Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Juni 2014

Kutukan Kucing Hitam

http://cdn.klimg.com/kapanlagi.com/p/kucinghitam06.jpg
“Pa, nggak sarapan dulu?” Hana, istri Joon, bertanya saat melihat Joon sudah keluar.

“Nggak, aku udah telat. Bang Abi minta kita semua kumpul jam 7 pagi. Soalnya ada meeting!” Joon berkomentar seraya memakai sepatunya.

Hana hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasan Joon, toh dia juga tidak mengerti apa yang Joon katakan. Dia hanya bisa melihat suaminya itu seperti orang terburu-buru. Tidak seperti biasanya.

Tanpa memanasi motor terlebih dulu, Joon langsung ngacir begitu mesin motornya menyala. Dia langsung ngebut walau masih berada di dalam gang rumahnya. Akibatnya, begitu seekor kucing hitam meloncat turun dari atas pohon, tepat di depan track jalan Joon, Joon terkejut dan langsung mengerem motornya. Sayangnya, rem yang diinjak Joon telat menghentikan laju motornya. Kucing hitam itu sudah terlindas, dan lebih parah lagi sudah hilang nyawa.


“Aduh, sial!” pekik Joon, demi melihat kucing hitam yang isi perutnya sudah terburai ke mana-mana. Bau amis mulai menguar-nguar ke udara.

Joon terdiam meragu. Di benaknya muncul dua pilihan, menguburkan bangkai kucing atau meneruskan perjalanan menuju kantor. Mau tak mau, akhirnya, Joon memilih opsi kedua. Joon kasihan dengan kucing itu, yang sudah mati mengenaskan. Karena itu, Joon merasa memiliki tanggung jawab untuk mengubur bangkai kucing itu sendiri, sehingga pasti membuat dirinya telat sampai ke kantor. Dia berinisiatif menelepon Bang Abi dan mengatakan dengan sejujur-jujurnya apa yang tengah menimpanya.

“Halo, Bang,” tukas Joon begitu hapenya telah terkoneksi dengan hape Bang Abi.

“Ya, gimana Joon?” sahut Bosnya.

“Bang, sorry nih, kayaknya gue bakal telat ngantor.”

“Kenapa emangnya?”

“Gue barusan ngelindes kucing. Mau gue urusin dulu.”

“Emang ngelindes kucing dimana lo?”

“Di gang keluar rumah gue, Bos.”

“Oh yaudah, lo urusin dulu itu kucing, nanti kalo udah selesai secepatnya lo kemari, okay?”

“Okay, Bos.”

***

Sesampainya di kantor, Joon memang telat. Meeting telah selesai. Dia cuma bisa mengabsen dirinya dan melanjutkan jalan ke toko. Sewaktu hendak keluar dari pintu, Joon bertemu dengan Mbak Indri, karyawan paling senior di bagian sales. Mbak Indri menanyakan apa yang telah terjadi secara detail pada Joon karena tadi sewaktu meeting Bang Abi—Bos mereka berdua—mengatakan jika Joon telah menabrak seekor kucing waktu berangkat. Makanya, dia akan telat ke kantor karena mengurusnya terlebih dulu.

Mbak Indri pun bertanya, “Terus apa yang lo lakuin sama tuh kucing?”

“Gue kuburinlah, makanya gue telat.”

“Bagus, lo udah ngelakuin hal yang bener,” komentar Mbak Indri, “Eh tapi, lo nguburinnya pake baju yang lo pake pas nabrak kan, Joon?”

“Nggak tuh. Gue nguburinnya pake kain bekas.”

“Duh,” Mbak Indri menepuk jidatnya, “Kenapa nggak pake salah satu pakaian yang lo pake pas nabrak?”

“Gile aja lo, baju baru dibeliin bini buat ngubur kucing!”

“Bukan gitu masalahnya, Joon. Menurut mitos, kalo ada orang yang nabrak kucing sampai mati, emang harus mengubur bangkai kucing itu secara layak. Dan dibungkus dengan kain atau pakaian yang dipakai orang itu pas nabrak si kucing. Kalo nggak, bisa-bisa yang nabrak dapat musibah.”

“Ah, lo, Mbak, masih aja percaya mitos-mitosan kayak gitu. Gue nguburin juga karena kasihan aja ngelihat kucing itu,” Joon menimpali perkataan Mbak Indri.

“Ya, gue cuma ngasih tauk lo kalau adatnya emang biasa begitu. Percaya nggak percaya sih.”

Joon mengedikkan bahu. Tampaknya dia memilih tak mempercayai mitos itu. ‘Bagaimana bisa arwah kucing mati menuntut balas?’ gerutunya dalam hati. ‘Aneh-aneh aja, urusan hidup dan mati kan sepenuhnya milik Tuhan. Lagian, hare gene masih percaya sama mitos, ck… katrok!’

Keduanya kemudian berpisah untuk pergi ke toko masing-masing. Joon memasukkan kunci motor dan setelah menyala, dia langsung bablas keliling ke toko langganannya.

Baru jalan sekitar 5 menit, Joon merasakan hape yang diletakkan di saku celana jeansnya bergetar-getar—tanda ada seseorang yang menghubunginya. Dia menepikan motornya untuk mengangkat telepon. Sebelum mengangkat, Joon sempat melihat layar hapenya sekilas. Di situ tertera nama istrinya, Hana.

“Halo, Ma.” Dari seberang telepon, terdengar suara Hana menangis sesenggukan. “Maaa… ada apa?” tanya Joon kebingungan.

“Pa, huuhuu huuhuu… Bapak nggak ada.”

“Nggak ada gimana?” Joon makin penasaran. Karena, tidak ada kabar yang mengatakan jika Bapak mertuanya itu sakit keras sebelumnya.

“Huuhuu… Bapak meninggal tadi.”

“Apa?!” Deg. Degub jantung Joon serasa berhenti sejenak mendengar pernyataan istrinya. “Inalillahi, kapan?”

“Belum lama. Katanya ditabrak motor gara-gara mau nyelamatin kucing.”

Joon mengernyit, ‘Kucing?’ Pikirannya segera melintas pada kejadian tadi pagi sewaktu dia berangkat ke kantor dan omongan Mbak Indri barusan sebelum dia jalan ke toko. ‘Kutukan kucing hitam?’

“Paaa…” Panggilan Hana memecah lamunan Joon.

“Ya?”

“Yaudah, cepet pulang. Kita ke rumah Bapak.”

“Ya, ya. Papa langsung pulang. Nih mau izin dulu sama kantor. Kamu tunggu sebentar ya?”

Joon segera mengurungkan niatnya untuk pergi ke toko dan menghubungi kantor untuk minta izin. Kemudian, dia mengarahkan laju motornya, pulang.

Selasa, 20 Mei 2014

Balada Cinta Ferdi Dan Firda

http://tipsmenjagakeharmonisankeluarga.files.wordpress.com/2012/06/gambar-kartun-romantis-12.jpg
Di ketinggian kamar di lantai delapan hotel berbintang lima, Firda menyibak vitrage, memandang ke luar jendela kaca yang sebagian permukaan luarnya berembun. Nampak di bawah sana lidah-lidah air laut menghantam garis pantai, berdebur-debur keras, tapi suaranya tak mampu menyusup ke dalam kamar, hingga kesunyian suite room ini sama sekali tak terusik. Sampai suatu saat terdengar suara seorang pria bertanya dengan nada lembut.

Nggak suka ya, menginap di sini?”
Firda menoleh sesaat, tersenyum tipis dan kembali melihat ke luar. ”Suka juga,” jawabnya datar.
”Suasana di sini hampir sama dengan yang di pantai Kuta.”
”Ya.”
”Bedanya waktu itu kamu enjoy sekali….”
Firda terdiam sesaat. Ia merasa bahwa Ferdi telah membaca suasana hatinya secara tepat. Sementara Ferdi sendiri lalu bangkit dari tempat tidur, mengencangkan tali kimono dan berjalan menghampiri Firda. Memeluknya dari belakang. Di luar penglihatan Ferdi, Firda memejamkan mata dan menghela napas panjang. Dan Ferdi ternyata merasakannya. ”Ada apa, Firda?”
Firda tidak segera menjawab. ”… Kenapa kamu mengajak aku ke sini?”
”Kamu sendiri pernah bilang bosan terus-terusan ke motel murahan.”
”Tapi kata orang hotel, kamar ini biasa disewa pasangan pengantin baru untuk berbulan madu.”
”So what ?”
”… Bukan berarti kamu mau mengajak aku berbulan madu, kan?”
Ferdi tersenyum lebar. ”Setiap ketemu kita berbulan madu.”
”Aku serius.”
Senyum Ferdi memudar. Perasaannya lembut berdesir. Dan dalam pikirannya pun muncul berbagai dugaan dan kecurigaan. ”Kamu bosan ya, kita begini-begini aja ?”
Firda menggeleng.
”Jadi kenapa…?”
”… Bulan depan aku mau nikah.”

Tangan Ferdi perlahan merenggang, melepaskan pelukan pada pinggang Firda. Dan Firda tak berusaha mencegahnya. Juga ketika Ferdi perlahan berjalan menjauh, duduk di sofa depan pesawat televisi yang menyiarkan CNN dengan volume suara rendah, nyaris tak terdengar. Rangkaian berita pengeboman kereta bawah tanah di London, berikut bursa saham yang terguncang, berlalu begitu saja tanpa perhatian. Di luar penglihatan Firda ia mengambil sebuah amplop coklat dari dalam laci, yang sesungguhnya akan diberikannya kepada Firda sebagai kejutan tengah malam. Hati-hati isi amplop itu dikeluarkannya sebagian. Dan nampaklah sebuah sertifikat rumah atas nama Firda.

”Sudah lama kamu pacaran sama calon suamimu?”
”Nggak pernah pacaran. Tapi sudah lama kenal. Tetangga dekat.”
”Kerja apa dia?”
”Guru SMP.”
”Oh…. Guru yang beruntung.”
”Kenapa beruntung?”
”Karena bisa mendapatkan istri secantik kamu.”
Firda terdiam. ”Mungkin aku yang beruntung masih ada laki-laki yang mau jadi suamiku,” bisiknya dalam hati.
”Setelah kamu kawin kita masih bisa ketemu lagi?”

Firda tak menjawab. Karena ia begitu takut memberikan jawaban yang salah.
Ferdi lalu hati-hati mengembalikan sertifikat tadi ke dalam laci. Ia tak berminat mengulangi pertanyaannya, sebab ia tak ingin memojokkan Firda untuk harus mengungkap sebuah janji. Sebuah janji yang pada gilirannya akan membelenggu diri Ferdi pula. Maka pertanyaan itu pun dibiarkannya mengambang dan tak pernah terjawab. Sampai Firda mengajak pulang meski kamar sudah telanjur di-booking untuk dua malam. Sampai keduanya berada di satu mobil dalam perjalanan pulang.

Sedan Mercy warna abu-abu metalik bermesin 3.600 cc berhenti di tempat gelap, beberapa belas meter menjelang sebuah halte bus yang sepi. Di dalam mobil ini Firda hendak membuka pintu, tapi tertahan oleh sentuhan tangan Ferdi berikut pertanyaan yang diucapkannya.
”Kali ini boleh aku antar kamu sampai rumah?”
”Jangan…!”
”Aku ingin berkenalan dengan orangtua kamu.”
”Kita sudah sepakat untuk membatasi hubungan hanya antara kita saja.”
”Meskipun ada kemungkinan setelah ini kita… akan lebih jarang bertemu?”
”Apalagi.”

