berates kali menembangkan lagu itu. Idak lagi tertarik akan makna liriknya. Hanya irama itu kiranya akan ditinggal abadi di hati. Warta dan anak-anak lain Dukuh Paruk. Selesai menembangkan lagu itu, warta menoleh kepadaku. Dia melihat aku mengerti bibir, dan mungkin aku berkaca-kaca.
“Lho ?” ujar Warta tak mengerti, “apa pula arti semua ini?”
“Tidak apa-apa, Warta. Percayalah, sahabatku, tak ada yang salah pada diriku.
Aku terharu. Suaramu memang bisa membuat siapapun terharu.”

Kukira warta memandangku dari belakang ketika aku berjalan meninggalkan. Aku tak peduli dan aku berjalan sepembawa kakiku. Perjalanan yang tanpa  tujuan membawaku sampai ke lorong yang menuju perkuburan Dukuh Paruh. Seharusnya, aku melangkah bila tidak kulihat seseorang berjalan merunduk-runduk di antara batang-batang puring. Srintil ! aku tak mungkin salah, dialah orangnya.

Tak tahu aku membuntutinya, Srintil terus berjalan. Langkahnya berkelok ke kiri, langkah Srintil lurus menuju cungkup makam Ki Secangmanggala. Kulihat Srintil jongkok, menaruh sesaji di depan pintu makam. Ketika bangkit dan berbalik, ronggeng itu terperanjat. Aku berdiri dua langkah di depannya

“He, kau, Rasus ?”
“Aku mengikutimu.”
“Aku disuruh Nyai Kartareja menaruh sesaji itu.”
“Ya, aku tahu.” Sambil berkata demikian, aku melangkah pergi. Tetapi, Srintil Menarik bajuku.
“Rasus, hendak kemana kau?”
“Pulang.”
“Jangan dulu. Kita bisa duduk-duduk sebentar di sini.”

Ternyata aku tak menolak ketika Srintil membimbingku duduk diatas akar beringin. Tetapim baik Srintil maupun aku lebih suka membungkam mulut.

Seekor serangga kecil akhirnya membuka jalan bagi permulaan percakapan kami. Nyamuk berlirik hinggap di pipi Srintil. Perutnya menggantung penuh darah.

“Srin, tepuk pipimu yang kanan. Ada nyamuk.”
“Aku tak dapat melihatnya.”
“Tentu saja. Tetapi, tepuklah pipi kananmu agak ke atas, pasti kena.”
“Tidak mau. Engkau yang harus menepuknya.”
“Tanganku kotor.”

Malam terakhir di Dukuh Paruk, aku hampir gagal memejamkan mata hingga pagi hari. Srintil menginginkan agar aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ia ikut bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet.
“Bila engkau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kau kerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil di tengah malam yang sepi.
“Srin, aku belum berpikir sedemikian jauh. Atau aku tak pernah memikirkan hal semacam itu. Lagi pula, aku masih teringat betul kata-katamu dulu bahwa kau senang menjadi ronggeng.” Jawabku.
“Eh, Rasus. Mengapa engkau mau menyebut hal-hal yang sudah lalu? Aku mengajukan permintaanku itu sekarang. Dengar Rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng karena aku ingin menjadi istri seorang tentara, engkaulah orangnya.”
Masih segudang alasan dan janji yang diucapkan Srintil padaku. Sebagai laki-laki usia dua puluh tahun, aku  hampir dibuatnya menyerah. Tetapi, sebagai anak Dukuh Paruk yang telah tahu banyak akan di dunia luar, aku mempunyai seribu alasan untuk mempertimbangkannya, bahkan untuk menolah permintaan Srintil. Srintil boleh mendapatkan apa-apa dariku selain bayi dan perkawinan. Aku tahu hal ini suda cukup memadai bagi seorang perempuan Dukuh Paruk. Permintaan Srintil yang berlebihan pasti hanya didorong keinginan sesaat yang kebetulan sejalan dengan nalurinya sebagai perempuan.


