Senin, 14 April 2014

Puisi : Air Mata Bola Basket


Air Mata Bola Basket Dalam Kaset . . .
Air Mata Bola Basket Dalam . . .
Air Mata Bola Basket . . .
Air Mata Bola . . .
Air Mata . . .
Air . . .
A
I
R
M
A
T
A
Bola Basket Dalam Kaset

Karya : Ghani

Beri Aku Maaf, Teman

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsSDq1C_Og6oGkIWkVKqIz0ZKwNbqZU7PmkTB3tRjZrjXFItj3NpMF81mJIuROXUbRXh2fV6JubQNy3L8fkOWM1wAnFaJ7Usr1XAaqEMHjYReE1s3vveumc-rObSZvC3gLF_3a2PApLDu0/s1600/sahabat21.jpg
Berbagai cara sudah dilakukan Ano untuk meredakan kebekuan hati Udik. Namun belum membuahkan hasil. Udik masih tetap marah dan tak mau mengajaknya bicara. Ano heran setengah mati, udik bersikap seperti itu. Ano tak menyangka sama sekali apa yang dilakukan membuat sohib dekatnya tersinggung dan marah besar. Ano mengakui kesalahannya, tapi Udik belum membuka pintu maaf baginya.

Bagaikan perang kalah, perasaan Ano melihat kenyataan itu. Sedih, teramat tragis. Ia sangat terpukul ketika permintaan maafnya yang kesekian, sore kemarin, ditolak mentah-mentah.

“Aku belum bisa melupakan peristiwa itu. Suatu saat jika sudah lenyap dari benakku, aku akan menerima maafmu.” Itu yang diucapkan Udik ketika Ano jauh-jauh menemuinya.

Ano mencatat, empat kali ia minta maaf pada Udik. Empat kali pula ia harus kecewa, permintaan maafnya tidak direspons . Ano mengakuinya, dirinya memang salah. Karenanya, ia berupaya minta maaf pada Udik.
Terlintas  jelas di benak Ano bagaimana peristiwa itu terjadi. Secara tak sengaja ia biarkan Udik menunggu disambati Ano. Di mata Ano, Udik baik dan entengan. Sayang, peristiwa stasiun itu, membuat hubungan itu memburuk.

Permasalahannya sepele, Ano tak menemukan Udik ketika keretanya tiba di stasiun. Dicari sana-sini, batang hidung Udin tak Nampak. Dalam keadaan bingung muncullah wahyu, teman sekampusnya. Singkat cerita Ano pulang dengan Wahyu.

Siangnya udik datang ke tempat Ano. Berbagai makian ditumpahkan Udik. Udik menganggap Ano mempermainkan. Disuruh menjemput, tapi malah dibiarkan bingung. Ano menjelaskan bahwa dirinya sudah mencari Udik, tapi tak ada. Udik beralasan ia sedang ke kamar kecil dan malah menyalahkan Ano yang tidak menelponnya. Mengapa saat itu Ano tidak ngontak Udik, karena HP-nya low bath. Sebenarnya ia bisa telpon lewat wartel yang ada di situ.

Tapi karena panik, ingin cepat-cepat sampai di tempat kost, Ano tak melakukan itu. Dan kesalahan itulah membuat Udik berang. Betul-betul marah pada Ano.

Ano sudah minta pendapat teman-teman, langkah apa yang diambil. Sebenarnya bisa saja Ano cuek dengan kelakuan Udik itu. Tapi sebagai orang yang masih mempunyai hati nurani, Ano merasa perlu minta maaf.

“Masak salah dan bikin orang teraniaya diam saja. Sudah sepantasnya aku minta maaf.” Ujar Ano pada Sinta.

Sinta bisa mengerti yang diamui teman sekampus itu. Tapi ia merasa tak rela jika Ano dilecehkan oleh Udik seperti itu.

“Ngapain kamu minta maaf, sementara yang kamu mintai maaf ketus kayak gitu. Lupakan saja, Anggap sudah selesai saja,” saran Sinta.
“Wah tak segampang itu, Sin!”
“Kan sia-sia kalau tanggapan Udik terus seperti itu.”
“Justru itu aku harus bisa mendapat maaf darinya. Baru setelah itu lega.”
Udik sebenarnya sudah disadarkan teman-temannya. Apa yang dilakukan tidak baik. Namun Udik mengaku merasa masih sakit hati atas kejadian itu. Ia punya pendapat, sikap ngeyelnya itu untuk member pelajaran Ano.
“Tapi kasihan Ano kalau kamu seperti it uterus. Padahal dia benar-benar mendambakan maafmu,” ungkap Indro.
“Itu resiko dia. Berani berbuat, berani menanggung akibatnya!”
“Dia sangat menghormatimu, Kalau dia tidak menganggapmu, pasti tak akan minta maaf. Mestinya kamu tahu itu. Apa sih sulitnya member maaf?”

