Jumat, 04 April 2014

Legenda : Si Jelita Boti Bertaso (Nusa Tenggara Timur)

http://www.fotografer.net/images/forum/3/3194/3194229/3194229120.jpg
Sejak pertama kali Rogo Rabi merapatkan pinisinya di pesisir selatan bukit Koto yang sekarang menjadi kampung Lomba atau Romba, tak seorang pun yang mengetahui nama asli dari saudari bungsunya. Para pedagang, orang-orang yang kebetulan melintas dan atau melewati tempat tersebut hanya mengetahui kalau saudari bungsu Rogo Rabi adalah seorang gadis berparas jelita dan cantik.

Kecantikannya bahkan menjadi buah bibir, tidak hanya di antara para pengawal dan orang-orang kepercayaan Rogo Rabi sendiri, tetapi juga sampai ke warga di kampung-kampung sekitarnya.
Rambutnya yang lurus terurai, alis matanya yang tipis, bola matanya yang bening, serta senyumnya yang menyapa  menjadi serupa bulatan purnama sempurna.

Bahkan sebagian pemuda atau laki-laki yang lain sampai tak sanggup untuk melukiskan kecantikan saudari bungsu Rogo Rabi itu. Bening kulitnya membuat setiap mata pemuda atau laki-laki hanya bisa menggambarkan dan melukiskannya sebagai sesuatu yang indah.

Salah satu pelukisan dan penggambaran atas saudari Rogo Rabi yang paling populer ketika itu adalah bening kulitnya yang sebening kaca botol. Digambarkan demikian karena berdasarkan kisah, jika saudari Rogo Rabi itu meminum air, orang dapat melihat air yang masuk melewati tenggorokannya. Tenggorokannya serupa boti (botol) dan tubuhnya serupa seindah bentukan taso (botol besar). Sudah sejak itu orang menyebut, menyapa dan memanggil saudari bungsu Rogo Rabi itu sebagai Boti Bartaso.

Namun, lelaki atau pemuda mana pun yang melihat Boti Bartaso cukup diri hanya bisa mengagumi, tidak lebih. Sebab, serupa pungguk merindukan bulan, siapa pun lelaki atau pemuda hanya bisa berharap. Rogo Rabi saudaranya tak pernah sudi pada seorang lelaki mana pun yang dapat merebut hati saudarinya jika  ia tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan punya kekayaan melimpah.

Hingga pada suatu ketika, Boti Bartaso dipersunting seorang Rangga Ame Ari, Rogo Rabi pun menerima dengan senang hati. Rangga Ame Ari adalah seorang tokoh masyarakat, sepuh adat yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi di kampung Udi Wodowatu. Tidak hanya itu, Rangga Ame Ari juga memiliki harta dan kekayaan yang melimpah.

Hingga akhir hidupnya Boti Bartaso tetap menjadi legenda, sebagai satu-satunya perempuan yang cantik pada ketika itu. Kisah tentang kecantikannya mengalahkan kisah tentang akhir kehidupannya yang masih penuh tanda tanya. Berdasarkan kisah orang Lomba atau Romba, Boti Bertaso meninggal lantaran ditimpa longsoran batu di dekat Udi Wodowatu. Namun berdasarkan kisah yang lain, kisah orang Udi Wodowatu, Boti Bertaso meninggal dunia lantaran dibunuh oleh Rangga Ame Ari. Boti Bartaso dibunuh lantaran kedapatan berselingkuh dengan seorang pemuda yang bernama Gaba.

Legenda : Asal Usul Penduduk Merem (Papua)

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/05/1337882993716863989.jpg
Zaman dahulu hiduplah seorang laki-laki bernama Woiram. Dia bertempat tingga di kampung Merem. Istrinya bernama Bonadebu. Lelaki itu seorang yang taat beribadah dan taat pula kepada pemerintahan. Woiram menikah dengan Bonadebu tidak mendam-bakan keturunan, tetapi hanya sekedar menjaga harga diri sebagai seorang lelaki. Oleh karena setiap harinya dia tidak tinggal serumah dengan istrinya padahal mereka satu kampung.