Menjelang fajar tiba, kudengar burung sikatan mencecet di rumpun daun di belakang rumah. Keletak-keletik bunyi tetes embun yang jatuh menimpa daun kering. Kudengar dengung kumbang tahi yang terbang menuju arah bau tinja yang berserakan di pedukuhanku yang kecil. Rengek bayi tetangga dan keributan kecil di kandang ayam. Keretek tahi kambing yang tercurah ke atas geladak kandangnya. Kelepak sayap kampret di antara daun-daun jambu di samping rumah.

Perlahan-lahan aku bangun. Lirih sekali. Aku tidak mengehendaki terdengar derit pelapuh bambu  yang dapat membangunkan Srintil, dia masih tertidur lelap. Seperti dulu, Srintil bertambah cantik dan teduh bila sedang tidur. Dengan hati-hati, kubenahi kainnya yang acak-acakan. Ketika Srintil menggeliat, kuelus dia, seperti aku mengelus anak kecil. Tidak lama aku berdiri menatap  ronggeng Dukuh Paruk itu. Aku tidak ingin sesuatu yang berbau sentimental mengiringin keberangkatanku.

Di dalam bilik kulihat nenek, tidur miring dan agak melingkar. Sinar pelita kecil memungkinkan aku melihat gerak paru-parunya. Pelan sekali. Ah, nenekku. Mengapa bukan sejak dulu aku mencari gambar wajah emak yang selama ini kulakukan hanya membuahkan hasil keresahan. Kekeliruan semacam itu tak pernah kuulangi. Maka kutatap garis-garis kerentaan pada wajah nenek secara damai. Kemudian, ke bawah bantal, kusisipkan semua uang yang ada di sakuku.

Aku berbalik. Tak kulupakan aku sudah menjadi tentara meski tanpa pangkat. Jadi, watak ragu harus kulenyapkan.

Selesai mengenakan pakaian seragam, kusambar bedil yang tergantung di atas balai-balai bilikku. Srintil masih lelap di sana, tetapi aku hanya melihatnya sejenak. Langit di timur mulai benderang ketika aku melangkah keluar. Belum seorang pun di Dukuh Paruk yang sudah kelihatan. Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus, sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuni akan kutinggalkan. Tanah Airku yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah bersumpah tidak akan memaafkannya karena dia telah merenggut Srintil dari tanganku. Bahkan lebih dari itu, aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku member sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk Ronggeng

(Ahmad Tohari)

Di Atas Kereta Rel Listrik

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnMCdep8ReTP2zZD6ymLYlltRozB6sqj9RVkoC3Qc7c6hErxHCfYdAmbAzUIOTcRFEuWYmt84neJLaU_uRmLh2mGshZ92EjZg9-M3kEs_6g_ChzmoxN2N_9rJf5KcCQJMXBYzgpGZvFv4/s1600/eko+biasa.jpg
Tidak lama setelah itu, sekawanan remaja sekolah menengah umum seusia anak yang duduk di sebelahku, muncul dari gerbong di depan gerbong kami. Mereka masuk dengan sikap beringas dan tidak menunjukan sikap sopan. Inilah awal malapetaka itu.
Melihat kedatangan sekawanan anak sekolah itu, anak laki-laki yang baru naik dan duduk disebelahku, jadi gelisah. Dia bergeser dekat denganku.

“Tolong lindungi saya, pak. “saya sama sekali tidak terlibat dalam perkelahian itu. Aku tidak ikut-ikutan”
Dia makin cemas dan gelisah. Mungkin dia menyadari kalau dia sedang berhadapan dengan bahaya, dan dia sudah terperangkap di antara langit-langit dan dinding garbing. Tak ada tempat untuk menghindar.

“Murid-murid sekolah kami berkelahi dengan murid-murid sekolah mereka. Ada tiga korban terbunuh dari pihak mereka. Saya tidak ikut-ikutan dalam perkelahian itu. Tolong lindungi saya, pak.”
“Kalau begitu persoalannya duduklah dengan tenang di sebelahku. Tak ada yang perlu dicemaskan. bersikaplah seolah kau anakku.”
“Terima Kasih, pak.” Katanya.