Ferdi terdiam. Ia agak menyesal telah mengucap pertanyaan yang salah. Sementara itu Firda lalu mencium pipi Ferdi dan berbisik lembut. ”Maafin aku, ya….”

Ferdi merasa ada sesuatu yang tertahan di kerongkongannya. Sampai ia tak mampu berkata apa-apa dan membiarkan Firda keluar dari mobil. Baru setelah Firda menjauh dan nyaris tiba di ujung sebuah gang kecil, Ferdi seperti tersadar dari keterpukauannya, buru-buru membuka laci dashboard, mengambil amplop kecil berisi selembar cek dan lari ke luar mengejar Firda. ”Tunggu!”
Firda menahan langkah dan menoleh.

Ferdi menghampirinya dan menyerahkan amplop kecil itu kepada Firda. ”Tolong kamu terima. Kemarin aku sudah janji mau ngasih ini ke kamu.”
”Nggak usah…. Kontrak rumah sudah lunas sampai tahun depan.”
”Kalau begitu bisa kamu pakai buat apa saja. Cetak undangan, sewa gedung, biaya katering…. Semuanya pasti perlu biaya yang nggak sedikit.”
Firda terdiam. Dan tetap terdiam ketika Ferdi memasukkan amplop itu langsung ke saku belakang celana hipster-nya.
”Jangan segan-segan kontak aku kalau masih perlu bantuan.”
Firda menjawab dengan pelukan erat. Dan Ferdi menyambutnya sepenuh hati. Mungkin hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu berapa lama mereka berpelukan seperti itu. Sampai kemudian keduanya berpisah, saling melambaikan tangan, dan Firda berjalan lunglai meninggalkan Ferdi, berbelok memasuki gang, dan akhirnya lenyap selepas tikungan. Beberapa saat kemudian mobil yang dibawa Ferdi pun perlahan bergerak menjauh dan menjauh….

Malam itu suasana di rumah Firda tidak seperti biasanya. Beberapa sepatu dan sandal bertebaran di teras, sementara pintu ruang tamu masih terbuka meski jam sudah menunjuk pukul sebelas. Rupanya ada beberapa paman dan bibi Firda datang dari kampung bersama anak-anak mereka, ingin mengikuti acara lamaran keluarga calon suami Firda yang rencananya akan berlangsung lusa.

”Firda biasa pulang kerja jam berapa?” si paman bertanya.
”Minggu ini dia dapet giliran masuk sore, pulangnya antara jam dua belas jam satu,” jawab ibu Firda.
”Malam sekali, ya.”
”Namanya juga kerja di restoran. Restoran di hotel berbintang lagi, yang bukanya dua puluh empat jam.”
”Yang penting gajinya lumayan,” si bibi menimpali.
”Bukan lumayan lagi,” kata ibu Firda. ”Dia sudah mampu jadi pengganti ayahnya. Semua keperluan sehari-hari dia yang biayain. Termasuk kontrak rumah dan uang sekolah adik-adiknya.”
”Memang gajinya berapa?”
”Gajinya mah sekitar delapan ratus. Tapi uang lemburnya tinggi, katanya. Waktu baru dua bulan kerja saja saya lihat tabungannya sudah lima juta lebih. Jauh betul dengan ayahnya yang sampai pensiun nggak pernah bisa nabung.”
”Jangan-jangan dia sudah jadi manajer.”
”Ah, belum. Karyawati biasa. Tapi kelihatannya dia memang sedang dipersiapkan atasannya untuk naik pangkat buat pegang jabatan. Tiga bulan terakhir ini dia sering ikut macam-macam training. Manajemen, bahasa Inggris, komputer, kepribadian…. Kadang di Jakarta, tapi lebih seringnya di Bandung.”
”Berat juga ya, sampai harus ke Bandung segala.”
”Berat sekali juga enggak. Soalnya kalau training di Bandung pasti menginap barang semalam. Jadi masih ada waktu buat rekreasi, belanja-belanja, beli oleh-oleh buat yang di Jakarta. Bulan lalu malah di Bali sampai seminggu.”
”Semuanya dibiayai kantor?”
”Bukan cuma dibiayai, tapi juga dikasih uang saku!”
”Hebat sekali!!?”

”Makanya saya sendiri suka terharu, nggak mengira Firda sekarang sudah jadi tulang punggung keluarga. Saya cuma bisa bersyukur dan bersyukur pada Yang Mahakuasa, ’Ya, Alloh… terima kasih atas segala kemudahan yang sudah Kau berikan kepada kami…’.”
Pagi hari Ferdi membuka mata dan kecewa menemukan dirinya tergolek di ranjang di kamar rumahnya. Jam dinding menunjuk setengah tujuh, yang berarti sebentar lagi istrinya akan memanggilnya untuk sarapan. Ia pun bangkit hendak keluar kamar, tapi lalu tertahan oleh dering telepon yang terletak di meja lampu. ”Halo?”

”Bisa bicala sama eyang Feldianto?”
Ferdi tersenyum. ”Ini siapa, sih, pagi-pagi sudah nelpon pakai suara genit?”
”Aku Icha, cucunya eyang Feldi.”
Ferdi tertawa. ”Ada apa, sayang?”
”Ental siang jangan lupa, ya, dateng ke lumahku. Aku kan ulang tahun.”
”Oh, ya. Pasti. Eyang nggak mungkin lupa.”
”Dah, eyaaang.”
”Dadaah.” Ferdi menutup gagang telepon. Senyumnya seketika memudar. ”Hampir lupa…!” katanya dalam hati.
”Siapa yang nelpon?”
Ferdi kaget dan menoleh, melihat istrinya yang baru saja muncul di pintu kamar. ”Icha. Ngundang ke ulang tahunnya nanti siang.”
”Icha sendiri yang nelpon???”
”Iya.”
”Ya, ampun! Baru mau tiga tahun sudah pinter banget.”
”Anak sekarang….”
”Eh, Astrid sudah nemuin Papa?”
”Belum. Ada apa?”
Belum lagi ibunya menjawab, seorang gadis cantik berumur dua puluh lima tahun muncul dan langsung masuk ke kamar. ”Hai, Pa!”
Si ibu tersenyum penuh arti dan pergi meninggalkan ayah-anak ini. ”Minta sendiri gih sama Papa.”
Ferdi bertanya-tanya. ”Mau minta apa, sih?”
”Mmm…. kado perkawinan.”
”Kado kok minta. Tergantung papa dong, mau ngasih apa.”
”Soalnya gini, Pa. Mathias sudah pasti mau dikasih kado mobil sama orangtuanya. Maksudku, Papa jangan ngasih aku mobil juga.”
”Terus, kamu pengin dikasih kado apa?”
”Mmm… rumah.”
Ferdi tertegun. ”Rumah…?”
”Soalnya aku sama Mathias sudah sepakat setelah kawin nanti nggak mau tinggal di pondok mertua indah.”
Setelah berpikir beberapa saat, berangsur wajah Ferdi kembali cerah dan bahkan kemudian tertawa. ”Tenang aja. Sudah papa siapin.”
”Ah yang bener, Pa.”
”Kamu suka, kan, rumah di Bukit Kayangan?”
”Suka banget! Memang papa sudah beli???”
”Sudah.”

Astrid sesaat terkesima, lalu menghambur mendekati ayahnya dan mencium pipinya berkali-kali. 

”Thanks, Pa! Makasih banget!!!”
”Buat kamu, apa sih yang nggak papa kasih.”
”Tapi rumahnya sudah ada atau kita harus nunggu dibangun dulu?”
”Sudah ada. Tinggal masukin furniture sama ngurus balik nama.”
Astrid heran. ”Kok pakai balik nama segala…?”

Minggu, 04 Mei 2014

Walaupun Kau Sudah Tak Perawan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieIbUG5QaHWMSxY_s2zibv8taORewlb37QXPhO65lLAeEfDsdzNzuLanT5AP4l3eaCmDWKCkqOvFygsk9FhYic5UE5Adx1xD1AeAx_ACuXmSi-08mvdj3kEoVs9X8QV6US6NSj-0LZPSXh/s1600/peluk.jpg
Sudah lama sekali aku mengagumi Ayu, seorang gadis desa yang sangat cantik menawan, lenggak lenggok tubuhnya membuat mata tak mampu untuk berkedip. Ku pandangi dia saat sedang bersantai  menikmati angin desa di depan rumahnya. Ku hampiri dia walau diri ini memang gugup untuk mendekati dirinya.

“Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsallam, eh mas jaka., ayo masuk ke dalam mas.”
“Terima kasih, disini aja, sejuk udaranya.”
“Ada apa, mas?”
“Gak ada apa apa, Yu, Cuma pingin ngobrol saja.”, “Gimana kabarnya,?”
“Alhamdulillah baik, mas”

Kunikmati sore hari dengan mengobrol dengan ayu, di akhir perbincangan aku selalu menanyakan tentang cintanya padaku, tapi dia selalu tak menjawab, matanya berkaca kaca seperti ingin menangis. Akhirnya ku selalu urungkan niatku untuk itu.

Ku bertanya tentang diriku sendiri, aku selalu mengkoreksi diri, apa ada yang salah dengan diriku, aku memang benar tulus mencintainya, tapi dia selalu ingin tak menerimaku. Ku ingin mencari waktu yang pas untuk menyatakan cintaku sekali lagi padanya.

Pagi hari itu, ku sedang bekerja di sebuah pabrik kain, dekat di rumahku. Aku biasanya pulang waktu sore hari, ku lewati rumah ayu berharap dia sedang santai di depan rumahnya lagi. Tapi harapanku tak selalu jadi kenyataan. Dengan sedikit kecewa, ku pulang dan memikirkan kapan dia akan menerima cintaku.

Di sela tidurku, aku akhirnya berpikir dan sadar, mungkin dia malu denganku, karena dia tak pantas untuk dijadikan seorang kekasih. Dia sadar akan kejadian bulan lalu yang menimpanya, dia di perkosa oleh lelaki jahanam bernama Prapto, Prapto adalah kekasihnya dahulu, dibalik cintanya kepada ayu ia menaruh nafsu, dan berniat memperkosa dia, tapi ayu tak menyadarinya. Saat itu dirumah ayu tidak ada siapa siapa, itulah kesempatan prapto untuk menjalankan niatnya. Atas semua kejadian itu, mereka ketahuan oleh warga dan dituduh warga karena mereka telah melakukan perzinahan, aku berusaha meyakinkan warga dan berpura pura hampir melihat kejadian itu, bahwa ayu telah diperkosa, akhirnya warga mempercayai omonganku, dan hanya mengusir prapto dari kampungnya, sejak kejadian itu ayu sering melamun, tapi akhir akhir ini dia sedikit ceria seperti biasanya.

Hari minggu ini, aku mencoba sekali lagi untuk menyatakan cintanku. Ku hampiri rumahnya. Untung dia ada di rumah sedang menyapu halaman, seperti biasa dia sangat cantik sekali.
“Ayu, aku kali ini ingin ngomong serius sama kamu,”
“Ada apa mas,”
“Boleh kita ngomong di dalam saja“
“mari mas”

Ku ikuti dia ke dalam rumahnya, dengan perasaan gugup dan takut ia menolaknya lagi.tapi aku memberanikan diri, ini demi masa depan ayu dan diriku.
“Ayu, mas ingin kamu jujur pada aku, apa kamu mencintaku.”
“Aku tidak bisa menjawab mas,”
“Tapi, ayu. Aku serius padamu, aku akan menerimu apa adanya, aku ingin membahagiakan kamu.”
“Tapi, aku tak pantas untukmu mas, kamu lelaki baik baik, sedangkan aku hanya perempuan yang tidak bisa menjaga martabat seorang perempuan.”
“Ayu, aku tidak peduli tentang kejadian lalu, tapi mari kita menatap masa depan bersama, aku ingin menjalani masa hidupku padamu.”

