Pada usianya yang sudah uzur, sudah lebih dari 65 tahun, pak madi merasa gembira, karena putra semata wayangnya kini menjadi pejabat di pusat. Pada awal ramadhan ini, putranya kembali melakukan ibadah umrah di tanah suci. Lewat telepon, putranya minta doa restu dan bertanya”
“Bapak mau saya bawakan oleh-oleh apa?”
Pak Madi langsung menjawab tegas. “Bawakan saja kurma dari madinah !”
“Hanya itu saja, pak?” Tanya putranya lagi.
“Ya, hanya kurmah dari madinah. Terserah berapa kilo.”
Putranya tertawa. “Satu kuintal apa cukup pak?”
Pak madi juga tertawa. “Kalau kamu tidak keberatan, satu ton juga boleh.”
Pak madi ingin menjalani sisa puasa ramadhan ini dengan berbuka puasa dengan kurma dari madinah. Betapa nikmatnya mengunyah kurma dari madinah sambil membayangkan Rasulullah yang sedang berbuka puasa dengan menyantap 3 butir kurma. Dan karena Rasulullah tinggal di kota madinah, tentu kurmanya juga dari madinah.
Dalam batin pak madi, puasa ramadhan tahun ini mungkin terakhir baginya. Ajalnya terasa semakin dekat saja. Entah kapan tapi pasti ajal itu akan datang. Semua teman sebayanya sudah wafat. Dan didesanya pak madi warga yang paling tua.
Dan pada usianya yang uzur ini, pak madi tinggal bersama istrinya. Selama ini, pak madi sering bersitegang dengan istrinya dalam memilih gaya hidup. Pak madi lebih suka hidup sederhana, sedangkan istrinya suka hidup bermewah-mewah.
“Kita hidup di desa. Yang sederhana saja.” Kalimat ini sering diucapkan pak madi setiap kali melihat istrinya bersikap wah.
“sederhana bukan berarti tidak mewah, pak. Bagi yang mampu, kemewahan bisa dianggap sederhana.” Tukas istrinya.
Pak madi selalu mengalah. Percuma berdebat kusir dengan istrinya. Tapi pak madi selalu sedikit melihat akibat yang ditimbulkan dari sikap istrinya yang suka bermewah-mewahan. Misalnya, putranya menjadi ikut-ikutan suka bermewah-mewah. Jika pulang ke desa, puteranya selalu membawah mobil mewah tipe terbaru yang baru saja keluar dari diler dan belum ada nomor polisinya.
Pernah pak madi memberi nasihat kepada putranya agar jangan suka bermewah-mewahan.
“Kamu pejabat Negara. Kalau suka bermewah-mewahan, kamu bisa melakukan korupsi.”
Putranya tertawa. “Bapak tak usah khawatir. Tanpa korupsi, saya bisa hidup mewah, karena punya banyak kolega dan banyak sumber penghasilan.”
Mendengar ucapan putranya itu, pak madi justru makin khawatir. Sebab, sepengetahuannya gaji pejabat Negara tidak seberapa jika dibandingkan dengan gaya hidup dan beban sosialnya. Gaji yang cukup besar bagi pejabat bisa habis untuk membayar berbagai rekening tetap bulanan, juga biaya pergaulan tingkat atas seperti menghadiri pesta-pesta.
“Kamu boleh menikmati hidupmu dengan bermewah-mewahan, tapi jangan sekali-kali melakukan korupsi dan mencemarkan nama baik orang tua.” Pak madi berpesan kepada putranya dengan suara berat. Rasanya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu gara-gara punya anak menjadi koruptor yang diberitakan di berbagai media massa.
Sampai pertengahan ramadhan, pak madi belum ditelpon putranya lagi. Dan setiap pak madi mencoba menelpon putranya selalu gagal. HP milik putranya selalu dimatikan.
“Mungkin ingin khusyuk menjalani umrah, sehingga selama di tanah suci tidak mau diganggu, pak” istrinya mencoba menghibur.
“Tapi seharusnya dia sudah pulang, bu. Jangan-jangan dia sakit di tanah suci?”
“Kalau dia sakit, pasti menelpon, dong. Kita kan orang tuanya.”
Pak madi makin cemas. Sejak ramadhan, kebiasaannya membaca Koran setiap pagi dihentikan. Begitu juga kebiasaannya menonton tayangan berita siang ditelevisi juga dihentikan. Sepanjang hari pak madi terus memperbanyak dzikir dan bertasbih.
Dengan menahan cemas, pagi itu pak madi mencoba membuka Koran yang baru saja diantar loper. Matanya langsung terbelalak membaca berita di halaman muka.
Nama putranya tertulis dengan huruf besar sebagai tersangka korupsi uang Negara miliaran rupiah. Dan sekarang dinyatakan sebagai buron atau masuk daftar pencarian orang alias DPO.