Namun, semuanya terjadi di luar perhitunganku.  Dan tak dapat dihindarkan mereka pun melihat anak itu dan dapat menandai dari seragam sekolah yang dikenakannya. Seorang dari mereka datang kearah kami. Mencengkeram dan merenggut kerah baju dibagian lehernya. Terdengar benang tetas di bagian kerah yang direnggut anak itu. Mereka menyeretnya dari sisiku. Aku langsung bertindak mencegahnya. Tetapi mereka mendorongku dengan kasar, membiarkan aku terjungkal di atas lantai. Kemudian dengan sangat brutal mereka melakukan penganiayaan padanya. Sekarang gerbong itu telah berubah menjadi penyiksaan.

“Apa persoalannya? Mari kita selesaikan dengan baik-baik. Jangan bertingak seperti itu. Siapa tahu dia bukanlah orang yang kalian maksud.”
“Bapak jangan ikut campur,” kata salah seorang dari mereka. Dia memegang besi lancip seperti obeng.
“Siapapun di antara kalian yang mencoba ikut campur, kami tidak segan-segan melukainya. Tiga teman kami mereka bunuh dengan cara yang sangat kejam. Tanda pengenal sekolah mereka, mereka ikat di leher teman-teman kami seperti dari kematian. Kekejaman harus dibalas dengan kekejaman yang sama!”
“Aku tidak ikut berkelahi. Aku tidak ikut membunuh. Aku hanya dari sekolah yang sama. Tolong jangan bunuh aku,” kata anak itu.
“Diam! Tiga temang kami telah kalian bunuh dengan cara kejam. Apa pun yang kau katakana sekarang, aku tidak percaya. Kau dusta ! sekarang, jangan coba-coba berlindung dibalik kata-kata bohongmu!”
“Biarkan dia bicara, supaya jelas duduk persoalannya,” kataku.
“Diam kau orang tua!” hardik mereka. Sebuah tendangan yang luar biasa kuatnya menghantam mukaku. Aku tersungkur di lantai. Ceceran darah terasa hangat menjalar dibawah hidungku.

Anak gadis yang duduk disebelahku bergegas menghampiriku dan melindungiku dari amukan mereka. Ia memapahku ke tempat duduk semula. Dikeluarkannya kertas tisu, dihapusnya darah yang menetes di bibirku.
“Saudara-saudara sekalian, malirah kita kendurkan sejenak ketegangan saraf kita. Mari kita lupakan sejenak segala terror  yang diberondongkan kepada kita. . . .  aku dan kekasihku baru saja membeli tep recorder, suaranya sangat bagus untuk sejenisnya. Sekarang, mari kita bergembira.”

Dikeluarkannya tep recorder dari dalam kotak pembungkusnya. Dimasukkanya sebuah pita rekaman. Dipencetnya sebuah tombol disana dan didalam volume tinggi, mengumandanglah sebuah lagu. Dia raih tangan kekasihnya yang duduk bersamanya. Diajaknya berdiri, dan keduanya pun menari. Mereka diatas rel kereta listrik yang sedang berjalan laju.

“Ayo, semua menari.” Ajaknya. “mari kita lupakan sejenak segala duka. Duka yang diakibatkan segala macam kekerasan. Duka yang terjadi di ladang-ladang pembantaian. Mari kita menari. Mari kita lupakan sejenak semua itu. Mari kita menari bersama.”

Melihat tingkah kedua remaja itu, ditambah ajakanya yang menggoda , serta music pengiringnya yang merangsang, penumpang-penumpang yang banyak itu pun tergelitik ikut menari. Dia menoleh kepada dan berkata, “mari kita ikut menari, pak!”
“Taklah. Badan bapak masih terasa sakit, kau sajalah yang menari.”
“Tapi tak ada pasangan yang tersisa untukku. Ayolah. Temani saya. Tak apalah sakit-sakit sedikit. Apa kata anak-anak muda itu? Lupakan sejenak segala duka! Mari sejenak kita ikut berlupa-lupa”
“Bapak tak pantas menari bersamamu. Malu dilihat orang. Apa kata mereka nanti? Si tua tak tahu tuanya!”
“Semua orang sekarang sedang gila menari! Tak pantas kalau kita tak ikut menari di tengah orang yang sedang menari. Ayolah, pak. Ayolah. Malu bukan lagi milik orang sekarang ini. Ayolah. Lupakan sejenak segala duka! Mari bergembira.” Ditariknya tanganku.
“Saya ingin sekali menari di atas rel listrik yang sedang berjalan. Bagaimana melenggok di atas lantai yang bergoyang. Tak pernah kutemukan suasana gila seperti ini, seumur-umur. Ayolah, pak. Mumpung ada orang yang mengambil inisiatif,”