Perjalanan rumah tangga yang mereka alami cukup lama. Kehidupan mereka juga cukup bahagia, tetapi nampaknya agak terganggu, karena sang istri mendambakan keturunan, tetapi harapan ini tidak dikabulkan oleh suaminya, karena dia sudah berjanji kepada dewa untuk tidak punya keturunan.
Pada suatu hari Woiram punya keinginan punya anak. Dia sebagai orang yang taat beribadah, sehingga setiap saat memohon kepada raja tanah, penguasa alam serta bintang di langit, agar dikaruniani anak.
Untuk melangsungkan hidup berumah tangga pekerjaan Wairorn yaitu berburu dan berkebun. Sebelum pergi berburu, biasanya dia

terlebih dahulu membuat tali busur di kamar. Entah,……kutang
hati-hati atau tergesa-gesa tiba-tiba telunjuknya teriris pisau. Mengalir deras darah yang keluar dari telunjuknya. Aliran darah yang cukup banyak itu disimpan dan disembunyikan di sebuah tempayan.
Pagi harinya dia bersama istrinya pergi ke kebun. Mereka giat bekerja, berhubung banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, maka keduanya tidak pulang. Setelah dua hari di kebun, mereka bani pulang. Setiba di rumah dia tidur dalam keadaan nyenyak. Pada pertengahan malam dia terbangun, karena mendengar anak kecil sedang menangis, tetapi dia tidak serius mendengarkan, hanya sekilas, sehingga tidur kembali. Dia menganggap mimpi belaka.

Tidak lama kemudian terdengar lagi suara tangis anak kecil. Dia langsung berdo’a agar ditunjukkan kepada kejadian yang aneh itu. Tiba-tiba tampaklah sinar dari tempayan. Dia mendekati sinar yang ada di tempayan itu, ternyata ada seorang bayi. Dia berterima kasih kepada Dewa, karena mengabulkan permintaannya. Di samping itu dia juga merasa gembira, lalu diambilnya bayi itu. Anak lelaki itu diberi nama Woiwallytmang. Karena dia takut kepada istrinya, dianggap tidak setia, maka anaknya itu dibawa ke tempat yang jauh. Sebagai tempat tinggalnya anak itu dibuatkan gubuk oleh ayahnya di bawah pohon beringin yang berbuah coklat, dan sebagai makanan anaknya.

Lambat laun lelaki itu tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Pekerjaan sehari-harinya berburu dan berkebun. Suatu hari dia sial, karena berburu tidak mendapatkan seekorpun binatang. Pada waktu dia istirahat terlihat burung yang sedang menghinggap di pohon yang dekat dengannya. Dengan pelan burung itu dipanah, tetapi berulang-ulang memanah, masih juga tidak mengena sasaran.

Kemudian dia mengikuti arah panah yang telah dilepaskan. Anak panah itu masuk ke dalam kebun dan tertancap di batang pisang. Dikala dia hendak mencabut anak panah yang tertancap, maka tiba-tiba dari balik pohon pisang itu ada seorang perempuan berkata, “Hai lelaki tampan siapa namamu dan apa pekerjaanmu?” Mendengar perkataan wanita itu dia sangat terkejut dan. takut, karena selama ini, karena sejak kecil dia tidak pernah mengenal siapapun, kecuali ayahnya. Setelah itu dia ingat, bahwa selain ada lelaki, masih juga ada perempuan.
Dia menjawab, “Namaku Woiwallytmang, sedangkan pekerjaanku berburu. “Mendengar jawaban dari pemuda wanita itu terkejut, karena dia melihat sinar yang terpancar dari tubuh anak itu. Wanita itu adalah Bonadebu, ibunya sendiri.

Wanita itu bertanya lagi. Siapa namamu dan darimana asalmu. Pemuda itu menjawab,” Ayahku bernama Woiram dan aku tidak tahu tempat tinggalku.
Mendengar jawaban pemuda itu. Wanita tersebut sangat sakit hati, karena merasa dibohongi Woiram selama ini. Pemuda itu masih dihantui rasa ketakutan, sehingga wanita itu bisa segera mengubah sikapnya, sambil mengatakan, 
“Kalau begitu mari nak saya antarkan ke rumah ayahmu!”

Sebelum pulang ke rumah Bonadebu mengajak Woiwallytmang mencari udang untuk oleh-oleh Woiram. Keduanya menuju sungai Wasi yang banyak sekali udangnya. Dalam keadaan serius mencari udang tanpa sengaja Woiwallytmang masuk ke dalam gua sungai Wasi. Sebelum anak itu keluar dari gua sungai itu, tanpa sengaja pula ditutup Bonadebu. Saat Bonadebu naik ke darat, tetapi Woiwallytmang masih juga belum nampak muncul. Bonadebu segera pulang dan dia menganggap pemuda itu pulang duluan.