Udik terdiam. Lontaran Indro menusuk kedalam sanubari Udik. Sesuatu sedang dipikir cowok itu.
Gerimis mewarnai atmosfir malam itu. Ano malas keluar rumah. Ia masih dikamar sambil mendengarkan teriakan nyaring Chris Cornell, vokalis Audioslaves. Padalah lapar sudah meliliti perut.

Ano terperanjat ketika pintu diketuk. Lebih terkejut lagi saat Udik di hadapannya, begitu pintu dibuka. Berbagai perasaan berkecamuk di benak Ano. Apa yang akan dilakukan Udik terhadap dirinya ? Pikiran itu menyelusuri di sekujur darah Ano.

“Maaf kedatanganku mengejutkanmu. Ada hal penting yang perlu kuungkapkan padamu, Ano.”
“Eh, nggak apa-apa kok,” Jawab Ano kikuk.
“Aku hanya mau minta maaf padamu. Selama ini aku telah menyusahkan dirimu.”
“Lho, yang mestinya minta maaf kan aku.”
“Nggak. Aku telah menyia-nyiakan kebaikanmu. Aku sudah menolak maafmu selama ini. Padahal maafmu itu tulus. Aku sadar, apa yang kulakukan itu salah.”

Ano terdiam.

“Untung ini tidak berlarut-larut. Teman-teman menyadarkanku aku. Aku menyesali atas sikapku selama ini Ano. Minta maaf memang hal yang paling sulit diucapkan. Tapi aku harus melakukannya.” Tambah Udik.
“Jadi, kamu sudah memaafkanku, Dik ?”
“Tentu, kita temanan lagi.”
“Benarkah itu ?”

Udik mengangguk. Ano tersenyum memancarkan kegembiraan. Maaf yang ditunggu-tunggu, datang sudah. Tak ada kebahagiaan bagi Ano yang melebihi peristiwa malam itu.

Sabtu, 12 April 2014

Puisi : Posesif

http://cdn.ciricara.com/wp-content/uploads/2012/10/17/posesif.png
Ku akui cintamu memang nyata
Ku akui sayangmu memang indah adanya

Tapi ku tak suka dengan sikapmu
Matamu selalu mengawasiku
Kau biarkan jari ini berada di genggamanmu
Kau pegang erat sampai ku tak mampu

Kau tak biarkan seorangpun menyentuhku
Kau tak biarkan seorangpun melihatku
Kau dekati aku bila seseorang menghampiriku
Kau sentuh aku bila seseorang memandangku

Entah apa yang ada dihatimu
Entah apa yang ada dipikiranmu
itukah cemburu
ataukah nafsu

Itukah caramu mencintaiku, sayang !
itukah caramu memilikiku,  sayang !
kau cinta aku tapi ku merasa tertekang

Ku tak suka sikapmu
Tapi aku mencintaimu
Hanya satu permintaanku
Hilangkan sifat posesifmu itu

Kurma Dari Madinah

Pada usianya yang sudah uzur, sudah lebih dari 65 tahun, pak madi merasa gembira, karena putra semata wayangnya kini menjadi pejabat di pusat. Pada awal ramadhan ini, putranya kembali melakukan ibadah umrah di tanah suci. Lewat telepon, putranya minta doa restu dan bertanya”
“Bapak mau saya bawakan oleh-oleh apa?”
Pak Madi langsung menjawab tegas. “Bawakan saja kurma dari madinah !”
“Hanya itu saja, pak?” Tanya putranya lagi.
“Ya, hanya kurmah dari madinah. Terserah berapa kilo.”
Putranya tertawa. “Satu kuintal apa cukup pak?”
Pak madi juga tertawa. “Kalau kamu tidak keberatan, satu ton juga boleh.”

