Tidak sulit membuat warta mau bertambang bila orang mau menyediakan setumpuk kata pujian baginya. Di antara sesame anak dukuh paruk, warta dikenal mempunyai suara paling bagus. Tembang kegemarannya juga menjadi kegemaran setia anak dipedukuhan itu, sebuah lagu duka yatim piatu. Orang takkan menemukan siapa-siapa pengubah lagu itu yang mampu mewakili nestapa anak-anak yang didunia tanpa ayah dan emak.
Lagu yang menjadi terkenal di Dukuh Paruk semenjak belasan anak kehilangan kedua orang tua akibat racun tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu.
Beduk tiga dalam arsa guling
Padang bulan kekencar ing latar
Thengkuk-thengkuk lungguh dhewe
Angine ngidid mangidul
Saya nggreges rasaning ati
Rumangsa yen wus lola
Tanpa sanak tanpa kadang
Urip sengsara tansah nandhang prihatin
Duh nyawa gondelana
(Pukul tiga dini hari, aku belum mau terlena
Bulan menabur cahaya di halaman
Selagi aku termangu seorang diri
Angin yang berhembus ke selatan
Membuat hati semakin merasa
Beginilah awak yang telah sebatang kara
Tiada Ayah-Bunda tiada sanak saudara
Hidup sengsara selalu menderita
Oh, nyawa bertahanlah kau di badan)
Warta sudah berates kali menembangkan lagu itu. Idak lagi tertarik akan makna liriknya. Hanya irama itu kiranya akan ditinggal abadi di hati. Warta dan anak-anak lain Dukuh Paruk. Selesai menembangkan lagu itu, warta menoleh kepadaku. Dia melihat aku mengerti bibir, dan mungkin aku berkaca-kaca.
“Lho ?” ujar Warta tak mengerti, “apa pula arti semua ini?”
“Tidak apa-apa, Warta. Percayalah, sahabatku, tak ada yang salah pada diriku.
Aku terharu. Suaramu memang bisa membuat siapapun terharu.”
Kukira warta memandangku dari belakang ketika aku berjalan meninggalkan. Aku tak peduli dan aku berjalan sepembawa kakiku. Perjalanan yang tanpa tujuan membawaku sampai ke lorong yang menuju perkuburan Dukuh Paruh. Seharusnya, aku melangkah bila tidak kulihat seseorang berjalan merunduk-runduk di antara batang-batang puring. Srintil ! aku tak mungkin salah, dialah orangnya.
Tak tahu aku membuntutinya, Srintil terus berjalan. Langkahnya berkelok ke kiri, langkah Srintil lurus menuju cungkup makam Ki Secangmanggala. Kulihat Srintil jongkok, menaruh sesaji di depan pintu makam. Ketika bangkit dan berbalik, ronggeng itu terperanjat. Aku berdiri dua langkah di depannya
“He, kau, Rasus ?”
“Aku mengikutimu.”
“Aku disuruh Nyai Kartareja menaruh sesaji itu.”
“Ya, aku tahu.” Sambil berkata demikian, aku melangkah pergi. Tetapi, Srintil Menarik bajuku.
“Rasus, hendak kemana kau?”
“Pulang.”
“Jangan dulu. Kita bisa duduk-duduk sebentar di sini.”
Ternyata aku tak menolak ketika Srintil membimbingku duduk diatas akar beringin. Tetapim baik Srintil maupun aku lebih suka membungkam mulut.
Seekor serangga kecil akhirnya membuka jalan bagi permulaan percakapan kami. Nyamuk berlirik hinggap di pipi Srintil. Perutnya menggantung penuh darah.
“Srin, tepuk pipimu yang kanan. Ada nyamuk.”
“Aku tak dapat melihatnya.”
“Tentu saja. Tetapi, tepuklah pipi kananmu agak ke atas, pasti kena.”
“Tidak mau. Engkau yang harus menepuknya.”