Makin ditariknya tanganku. Betul juga katanya, tak pantas berdiam diri ditengah orang yang menari. Aku pun mengikuti ajakannya. Aku ikut gila ditengah kegilaan yang gila.

Kereta rel listrik itu tiba-tiba berjalan perlahan dan berhenti. Pasangan remaja itu turun tanpa mematikan musik yang mengumandang dari dalam tep recorder yang dibawanya. Orang-orang yang menari itu ikut pula turun , sambil terus menari seolah tersihir musik yang terus mengumandang dari tep recorder itu. Aku pun ikut terpukau, ikut turun dari gerbong mengikuti irama musik yang terus mengumandang itu. Kami seolah telah menjadi tikus-tikus dalam sebuah dongeng mengikuti tiupan seruling seorang pangeran.

Begitu kakiku menginjak peron. Tiba-tiba aku teringat sepatu anak laki-laki yang tertinggal di dalam gerbong. Aku dikembalikan pada niatku. Aku telah memutuskan  hendak membawa sepatu itu ke rumah. Aku akan tunjukan kepada anak-anakku di rumah, bahwa sepatu itu merupakan wujud sebuah duka yang memilukan dari hasil perkelahian antar pelajar seusia mereka.
Hamsad Rangkuti

Jumat, 04 April 2014

Legenda : Si Jelita Boti Bertaso (Nusa Tenggara Timur)

http://www.fotografer.net/images/forum/3/3194/3194229/3194229120.jpg
Sejak pertama kali Rogo Rabi merapatkan pinisinya di pesisir selatan bukit Koto yang sekarang menjadi kampung Lomba atau Romba, tak seorang pun yang mengetahui nama asli dari saudari bungsunya. Para pedagang, orang-orang yang kebetulan melintas dan atau melewati tempat tersebut hanya mengetahui kalau saudari bungsu Rogo Rabi adalah seorang gadis berparas jelita dan cantik.

Kecantikannya bahkan menjadi buah bibir, tidak hanya di antara para pengawal dan orang-orang kepercayaan Rogo Rabi sendiri, tetapi juga sampai ke warga di kampung-kampung sekitarnya.
Rambutnya yang lurus terurai, alis matanya yang tipis, bola matanya yang bening, serta senyumnya yang menyapa  menjadi serupa bulatan purnama sempurna.

Bahkan sebagian pemuda atau laki-laki yang lain sampai tak sanggup untuk melukiskan kecantikan saudari bungsu Rogo Rabi itu. Bening kulitnya membuat setiap mata pemuda atau laki-laki hanya bisa menggambarkan dan melukiskannya sebagai sesuatu yang indah.

Salah satu pelukisan dan penggambaran atas saudari Rogo Rabi yang paling populer ketika itu adalah bening kulitnya yang sebening kaca botol. Digambarkan demikian karena berdasarkan kisah, jika saudari Rogo Rabi itu meminum air, orang dapat melihat air yang masuk melewati tenggorokannya. Tenggorokannya serupa boti (botol) dan tubuhnya serupa seindah bentukan taso (botol besar). Sudah sejak itu orang menyebut, menyapa dan memanggil saudari bungsu Rogo Rabi itu sebagai Boti Bartaso.

Namun, lelaki atau pemuda mana pun yang melihat Boti Bartaso cukup diri hanya bisa mengagumi, tidak lebih. Sebab, serupa pungguk merindukan bulan, siapa pun lelaki atau pemuda hanya bisa berharap. Rogo Rabi saudaranya tak pernah sudi pada seorang lelaki mana pun yang dapat merebut hati saudarinya jika  ia tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan punya kekayaan melimpah.