Pak madi ingin menjalani sisa puasa ramadhan ini dengan berbuka puasa dengan kurma dari madinah. Betapa nikmatnya mengunyah kurma dari madinah sambil membayangkan Rasulullah yang sedang berbuka puasa dengan menyantap 3 butir kurma. Dan karena Rasulullah tinggal di kota madinah, tentu kurmanya juga dari madinah.
Dalam batin pak madi, puasa ramadhan tahun ini mungkin terakhir baginya. Ajalnya terasa semakin dekat saja. Entah kapan tapi pasti ajal itu akan datang. Semua teman sebayanya sudah wafat. Dan didesanya pak madi warga yang paling tua.
Dan pada usianya yang uzur ini, pak madi tinggal bersama istrinya. Selama ini, pak madi sering bersitegang dengan istrinya dalam memilih gaya hidup. Pak madi lebih suka hidup sederhana, sedangkan istrinya suka hidup bermewah-mewah.

“Kita hidup di desa. Yang sederhana saja.” Kalimat ini sering diucapkan pak madi setiap kali melihat istrinya bersikap wah.
“sederhana bukan berarti tidak mewah, pak. Bagi yang mampu, kemewahan bisa dianggap sederhana.” Tukas istrinya.

Pak madi selalu mengalah. Percuma berdebat kusir dengan istrinya. Tapi pak madi selalu sedikit melihat akibat yang ditimbulkan dari sikap istrinya yang suka bermewah-mewahan. Misalnya, putranya menjadi ikut-ikutan suka bermewah-mewah.  Jika pulang ke desa, puteranya selalu membawah mobil mewah tipe terbaru yang baru saja keluar dari diler dan belum ada nomor polisinya.
Pernah pak madi memberi nasihat kepada putranya agar jangan suka bermewah-mewahan.

“Kamu pejabat Negara. Kalau suka bermewah-mewahan, kamu bisa melakukan korupsi.”
Putranya tertawa. “Bapak tak usah khawatir. Tanpa korupsi, saya bisa hidup mewah, karena punya banyak kolega dan banyak sumber penghasilan.”

Mendengar ucapan putranya itu, pak madi justru makin khawatir. Sebab, sepengetahuannya gaji pejabat Negara tidak seberapa jika dibandingkan dengan gaya hidup dan beban sosialnya. Gaji yang cukup besar bagi pejabat bisa habis untuk membayar berbagai rekening tetap bulanan, juga biaya pergaulan tingkat atas seperti menghadiri pesta-pesta.

“Kamu boleh menikmati hidupmu dengan bermewah-mewahan, tapi jangan sekali-kali melakukan korupsi dan mencemarkan nama baik orang tua.” Pak madi berpesan kepada putranya dengan suara berat. Rasanya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu gara-gara punya anak menjadi koruptor yang diberitakan di berbagai media massa.

Sampai pertengahan ramadhan, pak madi belum ditelpon putranya lagi. Dan setiap pak madi mencoba menelpon putranya selalu gagal. HP milik putranya selalu dimatikan.

“Mungkin ingin khusyuk menjalani umrah, sehingga selama di tanah suci tidak mau diganggu, pak” istrinya mencoba menghibur.
“Tapi seharusnya dia sudah pulang, bu. Jangan-jangan dia sakit di tanah suci?”
“Kalau dia sakit, pasti menelpon, dong. Kita kan orang tuanya.”

Pak madi makin cemas. Sejak ramadhan, kebiasaannya membaca Koran setiap pagi dihentikan. Begitu juga kebiasaannya menonton tayangan berita siang ditelevisi juga dihentikan. Sepanjang hari pak madi terus memperbanyak dzikir dan bertasbih.
Dengan menahan cemas, pagi itu pak madi mencoba membuka Koran yang baru saja diantar loper. Matanya langsung terbelalak membaca berita di halaman muka.
Nama putranya tertulis dengan huruf besar sebagai tersangka korupsi uang Negara miliaran rupiah. Dan sekarang dinyatakan sebagai buron atau masuk daftar pencarian orang alias DPO.
Dada pak madi langsung terasa nyeri. Dipanggilnya istrinya yang sibuk mengamati gambar-gambar desain busana baru yang dimuat di majalah.

Ketika istrinya mendekat, pak madi langsung menyuruhnya membaca berita di halaman Koran itu.
Istrinya terperanjat. “ pasti berita ini fitnah, pak. Tak mungkin anak kita melakukan korupsi.”
“Sekarang tidak bisa sembarangan memuat berita fitnah, bu. Berita ini pasti benar, sehingga ditempatkan di halaman muka.”
Isterinya menangis .