Aku meyakinkan padanya sekuat tenaga agar dia mempecayaiku, akan keseriusanku padanya. Ku coba dia untuk menerima cintaku, walaupun dia selalu menolaku, sesekali air matanya berlinang, suaranya menjadi lirih.

“Apa mas, benar ingin menjadi suamiku.”
“Iya, Ayu, aku ikhlas ridho lillahi ta’ala”
“Walaupun aku sudah. . .”
“Sudahlah ayu, itu semua tidak penting, lebih penting masa depanmu. Aku berjanji akan menjagamu dan mencintaimu selamanya.”
“Terim kasih mas,”

Akhirnya dia menerimaku, ku peluk dia. Pelukannya erat sekali, seakan ia terharu, air matanya berlinang tak terbendung seakan ia berterima kasih sekali padaku. Ku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan mengembalikan kembali martabat dirimu sebagai perempuan.

Senin, 28 April 2014

Bapak, Mengapa Aku Berbeda ?

http://safasc.files.wordpress.com/2010/11/ayah-dan-anak2.jpg
Memang aku tergolong keluarga yang miskin, bapakku adalah seorang buruh, ibuku adalah tukang cuci pakaian. Walaupun kami serba kekurangan, keluarga kami tetap penuh dengan kasih sayang. Tetapi Alhamdulillah kita tidak pernah mengalami apa yang namanya kelaparan, karena ibukku pintar mengatur uang.

"Bapak.!"
"Iya, nak ?"
"Dede, pergi ke sekolah dulu, ya"
"Iya, nak. Hati-hati ya ?"

Aku pergi ke sekolah biasa dengan berjalan kaki, karena bekalku tidak cukup untuk naik kendaraan umum. Aku tetap menikmatinya, siapa yang tidak suka berjalan di pagi hari dengan udara sejuk pedesaan. Ku menyusuri setiap jalan dengan pemandangan sawah yang membentang luas berwarna hijau. Gemercik air selokan membuat damainya suasana di desaku. Jarak rumah ke sekolah SD ku kira kira 1 Km. Memang jarak yang tidak dekat, tapi biasa berangkat jam 5 Shubuh.

Jam Setengah tujuh aku biasa masuk sekolah, tapi Alhamdulillah aku jarang terlambat. Ku nikmati hari hari ku di sekolah bermain bersama teman, belajar bersama teman. Ku mendapat banyak pengalaman di sekolah. Sampai saat ini aku tidak pernah bosan apa yang dinamakan belajar, teman temanku biasanya sering menghabiskan bekalnya untuk jajan di kantin, tapi aku berbeda aku selalu menyisakan uangku untuk ditabungkan agar aku bisa membeli sepeda. Aku tau ayahku tak mampu membeli sepeda baru.

Jam 11 siang, bel pulang berbunyi, ku mengemasi peralatan sekolahku ku mengeceknya lagi sampai tak ada yang ketinggalan. Seperti biasa pulang pergi aku selalu menyusuri jalan yang telah aku lewati sebelumnya. Walaupun sekarang udara dari sejuk berubah menjadi panas.

Sesampainya di rumah aku selalu membantu Ibuku menyiapkan makanan untuk kita semua. 
"Nak ?"
"Iya, bu."
"Suruh bapakmu makan dulu"
"Iya. bu" aku segera pergi untuk memanggil bapakku yang sedang bekerja
"Pak, makan dulu, itu makanan sudah siap"
"Iya, nanti bapak kesana"

Kita selalu makan bersama ditengah terangnya lilin, maklum listrik kami sudah dicabut minggu lalu, tapi kami sekeluarga tetap menikmatinya.
Aku ingat pesan ibu guruku, bahwa semua siswa harus memakai pakaian khusus untuk memperingati Hari kartini. Aku bergegas memilih baju yang akan aku kenakan besok. Tapi aku sekalipun tidak pernah mempunyai baju yang spesial, bajuku semuanya sudah jelek dan robek. Aku meminta ke Bapaku apakah aku bisa mempunyai baju spesial besok. Bapaku menyanggupinya

Aku segera tidur, dan aku tidak sabar untuk bangun pagi esok, dan cepat cepat menunjukan pakaian baruku besok. 
Tapi kali ini aku malah bangun jam 6 pagi. aku langsung bergegas mandi dan menyiapkan buku yang dibawa kali ini. Aku langsung memakai baju baru yang sudah disiapkan oleh ibu untuk memperingati hari Kartini. 

"Nak, ayo ! bapak antar"
"Ayo, pak"

Sesampainya di sekolah, aku terheran. Mengapa semua teman temanku, memandangku seperti, apakah mungkin gara gara aku pakai baju baru. Ah tidak mungkin, karena ada juga yang menertawaiku, mungkin bajuku ini kuno dan jelek, memang aku berbeda dengan teman temanku yang orang tuanya berkecukupan. Wajahku yang tadi bahagia berubah menjadi sedih. Aku memandang baju yang telah dibuat oleh ayahku. Kini aku sadar kenapa aku ditertawakan oleh teman teman.

"Bapak, mengapa aku berbeda !"
"Beda apa nak."
"Ini bajuku pak"
"Bajumu kenapa ? itu sudah bapak beli susah susah lho"
"Iya,bapak, tapi ini kan Kebaya.. "
"Lho kan katamu, buat memperingati hari Kartini, ya, tak buatin baju kebaya."
"Tapi, aku kan laki laki, bapak."
"alah, ya biarin kan biar beda sama temanmu yang laki laki"
"Ya elah bapak"

oleh : Algifari

Jumat, 18 April 2014

Duduk Di Tepi Sungai



Cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Ia meraup remah remah roti dari telapak tangannya yang bergurat kasar. Melemparkannya ke pasir putih. Lantas merpati itu mematukinya. Angin menggelepar di tingkah bunyi sayap mereka, yang datang dan pergi sesekali. Suara sungai seperti aliran mimpi. “Terbangnya cepat dan tinggi ?” Tanya si cucu, sambil memandangi makhluk bersayap itu tanpa berkedip.

“Tentu saja, coba lihat matanya . . . .”

Dan lelaki tua yang telah merasuki hidup itupun bercerita tentang mata, paruh dan bulu-bulu dan warna-warna, dan segala macam hal tentang merpati yang diketahuinya. Ia memindahkan seluruh pengalaman hidupnya pada si anak. Dan si anak merekam seluruh pengalaman hidup orang tua itu.

“Merpati juga sering disebut burung dara, kamu tahu kenapa?”
“Tidak.”
“Aku juga tidak. Orang-orang tua seperti aku tidak pernah diberi pelajaran Bahasa Indonesia. Mestinya kamu lebih tahu.”
“Aku akan tahu nanti, tapi sekarang belum.” Anak itu menjawab sambil menatap mata kakeknya.

Mata anak itu bening, tajam dan bercahaya, bagaikan memancar langsung dan menyelusup ke dalam mata kakeknya. Mata kakeknya juga bercahaya, tapi tidak lagi begitu bening dan tidak lagi begitu tajam. Mata itu juga menusuk langsung ke dalam mata cucunya. Kakek itu melihat masa lalu melalui cucunya. Dulu ia juga mengenal banyak hal dari kakeknya. Ia mengenal kerbau. Ia mengenal bunga rumput. Ia mengenal seruling. Ia mengenal suara sungai. Itu semua dari kakeknya. Lantas terpandang telapak tangannya sendiri yang keriput. Ia teringat telapak tangan kakeknya. Telapak tangannya sendiri dulu juga seperti telapak tangan cucunya.

“Itu semua sudah berlalu,” batin kakek itu sambil terus memandang mata cucunya. Ia seperti mencari sesuatu dari dirinya dalam diri cucunya.
“Tentu ada sesuatu dari dalam diriku.” Batinnya lagi, “seperti jua ada sesuatu dari diri kakekku dalam diriku.”
“Apakah kakek dulu juga bersekolah seperti aku ?”
“Aku tidak pernah sekolah, nak. Aku dulu belajar mengaji.”
“Mengaji.?”
“Ya, mengaji. Kamu tahu kan ? sebetulnya itu sekolah juga. Ayat-ayat kitab suci mengajarkan bagaimana hidup yang benar.”
“Kenapa bapak tidak mengajari aku mengaji sekarang ?”
“Tanyakan saja sendiri. Mungkin karena waktumu habis untuk sekolah. Kamu selalu pergi sampai sore.”
“Kalau memang kitab suci mengajarkan hidup yang benar, seharusnya bapak menyuruhku belajar mengaji.”
“Ya, tapi banyak orang berpikir belajar mengaji itu aneh di zaman sekarang. Mungkin bapakmu juga berpikir begitu. Ia berpikir kamu lebih baik belajar bahasa inggris.”
“Apakah hidup kita akan tidak benar kalau tidak pernah belajar mengaji sama sekali?” kakek itu terperangah. Keningnya berkerut. Ia menatap mata cucunya yang bening dan polos bercahaya. Itulah pertanyaan yang pernah ia ajukan kepada kakeknya dulu. Tapi ia tak ingin menjawab pertanyaan cucunya dengan jawaban kakeknya. Ia sendiri sudah lama berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan. Sekarang ia merasa harus berusaha keras menjawab pertanyaan cucunya itu, karena ia berpikit akan teringat sampai mati. Sering kali ia merasa sudah menemukan jawaban, tapi ia takut itu merupakan jawaban yang tidak sesuai untuk cucunya. Selama ini  memang sudah menemukan keyakinan, namun ia juga ingin cucunya menemukan keyakinan sendiri.

“Tanyakan saja pada gurumu,nak. Tentunya ia punya jawaban yang bagus.”
“Guruku tidak menjawab, kek. Ia hanya mengajarkan bagaimana caranya aku menemukan jawaban.”
“Wah, kalau begitu sekolahmu itu pasti sekolah yang bagus. Kamu beruntung sekali, nak. Kamu sangat beruntung . . .”

Anak kecil itu masih memandang mata kakeknya tanpa berkedip. Mereka saling bertatapan dan saling merasuki lorong kehidupan yang amat panjang ke masa lalu dan ke masa depan. Orang tua itu teringat kembali ia dulu juga menatap mata kakeknya begitu lama dan ia waktu itu merasakan rekaman sebuah perjalanan panjang sedang memasuki dirinya dan kini ia tengah memindahkan perjalanan kakeknya dan perjalanannya sendiri dalam diri cucunya dan ia membayangkan cucunya kelak setelah menjadi kakek akan memindahkan perjalanan leluhurnya ke dalam diri cicitnya. Sungai itu mendesah. Burung dara mengepakkan sayap. Desah sungai selalu seperti itu dan kepak sayap burung selalu seperti itu tapi manusia selalu berubah. Kakek itu mendengar cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Kakek itu memandang cucunya berlari-lari melintasi kerumuman burung-burung sehingga burung-burung itu beterbangan sebentar sebelum merendah kembali mematuki remah-remah roti di antara kerikil. Cucunya berlari-larian di atas kerikil bercampur pasir putih yang bersih.