Hingga pada suatu ketika, Boti Bartaso dipersunting seorang Rangga Ame Ari, Rogo Rabi pun menerima dengan senang hati. Rangga Ame Ari adalah seorang tokoh masyarakat, sepuh adat yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi di kampung Udi Wodowatu. Tidak hanya itu, Rangga Ame Ari juga memiliki harta dan kekayaan yang melimpah.

Hingga akhir hidupnya Boti Bartaso tetap menjadi legenda, sebagai satu-satunya perempuan yang cantik pada ketika itu. Kisah tentang kecantikannya mengalahkan kisah tentang akhir kehidupannya yang masih penuh tanda tanya. Berdasarkan kisah orang Lomba atau Romba, Boti Bertaso meninggal lantaran ditimpa longsoran batu di dekat Udi Wodowatu. Namun berdasarkan kisah yang lain, kisah orang Udi Wodowatu, Boti Bertaso meninggal dunia lantaran dibunuh oleh Rangga Ame Ari. Boti Bartaso dibunuh lantaran kedapatan berselingkuh dengan seorang pemuda yang bernama Gaba.

Legenda : Asal Usul Penduduk Merem (Papua)

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/05/1337882993716863989.jpg
Zaman dahulu hiduplah seorang laki-laki bernama Woiram. Dia bertempat tingga di kampung Merem. Istrinya bernama Bonadebu. Lelaki itu seorang yang taat beribadah dan taat pula kepada pemerintahan. Woiram menikah dengan Bonadebu tidak mendam-bakan keturunan, tetapi hanya sekedar menjaga harga diri sebagai seorang lelaki. Oleh karena setiap harinya dia tidak tinggal serumah dengan istrinya padahal mereka satu kampung.

Perjalanan rumah tangga yang mereka alami cukup lama. Kehidupan mereka juga cukup bahagia, tetapi nampaknya agak terganggu, karena sang istri mendambakan keturunan, tetapi harapan ini tidak dikabulkan oleh suaminya, karena dia sudah berjanji kepada dewa untuk tidak punya keturunan.
Pada suatu hari Woiram punya keinginan punya anak. Dia sebagai orang yang taat beribadah, sehingga setiap saat memohon kepada raja tanah, penguasa alam serta bintang di langit, agar dikaruniani anak.
Untuk melangsungkan hidup berumah tangga pekerjaan Wairorn yaitu berburu dan berkebun. Sebelum pergi berburu, biasanya dia

terlebih dahulu membuat tali busur di kamar. Entah,……kutang
hati-hati atau tergesa-gesa tiba-tiba telunjuknya teriris pisau. Mengalir deras darah yang keluar dari telunjuknya. Aliran darah yang cukup banyak itu disimpan dan disembunyikan di sebuah tempayan.
Pagi harinya dia bersama istrinya pergi ke kebun. Mereka giat bekerja, berhubung banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, maka keduanya tidak pulang. Setelah dua hari di kebun, mereka bani pulang. Setiba di rumah dia tidur dalam keadaan nyenyak. Pada pertengahan malam dia terbangun, karena mendengar anak kecil sedang menangis, tetapi dia tidak serius mendengarkan, hanya sekilas, sehingga tidur kembali. Dia menganggap mimpi belaka.

Tidak lama kemudian terdengar lagi suara tangis anak kecil. Dia langsung berdo’a agar ditunjukkan kepada kejadian yang aneh itu. Tiba-tiba tampaklah sinar dari tempayan. Dia mendekati sinar yang ada di tempayan itu, ternyata ada seorang bayi. Dia berterima kasih kepada Dewa, karena mengabulkan permintaannya. Di samping itu dia juga merasa gembira, lalu diambilnya bayi itu. Anak lelaki itu diberi nama Woiwallytmang. Karena dia takut kepada istrinya, dianggap tidak setia, maka anaknya itu dibawa ke tempat yang jauh. Sebagai tempat tinggalnya anak itu dibuatkan gubuk oleh ayahnya di bawah pohon beringin yang berbuah coklat, dan sebagai makanan anaknya.