Pada waktu itu Woiram mencari anak lelakinya ke gubuk, tapi tak seorangpun dijumpai di sana. Bahkan ayahnya berulang-ulang menjenguk tetapi tidak ada. Dia cemas dan bersedih hati, sementara takut bertanya kepada istrinya.

Pada suatu hari kepala adat bersama penduduk kampung menyembelih binatang buruannya di sungai Wasi, tiba-tiba ditemukan seonggok udang. Udang itu diberikan kepada kepala adat. Diterimanya udang itu, lalu diserahkan kepada istrinya. Pesan dia udang ini dimasak, tapi jangan dimakan. Setelah itu dia berangkat lagi ke sungai Wasi.

Datanglah dua anak perempuan kepada adat ke ibu mereka sambil menangis minta udang yang telah dimasak tadi. Dengan rasa kasihan akhirnya udang itu diberikan kepada Mecy dan Mesam.

Kini kepala adat datang, lalu minta makan. Tentu saja sang istri bingung, karena udang yang dia masak sudah habis dimakan kedua anaknya. Kepala adat sangat marah kepada istrinya. Kedua anaknya melihat menyaksikan pertengkaran antara ayah dan ibunya, bahkan saat itu ibunya dipukul. Kedua anak itu sangat sedih serta berusaha untuk mencari udang sebagai gantinya. Keduanya berangkat ke sungai Wasi. Setiba di sungai itu dia langsung menyelam ke dalam gua. Dalam gua itu kakinya menginjakkan benda empuk. Benda itu secara pelan-pelan diangkat ke atas, ternyata manusia. Manusia itu dibersihkan, kemudian diangkat ke atas permukaan sungai, kemudian dihangatkan dengan dedaunan yang dibakar. Dalam jangka waktu yang relatif singkat manusia itu bisa bergerak, ternyata dia masih hidup. Kedua anak itu sangat riang gembira.

Setelah Woiwallytmang sadar dia mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua anak perempuan atas pertolongannya. Dia menanyakan nama dan tempat tinggal kedua gadis itu. Namaku Mecy dan adikku namanya Mesam. Tempat tinggalku dekat dari temapt ini.

Namaku Woiwallytmang, kenapa kalian membangunkan aku? Saya dan adikku tidak membangunkan kamu, tetapi hanya menolong dari ancaman kematian, karena kamu tadi tergeletak dalam gua sungai yang dalam itu.
sebagai ucapan terima kasihku, maka kami akan membalas kebaikanmu, yaitu mencarikan udang setiap hari dan saya antarkan ke rumahmu kata Woiwallytmang.

Ternyata benar juga apa yang dikatakan kepada kedua gadis itu. bahwa setiap hari pemuda itu mengantarkan udang ke rumahnya.
Orang tua Mecy merasa curiga, karena setiap hari selalu ada udang di rumah,kemudian ayahnya bertanya tentang asal usul udang itu.

Kedua anak itu tidak berani berterus terang memberitahu asal udang itu. Tetapi ayahnya terus bertanya mendesak, akhirnya mereka : memberi tahu, bahwa udang ini berasal dari Woiwallytmang.
Pada suatu hari pemuda itu datang ke rumah gadis perlu menemui ayah Mecy dan Mesam. Dia minta izin untuk menikahi putrinya bernama Mecy. Ayahnya sangat setuju. Pestapun segera dimulai. Acaranya sangat meriah, karena pada saat itu Woiwallytmang dinobatkan sebagai kepala adat.

Pestapun dimulai dengan meriah, sementara Woirom turut juga hadir dalam pesta itu. Dia sangat terkejut, karena yang dinobatkan jadi kepala adat ternyata anaknya. Selama ini Woiram merasa dipojokkan masyarakat, karena anaknya telah disembunyikan. Saat itu juga Woiram berdo’a kepada Dewa, agar memberi hukuman kepada mereka. Tiba-tiba hujan turun dengan lebat, serta bermacam-macam makanan berubah semua menjadi batu.

Kampung tersebut dilanda banjir bandang. Semua orang tenggelam dan terbawa arus yang sangat deras. Sementara Woiwallytmang, Mecy dan Woiram dalam keadaan selamat, karena saat air meluap mereka memanjat pohon pinang. Setelah air surut Wairom berpesan kepada Woiwallytmang dan Mecy agar memperbanyak berdo’a serta memperbanyak pula keturunan. Setelah pesan itu disampaikan, lalu dia mengajak keduanya ke sungai.
Setiba di sungai Woiram posisinya di atas batu seketika dia menghilang yang nampak hanya bekas kakinya.

Rabu, 02 April 2014

Jangan Ambil Nyawaku !