“Tanganku kotor.”
Malam terakhir di Dukuh Paruk, aku hampir gagal memejamkan mata hingga pagi hari. Srintil menginginkan agar aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ia ikut bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet.
“Bila engkau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kau kerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil di tengah malam yang sepi.
“Srin, aku belum berpikir sedemikian jauh. Atau aku tak pernah memikirkan hal semacam itu. Lagi pula, aku masih teringat betul kata-katamu dulu bahwa kau senang menjadi ronggeng.” Jawabku.
“Eh, Rasus. Mengapa engkau mau menyebut hal-hal yang sudah lalu? Aku mengajukan permintaanku itu sekarang. Dengar Rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng karena aku ingin menjadi istri seorang tentara, engkaulah orangnya.”
Masih segudang alasan dan janji yang diucapkan Srintil padaku. Sebagai laki-laki usia dua puluh tahun, aku hampir dibuatnya menyerah. Tetapi, sebagai anak Dukuh Paruk yang telah tahu banyak akan di dunia luar, aku mempunyai seribu alasan untuk mempertimbangkannya, bahkan untuk menolah permintaan Srintil. Srintil boleh mendapatkan apa-apa dariku selain bayi dan perkawinan. Aku tahu hal ini suda cukup memadai bagi seorang perempuan Dukuh Paruk. Permintaan Srintil yang berlebihan pasti hanya didorong keinginan sesaat yang kebetulan sejalan dengan nalurinya sebagai perempuan.
Menjelang fajar tiba, kudengar burung sikatan mencecet di rumpun daun di belakang rumah. Keletak-keletik bunyi tetes embun yang jatuh menimpa daun kering. Kudengar dengung kumbang tahi yang terbang menuju arah bau tinja yang berserakan di pedukuhanku yang kecil. Rengek bayi tetangga dan keributan kecil di kandang ayam. Keretek tahi kambing yang tercurah ke atas geladak kandangnya. Kelepak sayap kampret di antara daun-daun jambu di samping rumah.
Perlahan-lahan aku bangun. Lirih sekali. Aku tidak mengehendaki terdengar derit pelapuh bambu yang dapat membangunkan Srintil, dia masih tertidur lelap. Seperti dulu, Srintil bertambah cantik dan teduh bila sedang tidur. Dengan hati-hati, kubenahi kainnya yang acak-acakan. Ketika Srintil menggeliat, kuelus dia, seperti aku mengelus anak kecil. Tidak lama aku berdiri menatap ronggeng Dukuh Paruk itu. Aku tidak ingin sesuatu yang berbau sentimental mengiringin keberangkatanku.
Di dalam bilik kulihat nenek, tidur miring dan agak melingkar. Sinar pelita kecil memungkinkan aku melihat gerak paru-parunya. Pelan sekali. Ah, nenekku. Mengapa bukan sejak dulu aku mencari gambar wajah emak yang selama ini kulakukan hanya membuahkan hasil keresahan. Kekeliruan semacam itu tak pernah kuulangi. Maka kutatap garis-garis kerentaan pada wajah nenek secara damai. Kemudian, ke bawah bantal, kusisipkan semua uang yang ada di sakuku.
Aku berbalik. Tak kulupakan aku sudah menjadi tentara meski tanpa pangkat. Jadi, watak ragu harus kulenyapkan.
Selesai mengenakan pakaian seragam, kusambar bedil yang tergantung di atas balai-balai bilikku. Srintil masih lelap di sana, tetapi aku hanya melihatnya sejenak. Langit di timur mulai benderang ketika aku melangkah keluar. Belum seorang pun di Dukuh Paruk yang sudah kelihatan. Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus, sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuni akan kutinggalkan. Tanah Airku yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah bersumpah tidak akan memaafkannya karena dia telah merenggut Srintil dari tanganku. Bahkan lebih dari itu, aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku member sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk Ronggeng
(Ahmad Tohari)