Lambat laun lelaki itu tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Pekerjaan sehari-harinya berburu dan berkebun. Suatu hari dia sial, karena berburu tidak mendapatkan seekorpun binatang. Pada waktu dia istirahat terlihat burung yang sedang menghinggap di pohon yang dekat dengannya. Dengan pelan burung itu dipanah, tetapi berulang-ulang memanah, masih juga tidak mengena sasaran.

Kemudian dia mengikuti arah panah yang telah dilepaskan. Anak panah itu masuk ke dalam kebun dan tertancap di batang pisang. Dikala dia hendak mencabut anak panah yang tertancap, maka tiba-tiba dari balik pohon pisang itu ada seorang perempuan berkata, “Hai lelaki tampan siapa namamu dan apa pekerjaanmu?” Mendengar perkataan wanita itu dia sangat terkejut dan. takut, karena selama ini, karena sejak kecil dia tidak pernah mengenal siapapun, kecuali ayahnya. Setelah itu dia ingat, bahwa selain ada lelaki, masih juga ada perempuan.
Dia menjawab, “Namaku Woiwallytmang, sedangkan pekerjaanku berburu. “Mendengar jawaban dari pemuda wanita itu terkejut, karena dia melihat sinar yang terpancar dari tubuh anak itu. Wanita itu adalah Bonadebu, ibunya sendiri.

Wanita itu bertanya lagi. Siapa namamu dan darimana asalmu. Pemuda itu menjawab,” Ayahku bernama Woiram dan aku tidak tahu tempat tinggalku.
Mendengar jawaban pemuda itu. Wanita tersebut sangat sakit hati, karena merasa dibohongi Woiram selama ini. Pemuda itu masih dihantui rasa ketakutan, sehingga wanita itu bisa segera mengubah sikapnya, sambil mengatakan, 
“Kalau begitu mari nak saya antarkan ke rumah ayahmu!”

Sebelum pulang ke rumah Bonadebu mengajak Woiwallytmang mencari udang untuk oleh-oleh Woiram. Keduanya menuju sungai Wasi yang banyak sekali udangnya. Dalam keadaan serius mencari udang tanpa sengaja Woiwallytmang masuk ke dalam gua sungai Wasi. Sebelum anak itu keluar dari gua sungai itu, tanpa sengaja pula ditutup Bonadebu. Saat Bonadebu naik ke darat, tetapi Woiwallytmang masih juga belum nampak muncul. Bonadebu segera pulang dan dia menganggap pemuda itu pulang duluan.

Pada waktu itu Woiram mencari anak lelakinya ke gubuk, tapi tak seorangpun dijumpai di sana. Bahkan ayahnya berulang-ulang menjenguk tetapi tidak ada. Dia cemas dan bersedih hati, sementara takut bertanya kepada istrinya.

Pada suatu hari kepala adat bersama penduduk kampung menyembelih binatang buruannya di sungai Wasi, tiba-tiba ditemukan seonggok udang. Udang itu diberikan kepada kepala adat. Diterimanya udang itu, lalu diserahkan kepada istrinya. Pesan dia udang ini dimasak, tapi jangan dimakan. Setelah itu dia berangkat lagi ke sungai Wasi.

Datanglah dua anak perempuan kepada adat ke ibu mereka sambil menangis minta udang yang telah dimasak tadi. Dengan rasa kasihan akhirnya udang itu diberikan kepada Mecy dan Mesam.

Kini kepala adat datang, lalu minta makan. Tentu saja sang istri bingung, karena udang yang dia masak sudah habis dimakan kedua anaknya. Kepala adat sangat marah kepada istrinya. Kedua anaknya melihat menyaksikan pertengkaran antara ayah dan ibunya, bahkan saat itu ibunya dipukul. Kedua anak itu sangat sedih serta berusaha untuk mencari udang sebagai gantinya. Keduanya berangkat ke sungai Wasi. Setiba di sungai itu dia langsung menyelam ke dalam gua. Dalam gua itu kakinya menginjakkan benda empuk. Benda itu secara pelan-pelan diangkat ke atas, ternyata manusia. Manusia itu dibersihkan, kemudian diangkat ke atas permukaan sungai, kemudian dihangatkan dengan dedaunan yang dibakar. Dalam jangka waktu yang relatif singkat manusia itu bisa bergerak, ternyata dia masih hidup. Kedua anak itu sangat riang gembira.