“Ini sebuah tempat yang bagus,” pikir orang tua itu. Di seberang sungai itu ada pohon-pohon yang rindang tempat remaja berpacaran dan di seberang pohon-pohon yang rindang itu ada pagar tembok dan diluarnya  membayang deretan gedung-gedung bertingkat dan diatas gedung-gedung bertingkat itu bertengger antena-antena parabola. Mata orang tua itu berkedip-kedip karena silau

“Kakek ! ke sini !”

Terdengar cucunya memanggil. Orang tua itu duduk mendekat. Ia melihat cucunya duduk di tepi sungai, sungai itu jernih. Dasarnya terlihat jelas. Terlihat ikan bergerak-gerak di celah batu. Ia memandangi cucunya, ingin tahu anak itu mau berkata apa. Tapi anak kecil itu Cuma membenamkan dagu antara kedua lututnya. Seperti mendengarkan sungai. Remah-remah roti yang mereka bagikan telah habis. Burung-burung melayang pergi, mereka berdua memandang burung-burung berterbangan di langit. Makin lama makin menjauh dan menghilang seperti masa yang berlalu. Tak terdengar lagi kepak sayap burung. Tinggal suara sungai yang gemericik dan udara yang bergetar ditembus cahaya matahari.

(Seno Gumira Ajidarma)

Dodolitdodolitdodolibret

[seno+gumira.jpg]
Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.

“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.

Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.

”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”

Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.

Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.

”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”

Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.

Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.
Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.

Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.

”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.

Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.

”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, "dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan ?”

Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.

Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.

”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.
 _______________________________________________

Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”

Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.

”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.

Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”

Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.

Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!

”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.

Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.

”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.

Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.

”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.

Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.
Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.

”Guru! Lihat!”

Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!

Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?
Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.

”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”.


(Seno Gumira Ajidarma)

Senin, 14 April 2014

Beri Aku Maaf, Teman

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsSDq1C_Og6oGkIWkVKqIz0ZKwNbqZU7PmkTB3tRjZrjXFItj3NpMF81mJIuROXUbRXh2fV6JubQNy3L8fkOWM1wAnFaJ7Usr1XAaqEMHjYReE1s3vveumc-rObSZvC3gLF_3a2PApLDu0/s1600/sahabat21.jpg
Berbagai cara sudah dilakukan Ano untuk meredakan kebekuan hati Udik. Namun belum membuahkan hasil. Udik masih tetap marah dan tak mau mengajaknya bicara. Ano heran setengah mati, udik bersikap seperti itu. Ano tak menyangka sama sekali apa yang dilakukan membuat sohib dekatnya tersinggung dan marah besar. Ano mengakui kesalahannya, tapi Udik belum membuka pintu maaf baginya.

Bagaikan perang kalah, perasaan Ano melihat kenyataan itu. Sedih, teramat tragis. Ia sangat terpukul ketika permintaan maafnya yang kesekian, sore kemarin, ditolak mentah-mentah.

“Aku belum bisa melupakan peristiwa itu. Suatu saat jika sudah lenyap dari benakku, aku akan menerima maafmu.” Itu yang diucapkan Udik ketika Ano jauh-jauh menemuinya.

Ano mencatat, empat kali ia minta maaf pada Udik. Empat kali pula ia harus kecewa, permintaan maafnya tidak direspons . Ano mengakuinya, dirinya memang salah. Karenanya, ia berupaya minta maaf pada Udik.
Terlintas  jelas di benak Ano bagaimana peristiwa itu terjadi. Secara tak sengaja ia biarkan Udik menunggu disambati Ano. Di mata Ano, Udik baik dan entengan. Sayang, peristiwa stasiun itu, membuat hubungan itu memburuk.

Permasalahannya sepele, Ano tak menemukan Udik ketika keretanya tiba di stasiun. Dicari sana-sini, batang hidung Udin tak Nampak. Dalam keadaan bingung muncullah wahyu, teman sekampusnya. Singkat cerita Ano pulang dengan Wahyu.

Siangnya udik datang ke tempat Ano. Berbagai makian ditumpahkan Udik. Udik menganggap Ano mempermainkan. Disuruh menjemput, tapi malah dibiarkan bingung. Ano menjelaskan bahwa dirinya sudah mencari Udik, tapi tak ada. Udik beralasan ia sedang ke kamar kecil dan malah menyalahkan Ano yang tidak menelponnya. Mengapa saat itu Ano tidak ngontak Udik, karena HP-nya low bath. Sebenarnya ia bisa telpon lewat wartel yang ada di situ.

Tapi karena panik, ingin cepat-cepat sampai di tempat kost, Ano tak melakukan itu. Dan kesalahan itulah membuat Udik berang. Betul-betul marah pada Ano.

Ano sudah minta pendapat teman-teman, langkah apa yang diambil. Sebenarnya bisa saja Ano cuek dengan kelakuan Udik itu. Tapi sebagai orang yang masih mempunyai hati nurani, Ano merasa perlu minta maaf.

“Masak salah dan bikin orang teraniaya diam saja. Sudah sepantasnya aku minta maaf.” Ujar Ano pada Sinta.

Sinta bisa mengerti yang diamui teman sekampus itu. Tapi ia merasa tak rela jika Ano dilecehkan oleh Udik seperti itu.

“Ngapain kamu minta maaf, sementara yang kamu mintai maaf ketus kayak gitu. Lupakan saja, Anggap sudah selesai saja,” saran Sinta.
“Wah tak segampang itu, Sin!”
“Kan sia-sia kalau tanggapan Udik terus seperti itu.”
“Justru itu aku harus bisa mendapat maaf darinya. Baru setelah itu lega.”
Udik sebenarnya sudah disadarkan teman-temannya. Apa yang dilakukan tidak baik. Namun Udik mengaku merasa masih sakit hati atas kejadian itu. Ia punya pendapat, sikap ngeyelnya itu untuk member pelajaran Ano.
“Tapi kasihan Ano kalau kamu seperti it uterus. Padahal dia benar-benar mendambakan maafmu,” ungkap Indro.
“Itu resiko dia. Berani berbuat, berani menanggung akibatnya!”
“Dia sangat menghormatimu, Kalau dia tidak menganggapmu, pasti tak akan minta maaf. Mestinya kamu tahu itu. Apa sih sulitnya member maaf?”

Udik terdiam. Lontaran Indro menusuk kedalam sanubari Udik. Sesuatu sedang dipikir cowok itu.
Gerimis mewarnai atmosfir malam itu. Ano malas keluar rumah. Ia masih dikamar sambil mendengarkan teriakan nyaring Chris Cornell, vokalis Audioslaves. Padalah lapar sudah meliliti perut.

Ano terperanjat ketika pintu diketuk. Lebih terkejut lagi saat Udik di hadapannya, begitu pintu dibuka. Berbagai perasaan berkecamuk di benak Ano. Apa yang akan dilakukan Udik terhadap dirinya ? Pikiran itu menyelusuri di sekujur darah Ano.

“Maaf kedatanganku mengejutkanmu. Ada hal penting yang perlu kuungkapkan padamu, Ano.”
“Eh, nggak apa-apa kok,” Jawab Ano kikuk.
“Aku hanya mau minta maaf padamu. Selama ini aku telah menyusahkan dirimu.”
“Lho, yang mestinya minta maaf kan aku.”
“Nggak. Aku telah menyia-nyiakan kebaikanmu. Aku sudah menolak maafmu selama ini. Padahal maafmu itu tulus. Aku sadar, apa yang kulakukan itu salah.”

Ano terdiam.

“Untung ini tidak berlarut-larut. Teman-teman menyadarkanku aku. Aku menyesali atas sikapku selama ini Ano. Minta maaf memang hal yang paling sulit diucapkan. Tapi aku harus melakukannya.” Tambah Udik.
“Jadi, kamu sudah memaafkanku, Dik ?”
“Tentu, kita temanan lagi.”
“Benarkah itu ?”

Udik mengangguk. Ano tersenyum memancarkan kegembiraan. Maaf yang ditunggu-tunggu, datang sudah. Tak ada kebahagiaan bagi Ano yang melebihi peristiwa malam itu.

Sabtu, 12 April 2014

Kurma Dari Madinah

Pada usianya yang sudah uzur, sudah lebih dari 65 tahun, pak madi merasa gembira, karena putra semata wayangnya kini menjadi pejabat di pusat. Pada awal ramadhan ini, putranya kembali melakukan ibadah umrah di tanah suci. Lewat telepon, putranya minta doa restu dan bertanya”
“Bapak mau saya bawakan oleh-oleh apa?”
Pak Madi langsung menjawab tegas. “Bawakan saja kurma dari madinah !”
“Hanya itu saja, pak?” Tanya putranya lagi.
“Ya, hanya kurmah dari madinah. Terserah berapa kilo.”
Putranya tertawa. “Satu kuintal apa cukup pak?”
Pak madi juga tertawa. “Kalau kamu tidak keberatan, satu ton juga boleh.”

Pak madi ingin menjalani sisa puasa ramadhan ini dengan berbuka puasa dengan kurma dari madinah. Betapa nikmatnya mengunyah kurma dari madinah sambil membayangkan Rasulullah yang sedang berbuka puasa dengan menyantap 3 butir kurma. Dan karena Rasulullah tinggal di kota madinah, tentu kurmanya juga dari madinah.
Dalam batin pak madi, puasa ramadhan tahun ini mungkin terakhir baginya. Ajalnya terasa semakin dekat saja. Entah kapan tapi pasti ajal itu akan datang. Semua teman sebayanya sudah wafat. Dan didesanya pak madi warga yang paling tua.
Dan pada usianya yang uzur ini, pak madi tinggal bersama istrinya. Selama ini, pak madi sering bersitegang dengan istrinya dalam memilih gaya hidup. Pak madi lebih suka hidup sederhana, sedangkan istrinya suka hidup bermewah-mewah.

“Kita hidup di desa. Yang sederhana saja.” Kalimat ini sering diucapkan pak madi setiap kali melihat istrinya bersikap wah.
“sederhana bukan berarti tidak mewah, pak. Bagi yang mampu, kemewahan bisa dianggap sederhana.” Tukas istrinya.

Pak madi selalu mengalah. Percuma berdebat kusir dengan istrinya. Tapi pak madi selalu sedikit melihat akibat yang ditimbulkan dari sikap istrinya yang suka bermewah-mewahan. Misalnya, putranya menjadi ikut-ikutan suka bermewah-mewah.  Jika pulang ke desa, puteranya selalu membawah mobil mewah tipe terbaru yang baru saja keluar dari diler dan belum ada nomor polisinya.
Pernah pak madi memberi nasihat kepada putranya agar jangan suka bermewah-mewahan.

“Kamu pejabat Negara. Kalau suka bermewah-mewahan, kamu bisa melakukan korupsi.”
Putranya tertawa. “Bapak tak usah khawatir. Tanpa korupsi, saya bisa hidup mewah, karena punya banyak kolega dan banyak sumber penghasilan.”

Mendengar ucapan putranya itu, pak madi justru makin khawatir. Sebab, sepengetahuannya gaji pejabat Negara tidak seberapa jika dibandingkan dengan gaya hidup dan beban sosialnya. Gaji yang cukup besar bagi pejabat bisa habis untuk membayar berbagai rekening tetap bulanan, juga biaya pergaulan tingkat atas seperti menghadiri pesta-pesta.

“Kamu boleh menikmati hidupmu dengan bermewah-mewahan, tapi jangan sekali-kali melakukan korupsi dan mencemarkan nama baik orang tua.” Pak madi berpesan kepada putranya dengan suara berat. Rasanya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu gara-gara punya anak menjadi koruptor yang diberitakan di berbagai media massa.