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCYB8pWbcEnkvQMhh0DmD0ucKDjLKk2uTXd_dJ9WKu_aJtFbIssoBqjHXPvIMDeouxgLwOXjDauTHzJAEqbSDZegg7-l4ZFCBCF93hZbjBYepH2GV1YdLI0os1JRz-RV83JG1SlPiltxYK/s320/merenung.jpg
Miranda, boleh aku bicara secara pribadi dengan orang tuamu sebentar?” Tanya Dr. Mullen.
“Tentu.” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak peduli.”

Mereka bertiga meninggalkan kamar. Aku menelpon Emma dengan ponselku

“Bagaimana ?” Katanya.
“Mereka masih berbohong,” Kataku, merasa mual.
“Mereka agak kedodoran sehingga aku langsung tahu. Tapi, kenapa mereka bohong Emma ? aku sangat ketakutan. Satu-satunya hal yang kupikir bisa diandalkan adalah orang tuaku, dan betapa terbukanya sikap kami selama ini.” Aku menghela napas.

“Anak itu aneh sekali. Ia mengacau, ia menyebut orang tuaku penciptanya.”
“Penciptanya? Seperti Tuhan.”
“Yah. Kurasa seperti itulah orang tua kita. Tapi . . . ,” tambahku tiba tiba teringat, “ia juga menyebutkan Dr. Mullen.”
“Astaga,” petik Emma, “Apalagi katanya?”

Aku mulai merasa ketakutan. Aku nyaris tidak ingin memikirkan kata-katanya.

“Kamu dengar apa yang ia katakan takdirnya. Takdirnya adalah aku. Maksudku, apa artinya ?”
Ketiga orang dewasa itu kembali ke kamar. “Apakah itu Emma?” Tanya ibu dengan suara tajam.
“Ya.”
“Ia sudah memberi tahu seseorang ?”
“Bagus. Larang dia ! atau lebih baik, ibu bicara sendiri dengannya. “Ibu merebut telepon itu dariku.
“Emma ? dengar aku. Jika kau mengatakan sesuatu kepada seseorang, kamu yang bertanggung jawab atas kematian temanmu.”
“Ibu !” aku terhenyak
“Kamu mengerti ? bagus.” Dan ia memutuskan hubungan telepon.

Ibu mulai berbicara dengan buru-buru. Suaranya keras, tatapannya tajam, seolah-olah itu satu-satunya cara agar ia bisa mengeluarkan kata-kata. 

“Baiklah, Miranda. Kami akan menceritakan kepadamu sesuatu yang pasti akan membuatmu gusar. Tapi, ibu pikir, lebih baik gusar daripada mati. Jadi beginilah ceritanya.”
Ia menghela napas pendek. 
“Gadis itu adalah duplikat dirimu. Ia diciptakan dari DNA yang diambil saat kelahiranmu. Ia jaminan asuransimu. Begitu banyak anak tewas dalam kecelakaan mobil atau penyakit mengerikan, semua karena dokter tidak bisa mendapatkan organ pengganti, atau sumsum tulang, atau apalah. Kami, ayahmu dan ibu, bertekad kamu tidak akan mengalami nasib seperti itu. Kami tidak ingin melihatmu mati. Jadi, kami membuat sebuah duplikat. Ia diciptakan di sini, dengan satu-satunya tujuan, mendonorkan untukmu apa pun yang kamu butuhkan.”

Tiba-tiba lututku terasa lemas dan aku begitu gemetar sampai nyaris roboh. Dr. Mullen mendudukan aku di sebuah kursi.

“Misalnya hati.” Kataku, suaraku nyaris berbisik.
“Ya.” Jawabnya dengan nada suara menantang, “Misalnya hati”
“Jadi, ibu akan mengorbankannya untuk menyelamatkanku?”
“Itu harus dilakukan, ia bukan orang sungguhan, Miranda. Ia hanya duplikat. Ia dibesarkan di lab.”
“Tapi, ia bicara. Ia bisa merasakan. Ia Ketakutan !”
“Omong kosong ! ini saat yang ia tunggu—tunggu.”

Aku tidak mampu berbicara. Aku sangat terkejut. Aku tidak bisa berpikir. Sebuah duplikat. Sebuah. . . . sebuah . . . dan kemudian, sebuah kata muncul dalam pikiranku dan katakana keras-keras. 

“Sebuah klon.” Aku mulai tertawa.” Ini lelucon, kan ? ini hanya lelucon.” 