Setelah Woiwallytmang sadar dia mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua anak perempuan atas pertolongannya. Dia menanyakan nama dan tempat tinggal kedua gadis itu. Namaku Mecy dan adikku namanya Mesam. Tempat tinggalku dekat dari temapt ini.

Namaku Woiwallytmang, kenapa kalian membangunkan aku? Saya dan adikku tidak membangunkan kamu, tetapi hanya menolong dari ancaman kematian, karena kamu tadi tergeletak dalam gua sungai yang dalam itu.
sebagai ucapan terima kasihku, maka kami akan membalas kebaikanmu, yaitu mencarikan udang setiap hari dan saya antarkan ke rumahmu kata Woiwallytmang.

Ternyata benar juga apa yang dikatakan kepada kedua gadis itu. bahwa setiap hari pemuda itu mengantarkan udang ke rumahnya.
Orang tua Mecy merasa curiga, karena setiap hari selalu ada udang di rumah,kemudian ayahnya bertanya tentang asal usul udang itu.

Kedua anak itu tidak berani berterus terang memberitahu asal udang itu. Tetapi ayahnya terus bertanya mendesak, akhirnya mereka : memberi tahu, bahwa udang ini berasal dari Woiwallytmang.
Pada suatu hari pemuda itu datang ke rumah gadis perlu menemui ayah Mecy dan Mesam. Dia minta izin untuk menikahi putrinya bernama Mecy. Ayahnya sangat setuju. Pestapun segera dimulai. Acaranya sangat meriah, karena pada saat itu Woiwallytmang dinobatkan sebagai kepala adat.

Pestapun dimulai dengan meriah, sementara Woirom turut juga hadir dalam pesta itu. Dia sangat terkejut, karena yang dinobatkan jadi kepala adat ternyata anaknya. Selama ini Woiram merasa dipojokkan masyarakat, karena anaknya telah disembunyikan. Saat itu juga Woiram berdo’a kepada Dewa, agar memberi hukuman kepada mereka. Tiba-tiba hujan turun dengan lebat, serta bermacam-macam makanan berubah semua menjadi batu.

Kampung tersebut dilanda banjir bandang. Semua orang tenggelam dan terbawa arus yang sangat deras. Sementara Woiwallytmang, Mecy dan Woiram dalam keadaan selamat, karena saat air meluap mereka memanjat pohon pinang. Setelah air surut Wairom berpesan kepada Woiwallytmang dan Mecy agar memperbanyak berdo’a serta memperbanyak pula keturunan. Setelah pesan itu disampaikan, lalu dia mengajak keduanya ke sungai.
Setiba di sungai Woiram posisinya di atas batu seketika dia menghilang yang nampak hanya bekas kakinya.

Rabu, 02 April 2014

Jangan Ambil Nyawaku !

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCYB8pWbcEnkvQMhh0DmD0ucKDjLKk2uTXd_dJ9WKu_aJtFbIssoBqjHXPvIMDeouxgLwOXjDauTHzJAEqbSDZegg7-l4ZFCBCF93hZbjBYepH2GV1YdLI0os1JRz-RV83JG1SlPiltxYK/s320/merenung.jpg
Miranda, boleh aku bicara secara pribadi dengan orang tuamu sebentar?” Tanya Dr. Mullen.
“Tentu.” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak peduli.”

Mereka bertiga meninggalkan kamar. Aku menelpon Emma dengan ponselku

“Bagaimana ?” Katanya.
“Mereka masih berbohong,” Kataku, merasa mual.
“Mereka agak kedodoran sehingga aku langsung tahu. Tapi, kenapa mereka bohong Emma ? aku sangat ketakutan. Satu-satunya hal yang kupikir bisa diandalkan adalah orang tuaku, dan betapa terbukanya sikap kami selama ini.” Aku menghela napas.