Dada pak madi semakin nyeri. Ingin segera bangkit dan berbaring di kamar tidurnya, tapi tiba tiba sekujur tubuhnya tidak bertenaga lagi. Ingin juga bicara lagi, tapi mulutnya tiba-tiba menjadi kaku.
Sejak saat itu, pak madi lumpuh dan bicaranya gagu. Dokter yang memeriksanya menyatakan pak Madi terserang stroke dan kemungkinan lumpuh permanen karena usianya sudah uzur.
Istrinya terpukul. Betapa di hari tuanya harus repot-repot merawat suami yang menderita lumpuh total. Sedangkan putra semata wayangnya menjadi buronan. Hari hari yang semula ceria dan serba  wah, kini menjadi muram dan serba susah.

Di pagi itu, pak madi baru saja dimandikan dan disuapi istrinya. Sejak menderita lumpuh dan tidak bisa bicara dengan jelas, pak madi tidak lagi berpuasa.
Tampat istrinya sangat lelah. Matanya terasa gelap, dan sekujur tubuhnya lemas. Lalu duduk di berdanda depan untuk menghidup udara segar.
Tiba tiba datang seorang kurir dari perusahaan layanan jasa titipan kilat yang mengantarkan bungkusan kardus yang dikirim putranya dari singapura.
Bungkusan kardus itu segera dibawa kekamar dan dibuka didepan pak madi. Isi bungkusan kardus itu adalah kurma dari madinah seberat 10 kilogram dan selembar surat dengan tanda tangan putranya.
Dalam kelumpuhan, pak madi mendengar istrinya membaca surat dari putranya itu.

“Maafkan saya, karena telah mencoreng nama baik keluarga. Sekarang saya sehat-sehat saja di singapura. Dan bersama surat ini, saya kirimkan sepuluh kilogram kurma dari madinah.”
Pak madi melirik sebutir kurma dari madinah yang telah dipungut istrinya dan hendak disuapkan ke mulutnya. Di mata pak madi, sebutir kuma itu bagaikan sebongkah bara panas. Tak mungkin bisa dinikmatinya. Tak mungkin bisa.

Minggu, 06 April 2014

Ronggeng Dukuh Paruk

 
Tidak sulit membuat warta mau bertambang bila orang mau menyediakan setumpuk kata pujian baginya. Di antara sesame anak dukuh paruk, warta dikenal mempunyai suara paling bagus. Tembang kegemarannya juga menjadi kegemaran setia anak dipedukuhan itu, sebuah lagu duka yatim piatu. Orang takkan menemukan siapa-siapa pengubah lagu itu yang mampu mewakili nestapa anak-anak yang didunia tanpa ayah dan emak.
Lagu yang menjadi terkenal di Dukuh Paruk semenjak belasan anak kehilangan kedua orang tua akibat racun tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu.

    Beduk tiga dalam arsa guling
    Padang bulan kekencar ing latar
    Thengkuk-thengkuk lungguh dhewe
    Angine ngidid mangidul
    Saya nggreges rasaning ati
    Rumangsa yen wus lola
    Tanpa sanak tanpa kadang
    Urip sengsara tansah nandhang prihatin
    Duh nyawa gondelana

    (Pukul tiga dini hari, aku belum mau terlena
    Bulan menabur cahaya di halaman
    Selagi aku termangu seorang diri
    Angin yang berhembus ke selatan
    Membuat hati semakin merasa
    Beginilah awak yang telah sebatang kara
    Tiada Ayah-Bunda tiada sanak saudara
    Hidup sengsara selalu menderita
    Oh, nyawa bertahanlah kau di badan)

Warta sudah berates kali menembangkan lagu itu. Idak lagi tertarik akan makna liriknya. Hanya irama itu kiranya akan ditinggal abadi di hati. Warta dan anak-anak lain Dukuh Paruk. Selesai menembangkan lagu itu, warta menoleh kepadaku. Dia melihat aku mengerti bibir, dan mungkin aku berkaca-kaca.
“Lho ?” ujar Warta tak mengerti, “apa pula arti semua ini?”
“Tidak apa-apa, Warta. Percayalah, sahabatku, tak ada yang salah pada diriku.
Aku terharu. Suaramu memang bisa membuat siapapun terharu.”