Sampai pertengahan ramadhan, pak madi belum ditelpon putranya lagi. Dan setiap pak madi mencoba menelpon putranya selalu gagal. HP milik putranya selalu dimatikan.

“Mungkin ingin khusyuk menjalani umrah, sehingga selama di tanah suci tidak mau diganggu, pak” istrinya mencoba menghibur.
“Tapi seharusnya dia sudah pulang, bu. Jangan-jangan dia sakit di tanah suci?”
“Kalau dia sakit, pasti menelpon, dong. Kita kan orang tuanya.”

Pak madi makin cemas. Sejak ramadhan, kebiasaannya membaca Koran setiap pagi dihentikan. Begitu juga kebiasaannya menonton tayangan berita siang ditelevisi juga dihentikan. Sepanjang hari pak madi terus memperbanyak dzikir dan bertasbih.
Dengan menahan cemas, pagi itu pak madi mencoba membuka Koran yang baru saja diantar loper. Matanya langsung terbelalak membaca berita di halaman muka.
Nama putranya tertulis dengan huruf besar sebagai tersangka korupsi uang Negara miliaran rupiah. Dan sekarang dinyatakan sebagai buron atau masuk daftar pencarian orang alias DPO.
Dada pak madi langsung terasa nyeri. Dipanggilnya istrinya yang sibuk mengamati gambar-gambar desain busana baru yang dimuat di majalah.

Ketika istrinya mendekat, pak madi langsung menyuruhnya membaca berita di halaman Koran itu.
Istrinya terperanjat. “ pasti berita ini fitnah, pak. Tak mungkin anak kita melakukan korupsi.”
“Sekarang tidak bisa sembarangan memuat berita fitnah, bu. Berita ini pasti benar, sehingga ditempatkan di halaman muka.”
Isterinya menangis .

Dada pak madi semakin nyeri. Ingin segera bangkit dan berbaring di kamar tidurnya, tapi tiba tiba sekujur tubuhnya tidak bertenaga lagi. Ingin juga bicara lagi, tapi mulutnya tiba-tiba menjadi kaku.
Sejak saat itu, pak madi lumpuh dan bicaranya gagu. Dokter yang memeriksanya menyatakan pak Madi terserang stroke dan kemungkinan lumpuh permanen karena usianya sudah uzur.
Istrinya terpukul. Betapa di hari tuanya harus repot-repot merawat suami yang menderita lumpuh total. Sedangkan putra semata wayangnya menjadi buronan. Hari hari yang semula ceria dan serba  wah, kini menjadi muram dan serba susah.

Di pagi itu, pak madi baru saja dimandikan dan disuapi istrinya. Sejak menderita lumpuh dan tidak bisa bicara dengan jelas, pak madi tidak lagi berpuasa.
Tampat istrinya sangat lelah. Matanya terasa gelap, dan sekujur tubuhnya lemas. Lalu duduk di berdanda depan untuk menghidup udara segar.
Tiba tiba datang seorang kurir dari perusahaan layanan jasa titipan kilat yang mengantarkan bungkusan kardus yang dikirim putranya dari singapura.
Bungkusan kardus itu segera dibawa kekamar dan dibuka didepan pak madi. Isi bungkusan kardus itu adalah kurma dari madinah seberat 10 kilogram dan selembar surat dengan tanda tangan putranya.
Dalam kelumpuhan, pak madi mendengar istrinya membaca surat dari putranya itu.

“Maafkan saya, karena telah mencoreng nama baik keluarga. Sekarang saya sehat-sehat saja di singapura. Dan bersama surat ini, saya kirimkan sepuluh kilogram kurma dari madinah.”
Pak madi melirik sebutir kurma dari madinah yang telah dipungut istrinya dan hendak disuapkan ke mulutnya. Di mata pak madi, sebutir kuma itu bagaikan sebongkah bara panas. Tak mungkin bisa dinikmatinya. Tak mungkin bisa.

Minggu, 06 April 2014

Di Atas Kereta Rel Listrik

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnMCdep8ReTP2zZD6ymLYlltRozB6sqj9RVkoC3Qc7c6hErxHCfYdAmbAzUIOTcRFEuWYmt84neJLaU_uRmLh2mGshZ92EjZg9-M3kEs_6g_ChzmoxN2N_9rJf5KcCQJMXBYzgpGZvFv4/s1600/eko+biasa.jpg
Tidak lama setelah itu, sekawanan remaja sekolah menengah umum seusia anak yang duduk di sebelahku, muncul dari gerbong di depan gerbong kami. Mereka masuk dengan sikap beringas dan tidak menunjukan sikap sopan. Inilah awal malapetaka itu.
Melihat kedatangan sekawanan anak sekolah itu, anak laki-laki yang baru naik dan duduk disebelahku, jadi gelisah. Dia bergeser dekat denganku.

“Tolong lindungi saya, pak. “saya sama sekali tidak terlibat dalam perkelahian itu. Aku tidak ikut-ikutan”
Dia makin cemas dan gelisah. Mungkin dia menyadari kalau dia sedang berhadapan dengan bahaya, dan dia sudah terperangkap di antara langit-langit dan dinding garbing. Tak ada tempat untuk menghindar.

“Murid-murid sekolah kami berkelahi dengan murid-murid sekolah mereka. Ada tiga korban terbunuh dari pihak mereka. Saya tidak ikut-ikutan dalam perkelahian itu. Tolong lindungi saya, pak.”
“Kalau begitu persoalannya duduklah dengan tenang di sebelahku. Tak ada yang perlu dicemaskan. bersikaplah seolah kau anakku.”
“Terima Kasih, pak.” Katanya.

Namun, semuanya terjadi di luar perhitunganku.  Dan tak dapat dihindarkan mereka pun melihat anak itu dan dapat menandai dari seragam sekolah yang dikenakannya. Seorang dari mereka datang kearah kami. Mencengkeram dan merenggut kerah baju dibagian lehernya. Terdengar benang tetas di bagian kerah yang direnggut anak itu. Mereka menyeretnya dari sisiku. Aku langsung bertindak mencegahnya. Tetapi mereka mendorongku dengan kasar, membiarkan aku terjungkal di atas lantai. Kemudian dengan sangat brutal mereka melakukan penganiayaan padanya. Sekarang gerbong itu telah berubah menjadi penyiksaan.

“Apa persoalannya? Mari kita selesaikan dengan baik-baik. Jangan bertingak seperti itu. Siapa tahu dia bukanlah orang yang kalian maksud.”
“Bapak jangan ikut campur,” kata salah seorang dari mereka. Dia memegang besi lancip seperti obeng.
“Siapapun di antara kalian yang mencoba ikut campur, kami tidak segan-segan melukainya. Tiga teman kami mereka bunuh dengan cara yang sangat kejam. Tanda pengenal sekolah mereka, mereka ikat di leher teman-teman kami seperti dari kematian. Kekejaman harus dibalas dengan kekejaman yang sama!”
“Aku tidak ikut berkelahi. Aku tidak ikut membunuh. Aku hanya dari sekolah yang sama. Tolong jangan bunuh aku,” kata anak itu.
“Diam! Tiga temang kami telah kalian bunuh dengan cara kejam. Apa pun yang kau katakana sekarang, aku tidak percaya. Kau dusta ! sekarang, jangan coba-coba berlindung dibalik kata-kata bohongmu!”
“Biarkan dia bicara, supaya jelas duduk persoalannya,” kataku.
“Diam kau orang tua!” hardik mereka. Sebuah tendangan yang luar biasa kuatnya menghantam mukaku. Aku tersungkur di lantai. Ceceran darah terasa hangat menjalar dibawah hidungku.

Anak gadis yang duduk disebelahku bergegas menghampiriku dan melindungiku dari amukan mereka. Ia memapahku ke tempat duduk semula. Dikeluarkannya kertas tisu, dihapusnya darah yang menetes di bibirku.
“Saudara-saudara sekalian, malirah kita kendurkan sejenak ketegangan saraf kita. Mari kita lupakan sejenak segala terror  yang diberondongkan kepada kita. . . .  aku dan kekasihku baru saja membeli tep recorder, suaranya sangat bagus untuk sejenisnya. Sekarang, mari kita bergembira.”

Dikeluarkannya tep recorder dari dalam kotak pembungkusnya. Dimasukkanya sebuah pita rekaman. Dipencetnya sebuah tombol disana dan didalam volume tinggi, mengumandanglah sebuah lagu. Dia raih tangan kekasihnya yang duduk bersamanya. Diajaknya berdiri, dan keduanya pun menari. Mereka diatas rel kereta listrik yang sedang berjalan laju.

“Ayo, semua menari.” Ajaknya. “mari kita lupakan sejenak segala duka. Duka yang diakibatkan segala macam kekerasan. Duka yang terjadi di ladang-ladang pembantaian. Mari kita menari. Mari kita lupakan sejenak semua itu. Mari kita menari bersama.”

Melihat tingkah kedua remaja itu, ditambah ajakanya yang menggoda , serta music pengiringnya yang merangsang, penumpang-penumpang yang banyak itu pun tergelitik ikut menari. Dia menoleh kepada dan berkata, “mari kita ikut menari, pak!”
“Taklah. Badan bapak masih terasa sakit, kau sajalah yang menari.”
“Tapi tak ada pasangan yang tersisa untukku. Ayolah. Temani saya. Tak apalah sakit-sakit sedikit. Apa kata anak-anak muda itu? Lupakan sejenak segala duka! Mari sejenak kita ikut berlupa-lupa”
“Bapak tak pantas menari bersamamu. Malu dilihat orang. Apa kata mereka nanti? Si tua tak tahu tuanya!”
“Semua orang sekarang sedang gila menari! Tak pantas kalau kita tak ikut menari di tengah orang yang sedang menari. Ayolah, pak. Ayolah. Malu bukan lagi milik orang sekarang ini. Ayolah. Lupakan sejenak segala duka! Mari bergembira.” Ditariknya tanganku.
“Saya ingin sekali menari di atas rel listrik yang sedang berjalan. Bagaimana melenggok di atas lantai yang bergoyang. Tak pernah kutemukan suasana gila seperti ini, seumur-umur. Ayolah, pak. Mumpung ada orang yang mengambil inisiatif,”

Makin ditariknya tanganku. Betul juga katanya, tak pantas berdiam diri ditengah orang yang menari. Aku pun mengikuti ajakannya. Aku ikut gila ditengah kegilaan yang gila.

Kereta rel listrik itu tiba-tiba berjalan perlahan dan berhenti. Pasangan remaja itu turun tanpa mematikan musik yang mengumandang dari dalam tep recorder yang dibawanya. Orang-orang yang menari itu ikut pula turun , sambil terus menari seolah tersihir musik yang terus mengumandang dari tep recorder itu. Aku pun ikut terpukau, ikut turun dari gerbong mengikuti irama musik yang terus mengumandang itu. Kami seolah telah menjadi tikus-tikus dalam sebuah dongeng mengikuti tiupan seruling seorang pangeran.

Begitu kakiku menginjak peron. Tiba-tiba aku teringat sepatu anak laki-laki yang tertinggal di dalam gerbong. Aku dikembalikan pada niatku. Aku telah memutuskan  hendak membawa sepatu itu ke rumah. Aku akan tunjukan kepada anak-anakku di rumah, bahwa sepatu itu merupakan wujud sebuah duka yang memilukan dari hasil perkelahian antar pelajar seusia mereka.
Hamsad Rangkuti

Rabu, 02 April 2014

Jangan Ambil Nyawaku !