“Anak itu aneh sekali. Ia mengacau, ia menyebut orang tuaku penciptanya.”
“Penciptanya? Seperti Tuhan.”
“Yah. Kurasa seperti itulah orang tua kita. Tapi . . . ,” tambahku tiba tiba teringat, “ia juga menyebutkan Dr. Mullen.”
“Astaga,” petik Emma, “Apalagi katanya?”

Aku mulai merasa ketakutan. Aku nyaris tidak ingin memikirkan kata-katanya.

“Kamu dengar apa yang ia katakan takdirnya. Takdirnya adalah aku. Maksudku, apa artinya ?”
Ketiga orang dewasa itu kembali ke kamar. “Apakah itu Emma?” Tanya ibu dengan suara tajam.
“Ya.”
“Ia sudah memberi tahu seseorang ?”
“Bagus. Larang dia ! atau lebih baik, ibu bicara sendiri dengannya. “Ibu merebut telepon itu dariku.
“Emma ? dengar aku. Jika kau mengatakan sesuatu kepada seseorang, kamu yang bertanggung jawab atas kematian temanmu.”
“Ibu !” aku terhenyak
“Kamu mengerti ? bagus.” Dan ia memutuskan hubungan telepon.

Ibu mulai berbicara dengan buru-buru. Suaranya keras, tatapannya tajam, seolah-olah itu satu-satunya cara agar ia bisa mengeluarkan kata-kata. 

“Baiklah, Miranda. Kami akan menceritakan kepadamu sesuatu yang pasti akan membuatmu gusar. Tapi, ibu pikir, lebih baik gusar daripada mati. Jadi beginilah ceritanya.”
Ia menghela napas pendek. 
“Gadis itu adalah duplikat dirimu. Ia diciptakan dari DNA yang diambil saat kelahiranmu. Ia jaminan asuransimu. Begitu banyak anak tewas dalam kecelakaan mobil atau penyakit mengerikan, semua karena dokter tidak bisa mendapatkan organ pengganti, atau sumsum tulang, atau apalah. Kami, ayahmu dan ibu, bertekad kamu tidak akan mengalami nasib seperti itu. Kami tidak ingin melihatmu mati. Jadi, kami membuat sebuah duplikat. Ia diciptakan di sini, dengan satu-satunya tujuan, mendonorkan untukmu apa pun yang kamu butuhkan.”

Tiba-tiba lututku terasa lemas dan aku begitu gemetar sampai nyaris roboh. Dr. Mullen mendudukan aku di sebuah kursi.

“Misalnya hati.” Kataku, suaraku nyaris berbisik.
“Ya.” Jawabnya dengan nada suara menantang, “Misalnya hati”
“Jadi, ibu akan mengorbankannya untuk menyelamatkanku?”
“Itu harus dilakukan, ia bukan orang sungguhan, Miranda. Ia hanya duplikat. Ia dibesarkan di lab.”
“Tapi, ia bicara. Ia bisa merasakan. Ia Ketakutan !”
“Omong kosong ! ini saat yang ia tunggu—tunggu.”

Aku tidak mampu berbicara. Aku sangat terkejut. Aku tidak bisa berpikir. Sebuah duplikat. Sebuah. . . . sebuah . . . dan kemudian, sebuah kata muncul dalam pikiranku dan katakana keras-keras. 

“Sebuah klon.” Aku mulai tertawa.” Ini lelucon, kan ? ini hanya lelucon.” 

Mereka memandangku tanpa berkata-kata. Aku berhenti tertawa. “Kamu bukan orang tuaku !” teriakku.
“Kamu monster-monster yang mengerikan. Ini benar-benar terjadi. Ia tidak nyata! Ini semua hanya mimpi.  Mimpi, aku ingin bangun.  Aku ingin bangun!” aku tertawa, menangis, dan berteriak. 

Kurasa aku sudah gila. Aku menoleh kepada Dr. Mullen. 

“Beri aku sesuatu agar aku bisa tidur,” desakku,  “Aku tidak tahan lagi terjaga.”

Ayah kelihatan sudah hampir menangis. Ibu hanya kelihatan marah. Aku kembali ke ranjang dan membaringkan badan. Aku ingin kegelapan. Lupa segalanya. Aku tidak tahan terjaga barang sedikitpun.