Mereka memandangku tanpa berkata-kata. Aku berhenti tertawa. “Kamu bukan orang tuaku !” teriakku.
“Kamu monster-monster yang mengerikan. Ini benar-benar terjadi. Ia tidak nyata! Ini semua hanya mimpi.  Mimpi, aku ingin bangun.  Aku ingin bangun!” aku tertawa, menangis, dan berteriak. 

Kurasa aku sudah gila. Aku menoleh kepada Dr. Mullen. 

“Beri aku sesuatu agar aku bisa tidur,” desakku,  “Aku tidak tahan lagi terjaga.”

Ayah kelihatan sudah hampir menangis. Ibu hanya kelihatan marah. Aku kembali ke ranjang dan membaringkan badan. Aku ingin kegelapan. Lupa segalanya. Aku tidak tahan terjaga barang sedikitpun.

Minggu, 30 Maret 2014

Kata Kata Bijak Mario Teguh Terbaru 2014

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCIi_gVzLkuDyBWBHUhD1NaBZm_3vlQ4LEv_t7I_wxyA38LuR4N_Vuj9AFovHVtVdKCZbEnPX8FoYEHvfSnIPWgNAurURx390rE0DejRCd03ekTXqC43iFoMBZ6RB7SE08-_fqt8AZvMni/s640/kata-kata-super-mario-teguh-bagian-1.jpg

Aku yakin sekali, Setan itu takut air.
Setiap habis mandi, pandanganku terang,
pikiranku bersih, dan hatiku riang.

Katakanlah …Aku memang bukan yang terbaik bagi semua orang, tapi aku adalah yang terbaik bagi yang kucintai. 

Wanita sangat mementingkan tanggal jadian, dan bersedia putus kalau laki-lakinya lupa.

Saat mendengar nasihat, kata 'tapi' sering digunakan oleh orang yang tidak setuju karena takut mencoba, atau karena malas. 

Masalah adalah rahmat yang tidak enak rasanya. Meskipun sulit, syukurilah semua yang ada di dalam hidup Anda, termasuk masalah dan kesulitan Anda.

Wanita memang suka berlian, es krim, dan coklat. Tapi yang paling disukainya adalah kepastian. 

Tidak ada laki-laki yang bisa disebut sukses jika wanitanya tidak bahagia.

Berpikirlah, tapi jangan terlalu banyak. Terlalu banyak berpikir menjadikan Anda penakut yang banyak alasan.

Berharap menjadi orang lain adalah mendustakan potensi yang ada pada diri Anda. Nikmat Tuhan mana lagi yang Anda dustakan?

Berlakulah ramah kepada orang lain. Anda tidak pernah tahu kepedihan hatinya, dan mungkin Anda menjadi alasan bagi harapan barunya. 

Orang yang giat mencari yang gratisan, sebaiknya giat bekerja agar mampu membayar.

Wanita suka marah kalau laki-laki lupa tentang yang menurutnya penting, padahal menurut laki-laki itu tidak penting.

Orang yang berbicara buruk tentang Anda biasanya adalah orang yang iri dengan kebaikan hidup Anda.
Syukuri hidup Anda, dan doakanlah kebaikan baginya.
Itu sikap jiwa yang baik.    

Orang yang suka berdusta akan cepat atau lambat meyakini dustanya sebagai kebenaran.  Dan setelah beberapa saat, dia akan tersesat dalam kebingungan dalam kenyataan yang semuanya dusta.

Jangan menggunakan logika dengan wanita. Semua yang Anda pikir benar, selama itu bukan ide mereka, salah!

Kehidupan minus cinta, sama dengan hampa. Aku tanpa dirimu, sebaik tiada. 

Bersabar memang tidak menjamin bahwa Anda bisa mengatasi masalah, tapi semua masalah membutuhkan kesabaran dalam mengatasinya.

Jika Anda berani, Anda bertindak. Jika Anda takut, Anda akan bilang: Ini harus dipertimbangkan dengan matang.  

Jika Anda berani, Anda bertindak. Jika Anda takut, Anda akan bilang: Ini harus dipertimbangkan dengan matang. 

Jangan menceritakan permusuhan Anda dengan orang lain, kepada wanita Anda.
Walau pun Anda nanti sudah berdamai dengan mereka, wanita Anda akan tetap memusuhi mereka sampai di pintu neraka.

Jika engkau mencintainya, jadikanlah ia cintamu yang satu-satunya dan yang terakhir.

Jangan bertengkar dengan wanita. Kalau Anda menang, Anda ditertawai. Kalau Anda kalah, Anda lebih ditertawai lagi.