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCYB8pWbcEnkvQMhh0DmD0ucKDjLKk2uTXd_dJ9WKu_aJtFbIssoBqjHXPvIMDeouxgLwOXjDauTHzJAEqbSDZegg7-l4ZFCBCF93hZbjBYepH2GV1YdLI0os1JRz-RV83JG1SlPiltxYK/s320/merenung.jpg
Miranda, boleh aku bicara secara pribadi dengan orang tuamu sebentar?” Tanya Dr. Mullen.
“Tentu.” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak peduli.”

Mereka bertiga meninggalkan kamar. Aku menelpon Emma dengan ponselku

“Bagaimana ?” Katanya.
“Mereka masih berbohong,” Kataku, merasa mual.
“Mereka agak kedodoran sehingga aku langsung tahu. Tapi, kenapa mereka bohong Emma ? aku sangat ketakutan. Satu-satunya hal yang kupikir bisa diandalkan adalah orang tuaku, dan betapa terbukanya sikap kami selama ini.” Aku menghela napas.

“Anak itu aneh sekali. Ia mengacau, ia menyebut orang tuaku penciptanya.”
“Penciptanya? Seperti Tuhan.”
“Yah. Kurasa seperti itulah orang tua kita. Tapi . . . ,” tambahku tiba tiba teringat, “ia juga menyebutkan Dr. Mullen.”
“Astaga,” petik Emma, “Apalagi katanya?”

Aku mulai merasa ketakutan. Aku nyaris tidak ingin memikirkan kata-katanya.

“Kamu dengar apa yang ia katakan takdirnya. Takdirnya adalah aku. Maksudku, apa artinya ?”
Ketiga orang dewasa itu kembali ke kamar. “Apakah itu Emma?” Tanya ibu dengan suara tajam.
“Ya.”
“Ia sudah memberi tahu seseorang ?”
“Bagus. Larang dia ! atau lebih baik, ibu bicara sendiri dengannya. “Ibu merebut telepon itu dariku.
“Emma ? dengar aku. Jika kau mengatakan sesuatu kepada seseorang, kamu yang bertanggung jawab atas kematian temanmu.”
“Ibu !” aku terhenyak
“Kamu mengerti ? bagus.” Dan ia memutuskan hubungan telepon.

Ibu mulai berbicara dengan buru-buru. Suaranya keras, tatapannya tajam, seolah-olah itu satu-satunya cara agar ia bisa mengeluarkan kata-kata. 

“Baiklah, Miranda. Kami akan menceritakan kepadamu sesuatu yang pasti akan membuatmu gusar. Tapi, ibu pikir, lebih baik gusar daripada mati. Jadi beginilah ceritanya.”
Ia menghela napas pendek. 
“Gadis itu adalah duplikat dirimu. Ia diciptakan dari DNA yang diambil saat kelahiranmu. Ia jaminan asuransimu. Begitu banyak anak tewas dalam kecelakaan mobil atau penyakit mengerikan, semua karena dokter tidak bisa mendapatkan organ pengganti, atau sumsum tulang, atau apalah. Kami, ayahmu dan ibu, bertekad kamu tidak akan mengalami nasib seperti itu. Kami tidak ingin melihatmu mati. Jadi, kami membuat sebuah duplikat. Ia diciptakan di sini, dengan satu-satunya tujuan, mendonorkan untukmu apa pun yang kamu butuhkan.”

Tiba-tiba lututku terasa lemas dan aku begitu gemetar sampai nyaris roboh. Dr. Mullen mendudukan aku di sebuah kursi.

“Misalnya hati.” Kataku, suaraku nyaris berbisik.
“Ya.” Jawabnya dengan nada suara menantang, “Misalnya hati”
“Jadi, ibu akan mengorbankannya untuk menyelamatkanku?”
“Itu harus dilakukan, ia bukan orang sungguhan, Miranda. Ia hanya duplikat. Ia dibesarkan di lab.”
“Tapi, ia bicara. Ia bisa merasakan. Ia Ketakutan !”
“Omong kosong ! ini saat yang ia tunggu—tunggu.”

Aku tidak mampu berbicara. Aku sangat terkejut. Aku tidak bisa berpikir. Sebuah duplikat. Sebuah. . . . sebuah . . . dan kemudian, sebuah kata muncul dalam pikiranku dan katakana keras-keras. 

“Sebuah klon.” Aku mulai tertawa.” Ini lelucon, kan ? ini hanya lelucon.” 

Mereka memandangku tanpa berkata-kata. Aku berhenti tertawa. “Kamu bukan orang tuaku !” teriakku.
“Kamu monster-monster yang mengerikan. Ini benar-benar terjadi. Ia tidak nyata! Ini semua hanya mimpi.  Mimpi, aku ingin bangun.  Aku ingin bangun!” aku tertawa, menangis, dan berteriak. 

Kurasa aku sudah gila. Aku menoleh kepada Dr. Mullen. 

“Beri aku sesuatu agar aku bisa tidur,” desakku,  “Aku tidak tahan lagi terjaga.”

Ayah kelihatan sudah hampir menangis. Ibu hanya kelihatan marah. Aku kembali ke ranjang dan membaringkan badan. Aku ingin kegelapan. Lupa segalanya. Aku tidak tahan terjaga barang sedikitpun.

Minggu, 30 Maret 2014

Ibu, Daun, Senja

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWFNOS5x2NWGNhY7jmQ-62zfz_2r3kgDVvNeTuTIDvyEyCnTWYVGqlY7OEbkXAn8xyO32vyRoJv5iF5BYiAoUuz1hUkpDZxOzLeGp2P68rHHhf2UA_hhX7eLXsU2ll5NXjxTmqdlZoJ5Y/s1600/Jingga+-+Daun+Cinta.jpg
Ibu suka duduk di beranda, menikmati angin senja. Memandangi daun-daun berjatuhan di halaman. Sebentar lagi, saat matahari surut ke balik gunung. Ibu akan segera memanggilku. Menyuruhku menyapu daun-daun itu. Mengumpulkan lalu membakarnya. Dari ruang belakang, aku sudah menunggu panggilan ibu. Namun, meskipun matahari sudah terbenam, ibu belumjuga memanggiku. Ingin rasanya aku berjalan ke depan. Menghampiri ibu dan mengerjakan apa pun yang diperintahkannya. Namun, aku masih menahan diri untuk beberapa waktu. Mungkin sepuluh menit sudah berlalu. Suasana senja semakin remang dan nyaris gelap. Tetapi, ibu belum memanggilku. Apakah ibu lupa? Aku segera berjalan melipir dari samping rumah. Begitu langkahku mencapai teras beranda, aku lihat ibu sedang asyik termenung. Atau melamun? Dalam remang, masih dapat kulihat di halaman berserakan daun. Besar dan kecil. Itu pasti daun-daun mangga milik tetangga atau daun-daun mahoni seberang jalan. Atau daun-daun lain yang entah apa namanya dan entah dari mana asalnya. Tak ada niat untuk menyapu. Sudah terlampu senja. Lalu kuhampiri ibu. Apa yang tengah ibu renungkan di saat senja tua begini?

“Ibu..,” ucapku nyaris berbisik.
Sekilas ibu tampak terkejut. Tetapi, setelah tahu yang datang adalah aku, ibu tersenyum. Tipis sekali.
“Kau tak perlu menyapu kali ini.”
“Sudah hampir malam, bu. Mengapa ibu belum masuk?”
“Ibu masih ingin di luar, nak. Ibu suka melihat keluasan langit. Ibu suka menikmati hembusan angin. Ibu suka sekali memandangi daun-daun yang dibakar! Ibu seperti menghayati sekali.” Ibu terdiam.
“ibu bisa sakit jika terlalu lama di luar. Apalagi dalam udara malam.”
“Jangan terlalu mengkhawatirkan ibu, nak. Tapi baiklah. Antar ibu ke kamar.”

Kubantu ibu bangkit dari kursi dan kupapah masuk rumah. Setelah mengantar ibu, aku cepat balik lagi ke depan. Membenahi meja kursi di beranda. Menutup pintu, jendela, mengunci, menyalakan lampu-lampu beranda di halaman. Rutinitas kerjaku biasanya langsut surut, usai mengunci pintu-pintu dan menyalakan lampu-lampu. Dan aku akan segera masuk kamarku ,mendengarkan radio, nonton TV, atau membaca.

Ibu selalu penuh perhatian. Jika malam telah tiba, ibu jarang manggangguku dengan menyuruh ini itu. Hanya sekali ibu memanggilku dengan telepon yang dipasang parallel bila akan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu atau hendak buang hajat. Hampir sepuluh tahun, aku menemani ibu. Irama senja, malam, dan pagi tak pernah berubah. Namun rutinitas itu sama sekali tak membuatku jenuh mengabdi pada ibu.

Sebenarnya, ia bukanlah ibuku. Ia hanya seorang wanita tua yang baik hati. Dan ia memaintaku agar aku memanggilnya “ibu”, siapa pun yang tak tahu asal-usulnya orang akan menduga aku adalah anak kandungnya. Anak satu-satunya. Aku sendiri juga tak tahu, siapa sebenarnya wanita tua itu. Aku hanya tahu, dialah yang merawat dan membesarkanku. Juga membiayai sekolahku. Sering aku bertanya kepada wanita itu, siapakah sebenarnya aku? Dengan senyum jenaka, wanita tua itu akan menjawab,”kau adalah anak ibu. Anak ibu yang cantik, manis, dan rajin bekerja.”

Ingatan masa kecilku tak sanggup menelusuri jejak hidupku lebih jauh. Tak ada sedikitpun membekas di benakku bayang-bayang ibu bapakku. Yang membekas hanya kolong kolong jembatan,rumah-rumah kardus, dan emperan-emperan toko yang mura. Semua itu selalu membayang demikian jelas di kelopak mataku. Bahkan, sampai kapan pun bayang-bayang itu takkan pernah hilang. Itu semua sudah menjadi bagian masa kecilku yang tak mungkin terhapuskan. Andai wanita itu tak berbaik hati memungutku dari jalanan, entah apa jadinya masa depanku.

Mungkin kini aku sudah menjadi gadis jalanan. Atau malah gembel. Aku sangat berhutang budi kepada wanita tua itu. Aku sudah bertekad mengabdi kepadanya sampai akhir hidupku. Namun, tekadku tampaknya tak akan kesampaian. Pengabdianku tampaknya hanya akan sampai pada akhir hidupnya. Sebab dari hari ke hari wanita itu bertambah uzur dan rapuh. Sering sakit. Jalan pun harus dipapah. Pernah aku bertanya apakah ia punya anak selain aku? Pertanyaanku dijawabnya dengan sendu. "Tidak". Dan ketika aku bertanya lebih jauh tentang suaminya. Tiba-tiba riak mukanya memucat. Sampai sekarang pun pertanyaanku tetap menggantung tak menemukan jawab.

Pagi datang lagi. Matahari bersinar lembut di ufuk. Seperti biasa, ibu minta diantarkan ke halaman belakang, menjemur diri hingga kira-kira pukul delapan. Sementara ibu di halaman belakang, aku menyiapkan sarapan roti dan susu. Lalu segera membawanya kepada ibu. Ibu selalu sarapan sambil menghangatkan tubunya di bawah matahari pagi. Dulu, semasa sekolah, dan ibu juga masih sehat, menjemur diri di pagi tak pernah dilakukan.