Dada pak madi langsung terasa nyeri. Dipanggilnya istrinya yang sibuk mengamati gambar-gambar desain busana baru yang dimuat di majalah.
Ketika istrinya mendekat, pak madi langsung menyuruhnya membaca berita di halaman Koran itu.
Istrinya terperanjat. “ pasti berita ini fitnah, pak. Tak mungkin anak kita melakukan korupsi.”
“Sekarang tidak bisa sembarangan memuat berita fitnah, bu. Berita ini pasti benar, sehingga ditempatkan di halaman muka.”
Isterinya menangis .
Dada pak madi semakin nyeri. Ingin segera bangkit dan berbaring di kamar tidurnya, tapi tiba tiba sekujur tubuhnya tidak bertenaga lagi. Ingin juga bicara lagi, tapi mulutnya tiba-tiba menjadi kaku.
Sejak saat itu, pak madi lumpuh dan bicaranya gagu. Dokter yang memeriksanya menyatakan pak Madi terserang stroke dan kemungkinan lumpuh permanen karena usianya sudah uzur.
Istrinya terpukul. Betapa di hari tuanya harus repot-repot merawat suami yang menderita lumpuh total. Sedangkan putra semata wayangnya menjadi buronan. Hari hari yang semula ceria dan serba wah, kini menjadi muram dan serba susah.
Di pagi itu, pak madi baru saja dimandikan dan disuapi istrinya. Sejak menderita lumpuh dan tidak bisa bicara dengan jelas, pak madi tidak lagi berpuasa.
Tampat istrinya sangat lelah. Matanya terasa gelap, dan sekujur tubuhnya lemas. Lalu duduk di berdanda depan untuk menghidup udara segar.
Tiba tiba datang seorang kurir dari perusahaan layanan jasa titipan kilat yang mengantarkan bungkusan kardus yang dikirim putranya dari singapura.
Bungkusan kardus itu segera dibawa kekamar dan dibuka didepan pak madi. Isi bungkusan kardus itu adalah kurma dari madinah seberat 10 kilogram dan selembar surat dengan tanda tangan putranya.
Dalam kelumpuhan, pak madi mendengar istrinya membaca surat dari putranya itu.
“Maafkan saya, karena telah mencoreng nama baik keluarga. Sekarang saya sehat-sehat saja di singapura. Dan bersama surat ini, saya kirimkan sepuluh kilogram kurma dari madinah.”
Pak madi melirik sebutir kurma dari madinah yang telah dipungut istrinya dan hendak disuapkan ke mulutnya. Di mata pak madi, sebutir kuma itu bagaikan sebongkah bara panas. Tak mungkin bisa dinikmatinya. Tak mungkin bisa.
“Bapak mau saya bawakan oleh-oleh apa?”
Pak Madi langsung menjawab tegas. “Bawakan saja kurma dari madinah !”
“Hanya itu saja, pak?” Tanya putranya lagi.
“Ya, hanya kurmah dari madinah. Terserah berapa kilo.”
Putranya tertawa. “Satu kuintal apa cukup pak?”
Pak madi juga tertawa. “Kalau kamu tidak keberatan, satu ton juga boleh.”
Pak madi ingin menjalani sisa puasa ramadhan ini dengan berbuka puasa dengan kurma dari madinah. Betapa nikmatnya mengunyah kurma dari madinah sambil membayangkan Rasulullah yang sedang berbuka puasa dengan menyantap 3 butir kurma. Dan karena Rasulullah tinggal di kota madinah, tentu kurmanya juga dari madinah.
Dalam batin pak madi, puasa ramadhan tahun ini mungkin terakhir baginya. Ajalnya terasa semakin dekat saja. Entah kapan tapi pasti ajal itu akan datang. Semua teman sebayanya sudah wafat. Dan didesanya pak madi warga yang paling tua.
Dan pada usianya yang uzur ini, pak madi tinggal bersama istrinya. Selama ini, pak madi sering bersitegang dengan istrinya dalam memilih gaya hidup. Pak madi lebih suka hidup sederhana, sedangkan istrinya suka hidup bermewah-mewah.
“Kita hidup di desa. Yang sederhana saja.” Kalimat ini sering diucapkan pak madi setiap kali melihat istrinya bersikap wah.
“sederhana bukan berarti tidak mewah, pak. Bagi yang mampu, kemewahan bisa dianggap sederhana.” Tukas istrinya.
Pak madi selalu mengalah. Percuma berdebat kusir dengan istrinya. Tapi pak madi selalu sedikit melihat akibat yang ditimbulkan dari sikap istrinya yang suka bermewah-mewahan. Misalnya, putranya menjadi ikut-ikutan suka bermewah-mewah. Jika pulang ke desa, puteranya selalu membawah mobil mewah tipe terbaru yang baru saja keluar dari diler dan belum ada nomor polisinya.
Pernah pak madi memberi nasihat kepada putranya agar jangan suka bermewah-mewahan.