Dengan berjalannya waktu, Anda akan setuju dengan saya bahwa banyak sekali dusta yang tertulis dalam surat cinta.  

Menyerah dan berhenti itu berbeda. Menyerah itu karena kelemahan hati. Berhenti itu karena tahu ini bukan waktu yang baik untuk meneruskan.

Kehidupan yang hebat selalu dicapai oleh anak muda yang tidak takut dikomentari oleh orang yang iri

Menjadi anak muda itu tidak mudah. Jika aku gagal sebagai anak muda, aku akan lebih gagal di masa tua.
Aku harus sukses!

Anda tidak harus ahli untuk mulai melakukan sesuatu, karena Anda membangun keahlian itu dari melakukannya.

Yang akan sukses di antaramu - sama suka bercanda-nya denganmu, tapi dia lebih serius belajar dan bekerja.

Harapan adalah penghubung antara sepedih-pedihnya keadaan dengan seindah-indahnya kesyukuran.

Kita diminta untuk bersabar dan terus melakukan kebaikan yang berada dalam kemampuan kita, karena Tuhan akan meneruskan dari situ untuk melakukan yang tidak bisa kita lakukan.

Janganlah menyakiti hati siapa pun walau pun dia pantas kau sakiti. Karena, siapa pun yang sakit hati menjadi lebih berhak bagi keadilan. Janganlah sampai timbanganmu dikurangi, karena engkau menjahati orang yang seharusnya kau maafkan.     

Puisi : Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfLhhb9Hgsjekv6XkxauLdGcCtbFAUGPrDckOV0rSmhLlpaXoMzoWHhm-B1H25Evz5J_YQqKFpiF8X76STx78uWhJoqT3_JuWS-BONJ66feJdoXeDJ5_8BP_eXZYhbsWftVDW6VwOZW6g/s1600/hujan.jpg
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Ibu, Daun, Senja

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWFNOS5x2NWGNhY7jmQ-62zfz_2r3kgDVvNeTuTIDvyEyCnTWYVGqlY7OEbkXAn8xyO32vyRoJv5iF5BYiAoUuz1hUkpDZxOzLeGp2P68rHHhf2UA_hhX7eLXsU2ll5NXjxTmqdlZoJ5Y/s1600/Jingga+-+Daun+Cinta.jpg
Ibu suka duduk di beranda, menikmati angin senja. Memandangi daun-daun berjatuhan di halaman. Sebentar lagi, saat matahari surut ke balik gunung. Ibu akan segera memanggilku. Menyuruhku menyapu daun-daun itu. Mengumpulkan lalu membakarnya. Dari ruang belakang, aku sudah menunggu panggilan ibu. Namun, meskipun matahari sudah terbenam, ibu belumjuga memanggiku. Ingin rasanya aku berjalan ke depan. Menghampiri ibu dan mengerjakan apa pun yang diperintahkannya. Namun, aku masih menahan diri untuk beberapa waktu. Mungkin sepuluh menit sudah berlalu. Suasana senja semakin remang dan nyaris gelap. Tetapi, ibu belum memanggilku. Apakah ibu lupa? Aku segera berjalan melipir dari samping rumah. Begitu langkahku mencapai teras beranda, aku lihat ibu sedang asyik termenung. Atau melamun? Dalam remang, masih dapat kulihat di halaman berserakan daun. Besar dan kecil. Itu pasti daun-daun mangga milik tetangga atau daun-daun mahoni seberang jalan. Atau daun-daun lain yang entah apa namanya dan entah dari mana asalnya. Tak ada niat untuk menyapu. Sudah terlampu senja. Lalu kuhampiri ibu. Apa yang tengah ibu renungkan di saat senja tua begini?

“Ibu..,” ucapku nyaris berbisik.
Sekilas ibu tampak terkejut. Tetapi, setelah tahu yang datang adalah aku, ibu tersenyum. Tipis sekali.
“Kau tak perlu menyapu kali ini.”
“Sudah hampir malam, bu. Mengapa ibu belum masuk?”
“Ibu masih ingin di luar, nak. Ibu suka melihat keluasan langit. Ibu suka menikmati hembusan angin. Ibu suka sekali memandangi daun-daun yang dibakar! Ibu seperti menghayati sekali.” Ibu terdiam.
“ibu bisa sakit jika terlalu lama di luar. Apalagi dalam udara malam.”
“Jangan terlalu mengkhawatirkan ibu, nak. Tapi baiklah. Antar ibu ke kamar.”