Hanya olahrga lagi pagi. Itu pun seminggu sekali biasanya hari minggu. Aku sendiri sering menemaninya dan yang  menyiapkan sarapan selalu ibu. Aku sangat bersyukur, dulu ibu selalu sehat walafiat. Andai dulu sudah sakit-sakitan tentu aku bakal sangat kerepotan. Aku harus pandai pandai mengatur waktu untuk masak, mencuci, sekolah, menyapu dan lain-lain. Ibu tak pernah punya niat mengambil pembantu.

“Jangan biasakan hidup manja,”katanya.

Ibu mulai sering sakit sejak aku lulus SMA tiga bulan lalu. Mula-mula, ibu mengeluh kepalanya sakit sebelah. Setelah diperiksa ke dokter, ibu kena migraine. Tak lama kemudian, suka kejang-kejang dan kemudian gejala stroke. Sejak itu, aktivitas ibu di luar rumah berkurang, berkurang dan akhirnya tidak sama sekali. Aku tahu, ibu memiliki lahan perkebunan sangat luas di suatu tempat luar kota. Sekali ibu pernah cerita perkebunan kelapa sawit itu bukan murni hasil jerih payahnya. Dan kelak, aku akan mewarisinya. Beberapa kali ibu pernah mengajak melihat perkebunan itu.

“bila tiba waktunya, akan ibu serahkan semua itu kepadamu. Sekarang, kau belajar baik-baik. Kalau perlu kuliah .”

Setelah lulus SMA, aku memang dirusuh ibu kuliah. Namun, aku menolak. Aku tak mau merepotkan ibu meskipun soal biaya sama sekali tidak akan jadi masalah. Ibu punya cukup simpanan. Karena tak mau kuliah, ibulah yang “menguliahiku”. Hampir setiap hari, ibu menuturkan pengalaman bisnis perkebunannya kepadaku. Dari cerita-cerita pengalamannya itu diharapkan wawasanku tentang strategi dan etika berbisnis akan bertambah. Dan cerita seputar itu. Tak sekalipun ia menyinggung cerita masa kecilnya. Apalgi latar belakang keluarganya. Lalu ibu mengungkapkan harapannya agar kelak aku jadi wanita karier yang sukses seperti dia. Dan harus mampu meneruskan jejak yang sudah dirintisnya.

“ibu ingin membuktikan anak jalanan pun kalau sudah diberi kesempatan akan mampu meraih sukses.”
“Siang kauantar ibu ke dokter. Kau tidak kemana-mana, kan?”
“tidak. Bu.”
“kau memang tak pernah kemana-mana. Kau tentu merasa terkurung gara-gara ibu.”
“Jangan berkata begitu,bu.”
“kau muda. Ibu pernah mengalami masa muda.”
“sudahlah, bu. Jangan banyak pikiran. Aku akan senang sekali jika ibu segera sembuh.”
“ibu sudah kena stroke. Ditambah migraine lagi. Tipis harapan bakal sembuh.”
“ibu…, sudahlah bu.”
“mungkin sudah tiba waktunya. Ibu mengajakmu meninjau perkebunan itu lagi. Pulang dari dokter kita langsung ke sana.”
“jangan dulu, bu. Masih ada waktu. Lain kali saja.”
“ibu khawatir ‘lain kali’ ibu tak ketemu lagi
“ibu…..!” kupeluk ibu angkatku itu.

Perkebunan itu sangat luas. Puluhan hectare. Dan ratusan batang sawit tumbuh amat rimbunnya. Sehari setelah cek ke dokter, ibu mengajakku meninjau perkebunan itu, dengan lebih seksama. Mengamati sudut-sudut lahan perkebunan hingga pola tanah, panen, dan tebang. Dan aku nyaris tak percaya lahan seluas itu kelak akan jadi milikku. Rasanya seperti mimpi. Namun, itu buka sekedar mimpi. Seminggu kemudian, ibu meninggal. Dan harta pekebunan sawit yang amat luas itu sah menjadi millikku. Sebelum meninggal, diam-diam ibu sudah mengalihnamakan kepemilikian seluruh hartanya. Aku benar benar bersyukur kepada Tuhan, bahwa aku melalui jalan kehidupan ini dengan lurus dan mulus.

Meskipun dulu aku lahir dan besar di jalanan, tanpa jelas siapa yang melahirkan, merawat, dan membesarkanku. Ternyata ada seorang wanita baik hati yang menyelamatkan masa depanku. Tanpa wanita baik hati itu, entah apa jadinya nasibku. Menjadi wanita karier, ternyata tak bisa santai. Aku mesti sering keluar rumah untuk menyelasaikan ini itu. Aku tak bisa memasrahkan segala urusan hanya kepada sekretaris atau pembantu-pembantu yang lain  yang sudah lama bekerja di perkebunan itu sejak ibu merintis bisnis. Dari hari ke hari, setelah cukup lama mengelola perkebunan itu, aku kadang dihinggapi rasa letih. Dan ingin istirahat. Maka kini aku sering duduk-duduk di beranda, mengawasi langit senja dan sampah daun berserakan.

Tapi kini, tak ada gadis yang menyapu, mengumpulkan apalagi membakarnya. Tiba-tiba bekakku disesaki kenangan masa kecilku, kolong-kolong jembatan, rumah-rumah kardus, dan emperan-emperan toko yang murang… apakah ibu juga memiliki kenangan masa kecil yang sama denganku? Setelah ibu tiada, pertanyaan itu semakin sulit dijawab

Minggu, 23 Maret 2014

Senyuman Karyamin

     http://v-images2.antarafoto.com/gpr/1339401625/buruh-pemecah-batu-25.jpg
Mereka tertawa bersama-sama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup senyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah symbol licinnya tanjakan. Pagi itu senyum karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.
Memang karyamin telah berhasil membangun fatamorgana kemenangan dengan senyum dan tawanya. Anehnya, karyamin merasa terhina oleh burung paruh udang yang bolak-balik melintas di atas kepalanya. Suatu kali, karyamin ingin membabat burung itu dengan pikulannya. Akan tetapi, niatnya itu diurungkan karena karyamin sadar, dengan mata berkunang-kunang dia tak akan berhasil melaksanakan maksudnya.

Jadi, karyamin hanya tersenyum, lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian karyamin berjalan menaiki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, saidah sedang menggelar dagangannya nasi pecel. Jakun karyamin turun naik, ususnya terasa terpilin.

“masih pagi kok pulang,min?” Tanya saidah. “sakit?”

Karyamin menggeleng dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat. Saidah mendengar suara keruyuk dari perut karyamin.

“makan, min?”
“Tidak, beri aku minum saja. Lenganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”
“iya, min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?”

Karyamin hanya tersenyum sambik menerima segelas air yang disodorkan oleh saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan karyamin terus ke lambungnya.

“Makan, ya min? aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?”

Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang demikian sibuk pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah dimana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jadi berterbangan dan beberapa diantaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu sekali saja menentang arus karena dorongan angin.

“jadi, kamu sungguh tak mau makan, min?” Tanya saidah ketika melihat karyamin bangkit.
“tidak, kalau kamu tak tahan melihat orang lapar, aku pun tak tega melihat lenganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.”
“Iya min, iya, tetapi…?”

Saidah memutus kata-katanya sendiri karena karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi saidah masih sempat melihat karyamin menolehkan kepalanya sambil tersenyum, sambil menelan ludah berulang-ulang.       Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya karyamin menyeru-nyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.

Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata karyamin menangkap sesuatu yangbergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, Si paruh udang. Punggung biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan perutnya merah saga. Tiba- tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecikap. Dengan mangsa diparuhnya, burung itu melesat melintas para pencari batu, naik menghindari rumpun gelangan dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada asa iri hati karyamin terhadap si paruh udang.    Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.

Sesungguhnya karyamin tidak tahu betul mengapadua harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, karyamin ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur lantaran bisul di puncak pantatnya. “oleh karena itu,apa salahnya au pulang buat menemani istriku yang meriang.”

Karyamin mencoba berjalan lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang menyerbu ke dalam rongga matanya. Setelah melintasi titian, karyamin melihat sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihat bekas gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah.   Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging kerika karyamin harus menempuh sebuah tanjakan tak mengapa, karena dibalik tanjakan itulah rumahnya.

Selasa, 18 Maret 2014

Teko Jepang

     https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRzAV3PjoBNoVkFUtf2tWr1cqalZ3lnMKfUJUFx-XE4xyiJGkGKI1HXPctgd-5k-W0iTioXl5DDVqDAyw0xT1MgAV5balgGTiKL7SDzhrpWydDSmwZVqcxU8RFpy1BLQ-G2XklMPOk-J0/s640/20131107_153428.jpg

Didepan mister tammy, widodo membuka bungkusan teko antuknya, juga tetap dengan hati-hati. Teko itu dibungkus dengan handuk besar yang halus, disana-sini beberapa puluh peniti menusuki handuk itu tangan lelaki itu gemetar. di kepalanya terkhayal uang jutaan rupiah yang menggodanya, kemudian mobil mengkilap dan rumah baru.

Setelah peniti dilepas, dibukanya handuk itu sehingga tampak sebuah teko yang bagus sekali bentuknya seekor naga meliliki teko itu, halus menyebul dipermukaan. mata naga itu bersinar kuning keemasan, kemudia, disisi naga, duduk beberapa orang bermata sipit dalam pakaian upacara kebesaran dengan warna-warna cemerlang. dan antara sembulan tubuh naga dan permukaan teko yang halus tadi terdapat garis kuning emas sebagai pemisah dunia atas dari dunia bawah, ekor hijau naga itu memakai mahkota yang tersungging di tutup teko ajaib itu

Lama widodo membiarkan korbannya takjub, dilihatnya bagaimana maister tommy melotot seolah-olah berhadapan dengan karya seni yang terbesar didunia. "alangkah menakjubkan!" bisiknya.

Widodo membalas dengan bisikan pula, "tepatnya, mister, teko ini dibuat di tiber oleh salah seorang seniman yang khusus dipesan oleh sri maharaja nang. seorang tua telah memilikinya di palembang. jadi teko ini telah raja berikan kepada dutanya yang dikirim ke sriwijaya.

"Teko ini untuk upacara minum teh. sebuah jamuan kenegaraan antara tiongkok dengan semua negara sahabat!"
"Berapa harganya?" tanya mister tommy tanpa menyentuh.
"lima belas juta, mister. halus sekali. sentuhlah!"
"Tidak, aku tak berani menyentuh benda antik seindah itu."
"Usia teko ini sudah 18 abad, mister. alangkah ajaibnya, 18 abad!"
"Indahnya, mister. alangkah indahnya. lihatlah mata naga ini! seolah memancarkan sina gaib dari alam khayal. aku gemetar setiap kali memandangnya. lima belas juta tidak mahal untuk teko seindah ini, mister." jawab widodo sambil melihat mata naga."mister pecinta keindahan, bukan?" sambungnya pula.
"Ya memang. tapi uangku tidak sebanyak itu. kekayaanku lebih banyak berupa benda-benda yang bergerak dan tak bergerak."
"Rumah dan Mobil?"
"dan pabrik! telah lama aku punya keinginan untuk membuat koleksi benda-benda kesenian. lukisan affandi, rull atau nashar, atau patung-parung cokot dan sidharta. saya belum sempat mengagumi mereka, tapi sering kubaca di surat-surat kabar. mestinya mereka itu punya karya-karya yang pantas saya jadikan koleksi pribadiku." jawab mister tammy alias sutomo.
"tentu, mister. tentu! mereka itu tentu punya karya yang lumayan meskipun kebanyakan mereka itu sinting. tapi kembali ke teko ini, saya tidak keberatan jika diganti dengan rumah dan uang, tentunya. beras di rumah telah habis. mister, maafkan jika saya terlampau terus terang."
"tak bisa kurang sedikit?"
"tentu saja bisa, mister. dalam perdagangan, seperti tuan maklum, harga bisa damai. apalagi, mister pencinta benda seni!"

