“Miranda, boleh aku bicara secara pribadi dengan orang tuamu sebentar?” Tanya Dr. Mullen.
“Tentu.” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak peduli.”
“Tentu.” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak peduli.”
Mereka bertiga meninggalkan kamar. Aku menelpon Emma dengan ponselku
“Bagaimana ?” Katanya.
“Mereka masih berbohong,” Kataku, merasa mual.
“Mereka agak kedodoran sehingga aku langsung tahu. Tapi, kenapa mereka bohong Emma ? aku sangat ketakutan. Satu-satunya hal yang kupikir bisa diandalkan adalah orang tuaku, dan betapa terbukanya sikap kami selama ini.” Aku menghela napas.
“Anak itu aneh sekali. Ia mengacau, ia menyebut orang tuaku penciptanya.”
“Penciptanya? Seperti Tuhan.”
“Yah. Kurasa seperti itulah orang tua kita. Tapi . . . ,” tambahku tiba tiba teringat, “ia juga menyebutkan Dr. Mullen.”
“Astaga,” petik Emma, “Apalagi katanya?”
Aku mulai merasa ketakutan. Aku nyaris tidak ingin memikirkan kata-katanya.
“Kamu dengar apa yang ia katakan takdirnya. Takdirnya adalah aku. Maksudku, apa artinya ?”
Ketiga orang dewasa itu kembali ke kamar. “Apakah itu Emma?” Tanya ibu dengan suara tajam.
“Ya.”
“Ia sudah memberi tahu seseorang ?”
“Bagus. Larang dia ! atau lebih baik, ibu bicara sendiri dengannya. “Ibu merebut telepon itu dariku.
“Emma ? dengar aku. Jika kau mengatakan sesuatu kepada seseorang, kamu yang bertanggung jawab atas kematian temanmu.”
“Ibu !” aku terhenyak
“Kamu mengerti ? bagus.” Dan ia memutuskan hubungan telepon.
“Ia sudah memberi tahu seseorang ?”
“Bagus. Larang dia ! atau lebih baik, ibu bicara sendiri dengannya. “Ibu merebut telepon itu dariku.
“Emma ? dengar aku. Jika kau mengatakan sesuatu kepada seseorang, kamu yang bertanggung jawab atas kematian temanmu.”
“Ibu !” aku terhenyak
“Kamu mengerti ? bagus.” Dan ia memutuskan hubungan telepon.
Ibu mulai berbicara dengan buru-buru. Suaranya keras, tatapannya tajam, seolah-olah itu satu-satunya cara agar ia bisa mengeluarkan kata-kata.
“Baiklah, Miranda. Kami akan menceritakan kepadamu sesuatu yang pasti akan membuatmu gusar. Tapi, ibu pikir, lebih baik gusar daripada mati. Jadi beginilah ceritanya.”
Ia menghela napas pendek.
Ia menghela napas pendek.
“Gadis itu adalah duplikat dirimu. Ia diciptakan dari DNA yang diambil saat kelahiranmu. Ia jaminan asuransimu. Begitu banyak anak tewas dalam kecelakaan mobil atau penyakit mengerikan, semua karena dokter tidak bisa mendapatkan organ pengganti, atau sumsum tulang, atau apalah. Kami, ayahmu dan ibu, bertekad kamu tidak akan mengalami nasib seperti itu. Kami tidak ingin melihatmu mati. Jadi, kami membuat sebuah duplikat. Ia diciptakan di sini, dengan satu-satunya tujuan, mendonorkan untukmu apa pun yang kamu butuhkan.”
Tiba-tiba lututku terasa lemas dan aku begitu gemetar sampai nyaris roboh. Dr. Mullen mendudukan aku di sebuah kursi.
“Misalnya hati.” Kataku, suaraku nyaris berbisik.
“Ya.” Jawabnya dengan nada suara menantang, “Misalnya hati”
“Jadi, ibu akan mengorbankannya untuk menyelamatkanku?”
“Itu harus dilakukan, ia bukan orang sungguhan, Miranda. Ia hanya duplikat. Ia dibesarkan di lab.”
“Tapi, ia bicara. Ia bisa merasakan. Ia Ketakutan !”
“Omong kosong ! ini saat yang ia tunggu—tunggu.”
Aku tidak mampu berbicara. Aku sangat terkejut. Aku tidak bisa berpikir. Sebuah duplikat. Sebuah. . . . sebuah . . . dan kemudian, sebuah kata muncul dalam pikiranku dan katakana keras-keras.
“Sebuah klon.” Aku mulai tertawa.” Ini lelucon, kan ? ini hanya lelucon.”
Mereka memandangku tanpa berkata-kata. Aku berhenti tertawa. “Kamu bukan orang tuaku !” teriakku.
“Kamu monster-monster yang mengerikan. Ini benar-benar terjadi. Ia tidak nyata! Ini semua hanya mimpi. Mimpi, aku ingin bangun. Aku ingin bangun!” aku tertawa, menangis, dan berteriak.
“Kamu monster-monster yang mengerikan. Ini benar-benar terjadi. Ia tidak nyata! Ini semua hanya mimpi. Mimpi, aku ingin bangun. Aku ingin bangun!” aku tertawa, menangis, dan berteriak.
Kurasa aku sudah gila. Aku menoleh kepada Dr. Mullen.
“Beri aku sesuatu agar aku bisa tidur,” desakku, “Aku tidak tahan lagi terjaga.”
Ayah kelihatan sudah hampir menangis. Ibu hanya kelihatan marah. Aku kembali ke ranjang dan membaringkan badan. Aku ingin kegelapan. Lupa segalanya. Aku tidak tahan terjaga barang sedikitpun.
Fiksinya bagus kk tapi penyelesaian konfliknya kurang tajam
BalasHapusterima kasih atas sarannya sob. :)
BalasHapusrada susah membuat akhir atau penyelesaian konflik menjadi lebih WOW.. hehehe
keren! kaya twilight zone punya cerita :D
BalasHapuspas awal baca ane masih belum ngerti apa yang dimaksud gan... heheheh belum dapet greget nya..
BalasHapusmonggo gantian baca cerpen ane dan silahkan juga kasih keripik pedas (baca: keritik pedas) buat ane kalo masih ada yang kurang. trims http://novelisal.blogspot.com/2014/04/mr-kepo-malu-bertanya-sesat-di-gps.html
sip. segera meluncur mas (y)
Hapus