Kubantu ibu bangkit dari kursi dan kupapah masuk rumah. Setelah mengantar ibu, aku cepat balik lagi ke depan. Membenahi meja kursi di beranda. Menutup pintu, jendela, mengunci, menyalakan lampu-lampu beranda di halaman. Rutinitas kerjaku biasanya langsut surut, usai mengunci pintu-pintu dan menyalakan lampu-lampu. Dan aku akan segera masuk kamarku ,mendengarkan radio, nonton TV, atau membaca.

Ibu selalu penuh perhatian. Jika malam telah tiba, ibu jarang manggangguku dengan menyuruh ini itu. Hanya sekali ibu memanggilku dengan telepon yang dipasang parallel bila akan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu atau hendak buang hajat. Hampir sepuluh tahun, aku menemani ibu. Irama senja, malam, dan pagi tak pernah berubah. Namun rutinitas itu sama sekali tak membuatku jenuh mengabdi pada ibu.

Sebenarnya, ia bukanlah ibuku. Ia hanya seorang wanita tua yang baik hati. Dan ia memaintaku agar aku memanggilnya “ibu”, siapa pun yang tak tahu asal-usulnya orang akan menduga aku adalah anak kandungnya. Anak satu-satunya. Aku sendiri juga tak tahu, siapa sebenarnya wanita tua itu. Aku hanya tahu, dialah yang merawat dan membesarkanku. Juga membiayai sekolahku. Sering aku bertanya kepada wanita itu, siapakah sebenarnya aku? Dengan senyum jenaka, wanita tua itu akan menjawab,”kau adalah anak ibu. Anak ibu yang cantik, manis, dan rajin bekerja.”

Ingatan masa kecilku tak sanggup menelusuri jejak hidupku lebih jauh. Tak ada sedikitpun membekas di benakku bayang-bayang ibu bapakku. Yang membekas hanya kolong kolong jembatan,rumah-rumah kardus, dan emperan-emperan toko yang mura. Semua itu selalu membayang demikian jelas di kelopak mataku. Bahkan, sampai kapan pun bayang-bayang itu takkan pernah hilang. Itu semua sudah menjadi bagian masa kecilku yang tak mungkin terhapuskan. Andai wanita itu tak berbaik hati memungutku dari jalanan, entah apa jadinya masa depanku.

Mungkin kini aku sudah menjadi gadis jalanan. Atau malah gembel. Aku sangat berhutang budi kepada wanita tua itu. Aku sudah bertekad mengabdi kepadanya sampai akhir hidupku. Namun, tekadku tampaknya tak akan kesampaian. Pengabdianku tampaknya hanya akan sampai pada akhir hidupnya. Sebab dari hari ke hari wanita itu bertambah uzur dan rapuh. Sering sakit. Jalan pun harus dipapah. Pernah aku bertanya apakah ia punya anak selain aku? Pertanyaanku dijawabnya dengan sendu. "Tidak". Dan ketika aku bertanya lebih jauh tentang suaminya. Tiba-tiba riak mukanya memucat. Sampai sekarang pun pertanyaanku tetap menggantung tak menemukan jawab.

Pagi datang lagi. Matahari bersinar lembut di ufuk. Seperti biasa, ibu minta diantarkan ke halaman belakang, menjemur diri hingga kira-kira pukul delapan. Sementara ibu di halaman belakang, aku menyiapkan sarapan roti dan susu. Lalu segera membawanya kepada ibu. Ibu selalu sarapan sambil menghangatkan tubunya di bawah matahari pagi. Dulu, semasa sekolah, dan ibu juga masih sehat, menjemur diri di pagi tak pernah dilakukan.

Hanya olahrga lagi pagi. Itu pun seminggu sekali biasanya hari minggu. Aku sendiri sering menemaninya dan yang  menyiapkan sarapan selalu ibu. Aku sangat bersyukur, dulu ibu selalu sehat walafiat. Andai dulu sudah sakit-sakitan tentu aku bakal sangat kerepotan. Aku harus pandai pandai mengatur waktu untuk masak, mencuci, sekolah, menyapu dan lain-lain. Ibu tak pernah punya niat mengambil pembantu.

“Jangan biasakan hidup manja,”katanya.

Ibu mulai sering sakit sejak aku lulus SMA tiga bulan lalu. Mula-mula, ibu mengeluh kepalanya sakit sebelah. Setelah diperiksa ke dokter, ibu kena migraine. Tak lama kemudian, suka kejang-kejang dan kemudian gejala stroke. Sejak itu, aktivitas ibu di luar rumah berkurang, berkurang dan akhirnya tidak sama sekali. Aku tahu, ibu memiliki lahan perkebunan sangat luas di suatu tempat luar kota. Sekali ibu pernah cerita perkebunan kelapa sawit itu bukan murni hasil jerih payahnya. Dan kelak, aku akan mewarisinya. Beberapa kali ibu pernah mengajak melihat perkebunan itu.