Tammy tak mendengarkan lebih lanjut, dengan tangkas dia bangkit kemudian ke belakang. dia menulis sepucuk surat untuk tuan wahyono, ahli keramik sebelah rumah. dia suruh pelayannya cepat mengantarkan surat itu.

"Aku minta bantuan tuan wahyono untuk menilai harga teko ini. dia adalah ahli keramik. rumahnya di sebelah itu," ujar tammu setelah duduk di dekat tamunya.
...

"Berapa kira-kira harganya?" tanya tammy tiba-tiba.
"Begini tam," sahut wahyono si ahli keramik.
"Teko ini murah sekali. tetapi sepuluh abad lagi akan sangat mahal. ini adalah teko yang dibuat jepang pada tahun empat puluhan dan dibawa kemari. tentu saja harganya murah. kira-kira dua ribu peraklah, begitu. ini bukan benda kuno sama sekali, kecuali sepuluh abad lagi, kelak!"

Baik tammy maupun widodo mulai menyadari bahwa keduaanya amat terkejut. impian masing masing telah buyar teko yang bisa menangis dan selamat tinggal kemelaratan! datanglah tuan wahyono membangunkan mereka dengan kata-kata yang sedemikian datar dan angin, sehingga widodo merasa beku seketika.

"Sungguh? bukan buatan dari dinasti nang delapa belas abad yang lalu teko ini?"
"Bukan. ini buatan jepang. indah, tapi dari tahun 40-an."
tuan wahyono bangkit. pulang.

Sejak hari itu Widodo sering berlarian di jalan sambil berteriak-teriak, teko jepang itulah yang membuatnya jadi runyam.

Isteri dan anak-anaknya tetap saja terkurung di gubuk itu. dialah istri yang telah kehilangan seorang lelaki yang dengan gigih mau membawa pulang satu ton kebahagiaan buat diri dan anak-anaknya.
Tapi sebagaimana biasa, sia sia adanya.

oleh : Yasso Winarto

Sabtu, 15 Maret 2014

Ucapan Sayang Di Keningku

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/01/1325946275473975953.jpg
Kereta api senja memasuki Yogyakarta, ketika pagi berkabut. Kendaraan yang meliuk liuk seperti ular sanca itu datang lebih awal dari biasanya. Tiada jemputan, tiada senyum yang melambai menyambut kedatangan galih

Dia mengerti bahwa orang-orang disekitarnya tak menyenanginya, dan ia tak menjadi kecil hati, sekalipun ia menyadari kesalahannya, hanya eyang satu satunya yang lahir batin menyayanginya. Sedang romo dan ibu kedua orang tuanya itu, sungguh galih tak mengerti jalan pikiran mereka

Siapakah yang bersalah ? pemuda itu memaklumi, tak seorang pun yang ingin mencelakakan anaknya begitu juga ayahnya. Galih juga berdebat dalam hati, tak satu orang pun ingin mendurhakai orang tuanya dengan sengaja dan bila mereka saling berselisih pendapat, itu pun lumrah.

Becak yang ditumpangi memasuki lorong, terkejut ia, ketika tukang becak menanyakan di mana rumahnya. Tiba-tiba kampong halaman itu sudah tampak di depan hidungnya.

“Stop ! stop !”
Ia merasa kantong bajunya. Hanya ada selembar ribuan.
“duitnya, eyang. Cepet sedikit, marah nanti orangnya,” desak galih
“Ee, bocah gagah tak punya duit,”gerutu eyang neneknya sambil merogoh tali pinggangnya. Ada uang receh menyelip disana, terbungkus selembar saputangan

Pagi itu, ketika ia menumpangi kereta ke yogya, ia ingin mengabarkan kepada ibunya bahwa dia telah meraih cita-citanya yang telah lama diperjuangkannya. Kebanggaan itu akan disampaikan langsung, sebelum orang lain tahu.

“Bu rukmini, bu rukmini.”
Seorang perawat memanggil seorang perempuan kurus yang sedang menjahit. Wanita itu menoleh.
“itukah ibuku?yang dulu menjerit-jerit bila kudekati?” piker galih
“coba, ingat tidak ibu pada pemuda tampan ini?” Tanya perawat lagi.
Aaaah. Ibu tersenyum. Galih cepat memeluk perempuan yang dicintainya itu. Mereka berdua menangis.
“ibu,,”
“kau galih, anakku.” Ucap wanita itu pelan

Galih mengangguk sambil menciumi pipi perempuan itu. Seribu entah sejuta rasa, bersimpang siur di dadanya.

“ibu, ayo pulang. Galih ingin merawat ibu.”
“kau tak nakal lagi?” “galih sudah jadi dokter bu.!”
“dokter ? galih bekas morfinis itu kini telah menjadi dokter?”
“galih tahu, ibu pasti belum percaya. Tapi pasti sekarang kita akan berkumpul lagi, dengan eyang, juga romo. Maafkan galih, bu!”

Perempuan itu menangis. Ia betul betul menangis. Bukan karena sedih atau kecewa. Tetapi karena perasaan bahagia.

Senin, 10 Maret 2014

Cinta Datang Terlambat

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgu1RfoZTpfOYURylqrpaQsgMzG7KI06VOkLLp2Gme8ZKXC7OIDtJIXGa4eQSSG-Zj_UWPlQnzj5Qe8TyrejOezD6II_fXnOGBBVdsBUbCh7X5Dk3O2_krgPdjWF_IvdK-KuoguepITpqs/s1600/kata-mutiara-cinta-sejati.jpg
Di sore hari yang cerah Nampak seorang pedagang membawa beberapa macam dagangannya menghampiri rumah Monica seorang gadis yang terkenal dengan kecantikan dan kebaikan hatinya. 
Ibu dewi : “permisi……!!!”

Beberapa menit kemudian monica keluar dengan senyuman yang manis dan wajah yang ramah
Monica : “iyaaa, siapa disana ?” 

Ibu dewi : saya ibu dewi, ini saya membawa barang dagangan saya barang kali nona minat mau membeli dagangan saya? 

Monica : aduuuuh bu jangan panggil saya nona, panggil saja monica J
Pertama kali melihat monica bu dewi bengong seperti melihat bidadari. “ ini manusia atau bidadari sih, cantiknya maksimal sekali,pantas saja den rangga hatinya terpikat ternyata memang benar-benar cantik  ” ( bu dewi berbicara dalam hatinya ).

Monica : silahkan duduk bu, bawa barang apa saja?

Bu dewi menjawab “ banyak, ada kerudung ada juga ini pashminanya “
Monica : coba saya lihat, ini bagus kerudungnya ngomong-ngomong harganya berapa bu ?
Bu dewi : itu kerudung murah meriah ko, hanya 25000 saja 
Monica : aduh bu gabisa kurang yah , 20000 saja lah
Bu dewi: belum bisa cantik kalo 20000 itukan bahannya bagus ( bu dewi tersenyum menjawabnya ) ini ibu juga bawa accesoris , ada cincin nih pasti bagus kalau dipake sama monica. (sambil memasukan cincin ke jarinya monica)
“tuh kaaan jadi tambah manis kaya gula, cincinnya lucu ditambah yang pakenya manis . nih coba aja lihat di cermin” (ujar bu dewi sambil memuji monica)

Monica : yaelaaaaah ibu bisa aja deh mujinya (monica tersipu malu) ini cincin berapa harganya bu ?
Bu dewi : murah ko hanya 35000 saja soalnya itu bahannya tidak akan bikin kulit kita gatal kalo dipake terus-terusan
Monica : ah kalau 35000 mahal bu, uang nya tidak cukup hehe lagian kalau cincin aku sudah punya bu meskipun  ini udah jelek. Tapi itu kerudung saya beli satu yah bu kalau harganya bisa 20000
Bu dewi : yaudah ke anak cantik dikasih discon deh jadi 20000. Nah kalau itu cincin ambil saja kalau monica mau tidak usah dibeli !
Monica : loh, kok gitu sih bu ? ( monica merasa heran)
Bu dewi : “ayo ambil saja! Sebenarnya ibu bukan hanya sekedar berdagang tapi ada tujuan lain. Tujuan ibu ingin membantu den rangga anak majikan ibu, dia suka sama kamu monica dan dia menyuruh ibu ngasih cincin ini ke kamu . silahkan ini bawa cincinya “
Monica sangat terkejut mendengar omongan bu dewi. “ den rangga itu siapa bu ?” ( Tanya monica)

Bu dewi : ah monica, masa tidak tau den rangga dia itu anak nya Bpk. Randy orang terkaya di kampung ini.
Monica : kalau namanya sih saya sering dengar tapi saya benar-benar tidak tahu den rangga itu ynag mana?
Bu dewi : tapi den rangga tahu ko sama kamu
Monica : ya pantas saja , dia kan laki-laki bu pasti sering main dan otomatis dia tahu sama saya
Tak lama kemudian, bu dewi mengambil foto den rangga yang ada di tasnya kemudian memperlihatkan kepada monica sambil melihat kiri kanan takut ada yang mengawasi
Bu dewi : ini ada fotonya den rangga !
Monica menatap foto den rangga sambil berbisik dalam hatinya “waaaaaah ini cowo ganteng juga yah gimana aslinya fotonya aja keceeeee banget. Cowo kaya gini nih yang bias bikin cewe tergila-gila” 
Bu dewi : gimana monica. Den rangga ganteng kan ? hehe
Monica tersenyum sambil mengembalikan foto tadi kepada bu dewi
Bu dewi : jadi gimana menurut kamu ?
Monica : emmmh bu, menurut saya dia ga pantes dengan saya, dia tidak sebanding dengan saya
Bu dewi : wah monica,emang harus gimana ? menurut ibu udah pantes yang cantik sama yang ganteng cocooook banget

Monica : “bukan begitu bu, ibu juga kan tahu kalau sebentar lagi saya akan bersuami. Segimana marahnya orang tua dan keluarga saya jika mereka tahu kalau saya menerima den rangga? Salah rangga sendiri sih kenapa tidak dari dulu ngungkapinnya kalau dia benar suka sama saya. Tapi biasanya kalau orang kaya ke orang miskin itu suka mempermainkan saja ( ujar monica terlihat menyesal ) untuk sekarang maaf saja ya bu. Barang kali nanti di akhirat saya sama rangga bisa berjumpa. Soal ini cincin bukannya saya tidak mau menerima pemberian orang lain hanya saja saya takut orang tua saya menanyakan cincin ini kalau cincin ini saya pakai.”

Ditengah percakapan monica dengan bu dewi tiba-tiba datang bu sarah orang tua monica. Bu dewi terlihat panik dan segera memasukan foto den rangga kedalam tasnya.
Bu sarah : monica, apa yang ingin kamu beli nak ? 
Bu dewi : ini neng monica katanya mau kerudung yang ini, harganya 20.000 saja
Bu sarah : yaudah beli saja satu,
Bu sarah kemudian mengambil kerudung itu lalu membayarnya. 
Bu dewi “ uangnya saya terima bu, semoga barangnya awet yah monica. Terimakasih JJ
Monica & bu sarah : iya sama-sama J
Bu dewi tersenyum sambil terburu-buru karena takut bu sarah curiga.