“Kamu pejabat Negara. Kalau suka bermewah-mewahan, kamu bisa melakukan korupsi.”
Putranya tertawa. “Bapak tak usah khawatir. Tanpa korupsi, saya bisa hidup mewah, karena punya banyak kolega dan banyak sumber penghasilan.”
Mendengar ucapan putranya itu, pak madi justru makin khawatir. Sebab, sepengetahuannya gaji pejabat Negara tidak seberapa jika dibandingkan dengan gaya hidup dan beban sosialnya. Gaji yang cukup besar bagi pejabat bisa habis untuk membayar berbagai rekening tetap bulanan, juga biaya pergaulan tingkat atas seperti menghadiri pesta-pesta.
“Kamu boleh menikmati hidupmu dengan bermewah-mewahan, tapi jangan sekali-kali melakukan korupsi dan mencemarkan nama baik orang tua.” Pak madi berpesan kepada putranya dengan suara berat. Rasanya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu gara-gara punya anak menjadi koruptor yang diberitakan di berbagai media massa.
Sampai pertengahan ramadhan, pak madi belum ditelpon putranya lagi. Dan setiap pak madi mencoba menelpon putranya selalu gagal. HP milik putranya selalu dimatikan.
“Mungkin ingin khusyuk menjalani umrah, sehingga selama di tanah suci tidak mau diganggu, pak” istrinya mencoba menghibur.
“Tapi seharusnya dia sudah pulang, bu. Jangan-jangan dia sakit di tanah suci?”
“Kalau dia sakit, pasti menelpon, dong. Kita kan orang tuanya.”
Pak madi makin cemas. Sejak ramadhan, kebiasaannya membaca Koran setiap pagi dihentikan. Begitu juga kebiasaannya menonton tayangan berita siang ditelevisi juga dihentikan. Sepanjang hari pak madi terus memperbanyak dzikir dan bertasbih.
Dengan menahan cemas, pagi itu pak madi mencoba membuka Koran yang baru saja diantar loper. Matanya langsung terbelalak membaca berita di halaman muka.
Nama putranya tertulis dengan huruf besar sebagai tersangka korupsi uang Negara miliaran rupiah. Dan sekarang dinyatakan sebagai buron atau masuk daftar pencarian orang alias DPO.
Dada pak madi langsung terasa nyeri. Dipanggilnya istrinya yang sibuk mengamati gambar-gambar desain busana baru yang dimuat di majalah.
Ketika istrinya mendekat, pak madi langsung menyuruhnya membaca berita di halaman Koran itu.
Istrinya terperanjat. “ pasti berita ini fitnah, pak. Tak mungkin anak kita melakukan korupsi.”
“Sekarang tidak bisa sembarangan memuat berita fitnah, bu. Berita ini pasti benar, sehingga ditempatkan di halaman muka.”
Isterinya menangis .
Dada pak madi semakin nyeri. Ingin segera bangkit dan berbaring di kamar tidurnya, tapi tiba tiba sekujur tubuhnya tidak bertenaga lagi. Ingin juga bicara lagi, tapi mulutnya tiba-tiba menjadi kaku.
Sejak saat itu, pak madi lumpuh dan bicaranya gagu. Dokter yang memeriksanya menyatakan pak Madi terserang stroke dan kemungkinan lumpuh permanen karena usianya sudah uzur.
Istrinya terpukul. Betapa di hari tuanya harus repot-repot merawat suami yang menderita lumpuh total. Sedangkan putra semata wayangnya menjadi buronan. Hari hari yang semula ceria dan serba wah, kini menjadi muram dan serba susah.
Di pagi itu, pak madi baru saja dimandikan dan disuapi istrinya. Sejak menderita lumpuh dan tidak bisa bicara dengan jelas, pak madi tidak lagi berpuasa.
Tampat istrinya sangat lelah. Matanya terasa gelap, dan sekujur tubuhnya lemas. Lalu duduk di berdanda depan untuk menghidup udara segar.
Tiba tiba datang seorang kurir dari perusahaan layanan jasa titipan kilat yang mengantarkan bungkusan kardus yang dikirim putranya dari singapura.
Bungkusan kardus itu segera dibawa kekamar dan dibuka didepan pak madi. Isi bungkusan kardus itu adalah kurma dari madinah seberat 10 kilogram dan selembar surat dengan tanda tangan putranya.
Dalam kelumpuhan, pak madi mendengar istrinya membaca surat dari putranya itu.
“Maafkan saya, karena telah mencoreng nama baik keluarga. Sekarang saya sehat-sehat saja di singapura. Dan bersama surat ini, saya kirimkan sepuluh kilogram kurma dari madinah.”
Pak madi melirik sebutir kurma dari madinah yang telah dipungut istrinya dan hendak disuapkan ke mulutnya. Di mata pak madi, sebutir kuma itu bagaikan sebongkah bara panas. Tak mungkin bisa dinikmatinya. Tak mungkin bisa.