“bila tiba waktunya, akan ibu serahkan semua itu kepadamu. Sekarang, kau belajar baik-baik. Kalau perlu kuliah .”

Setelah lulus SMA, aku memang dirusuh ibu kuliah. Namun, aku menolak. Aku tak mau merepotkan ibu meskipun soal biaya sama sekali tidak akan jadi masalah. Ibu punya cukup simpanan. Karena tak mau kuliah, ibulah yang “menguliahiku”. Hampir setiap hari, ibu menuturkan pengalaman bisnis perkebunannya kepadaku. Dari cerita-cerita pengalamannya itu diharapkan wawasanku tentang strategi dan etika berbisnis akan bertambah. Dan cerita seputar itu. Tak sekalipun ia menyinggung cerita masa kecilnya. Apalgi latar belakang keluarganya. Lalu ibu mengungkapkan harapannya agar kelak aku jadi wanita karier yang sukses seperti dia. Dan harus mampu meneruskan jejak yang sudah dirintisnya.

“ibu ingin membuktikan anak jalanan pun kalau sudah diberi kesempatan akan mampu meraih sukses.”
“Siang kauantar ibu ke dokter. Kau tidak kemana-mana, kan?”
“tidak. Bu.”
“kau memang tak pernah kemana-mana. Kau tentu merasa terkurung gara-gara ibu.”
“Jangan berkata begitu,bu.”
“kau muda. Ibu pernah mengalami masa muda.”
“sudahlah, bu. Jangan banyak pikiran. Aku akan senang sekali jika ibu segera sembuh.”
“ibu sudah kena stroke. Ditambah migraine lagi. Tipis harapan bakal sembuh.”
“ibu…, sudahlah bu.”
“mungkin sudah tiba waktunya. Ibu mengajakmu meninjau perkebunan itu lagi. Pulang dari dokter kita langsung ke sana.”
“jangan dulu, bu. Masih ada waktu. Lain kali saja.”
“ibu khawatir ‘lain kali’ ibu tak ketemu lagi
“ibu…..!” kupeluk ibu angkatku itu.

Perkebunan itu sangat luas. Puluhan hectare. Dan ratusan batang sawit tumbuh amat rimbunnya. Sehari setelah cek ke dokter, ibu mengajakku meninjau perkebunan itu, dengan lebih seksama. Mengamati sudut-sudut lahan perkebunan hingga pola tanah, panen, dan tebang. Dan aku nyaris tak percaya lahan seluas itu kelak akan jadi milikku. Rasanya seperti mimpi. Namun, itu buka sekedar mimpi. Seminggu kemudian, ibu meninggal. Dan harta pekebunan sawit yang amat luas itu sah menjadi millikku. Sebelum meninggal, diam-diam ibu sudah mengalihnamakan kepemilikian seluruh hartanya. Aku benar benar bersyukur kepada Tuhan, bahwa aku melalui jalan kehidupan ini dengan lurus dan mulus.

Meskipun dulu aku lahir dan besar di jalanan, tanpa jelas siapa yang melahirkan, merawat, dan membesarkanku. Ternyata ada seorang wanita baik hati yang menyelamatkan masa depanku. Tanpa wanita baik hati itu, entah apa jadinya nasibku. Menjadi wanita karier, ternyata tak bisa santai. Aku mesti sering keluar rumah untuk menyelasaikan ini itu. Aku tak bisa memasrahkan segala urusan hanya kepada sekretaris atau pembantu-pembantu yang lain  yang sudah lama bekerja di perkebunan itu sejak ibu merintis bisnis. Dari hari ke hari, setelah cukup lama mengelola perkebunan itu, aku kadang dihinggapi rasa letih. Dan ingin istirahat. Maka kini aku sering duduk-duduk di beranda, mengawasi langit senja dan sampah daun berserakan.

Tapi kini, tak ada gadis yang menyapu, mengumpulkan apalagi membakarnya. Tiba-tiba bekakku disesaki kenangan masa kecilku, kolong-kolong jembatan, rumah-rumah kardus, dan emperan-emperan toko yang murang… apakah ibu juga memiliki kenangan masa kecil yang sama denganku? Setelah ibu tiada, pertanyaan itu semakin sulit dijawab