Kukira warta memandangku dari belakang ketika aku berjalan meninggalkan. Aku tak peduli dan aku berjalan sepembawa kakiku. Perjalanan yang tanpa  tujuan membawaku sampai ke lorong yang menuju perkuburan Dukuh Paruh. Seharusnya, aku melangkah bila tidak kulihat seseorang berjalan merunduk-runduk di antara batang-batang puring. Srintil ! aku tak mungkin salah, dialah orangnya.

Tak tahu aku membuntutinya, Srintil terus berjalan. Langkahnya berkelok ke kiri, langkah Srintil lurus menuju cungkup makam Ki Secangmanggala. Kulihat Srintil jongkok, menaruh sesaji di depan pintu makam. Ketika bangkit dan berbalik, ronggeng itu terperanjat. Aku berdiri dua langkah di depannya

“He, kau, Rasus ?”
“Aku mengikutimu.”
“Aku disuruh Nyai Kartareja menaruh sesaji itu.”
“Ya, aku tahu.” Sambil berkata demikian, aku melangkah pergi. Tetapi, Srintil Menarik bajuku.
“Rasus, hendak kemana kau?”
“Pulang.”
“Jangan dulu. Kita bisa duduk-duduk sebentar di sini.”

Ternyata aku tak menolak ketika Srintil membimbingku duduk diatas akar beringin. Tetapim baik Srintil maupun aku lebih suka membungkam mulut.

Seekor serangga kecil akhirnya membuka jalan bagi permulaan percakapan kami. Nyamuk berlirik hinggap di pipi Srintil. Perutnya menggantung penuh darah.

“Srin, tepuk pipimu yang kanan. Ada nyamuk.”
“Aku tak dapat melihatnya.”
“Tentu saja. Tetapi, tepuklah pipi kananmu agak ke atas, pasti kena.”
“Tidak mau. Engkau yang harus menepuknya.”
“Tanganku kotor.”

Malam terakhir di Dukuh Paruk, aku hampir gagal memejamkan mata hingga pagi hari. Srintil menginginkan agar aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ia ikut bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet.
“Bila engkau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kau kerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil di tengah malam yang sepi.
“Srin, aku belum berpikir sedemikian jauh. Atau aku tak pernah memikirkan hal semacam itu. Lagi pula, aku masih teringat betul kata-katamu dulu bahwa kau senang menjadi ronggeng.” Jawabku.
“Eh, Rasus. Mengapa engkau mau menyebut hal-hal yang sudah lalu? Aku mengajukan permintaanku itu sekarang. Dengar Rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng karena aku ingin menjadi istri seorang tentara, engkaulah orangnya.”
Masih segudang alasan dan janji yang diucapkan Srintil padaku. Sebagai laki-laki usia dua puluh tahun, aku  hampir dibuatnya menyerah. Tetapi, sebagai anak Dukuh Paruk yang telah tahu banyak akan di dunia luar, aku mempunyai seribu alasan untuk mempertimbangkannya, bahkan untuk menolah permintaan Srintil. Srintil boleh mendapatkan apa-apa dariku selain bayi dan perkawinan. Aku tahu hal ini suda cukup memadai bagi seorang perempuan Dukuh Paruk. Permintaan Srintil yang berlebihan pasti hanya didorong keinginan sesaat yang kebetulan sejalan dengan nalurinya sebagai perempuan.


Menjelang fajar tiba, kudengar burung sikatan mencecet di rumpun daun di belakang rumah. Keletak-keletik bunyi tetes embun yang jatuh menimpa daun kering. Kudengar dengung kumbang tahi yang terbang menuju arah bau tinja yang berserakan di pedukuhanku yang kecil. Rengek bayi tetangga dan keributan kecil di kandang ayam. Keretek tahi kambing yang tercurah ke atas geladak kandangnya. Kelepak sayap kampret di antara daun-daun jambu di samping rumah.

Perlahan-lahan aku bangun. Lirih sekali. Aku tidak mengehendaki terdengar derit pelapuh bambu  yang dapat membangunkan Srintil, dia masih tertidur lelap. Seperti dulu, Srintil bertambah cantik dan teduh bila sedang tidur. Dengan hati-hati, kubenahi kainnya yang acak-acakan. Ketika Srintil menggeliat, kuelus dia, seperti aku mengelus anak kecil. Tidak lama aku berdiri menatap  ronggeng Dukuh Paruk itu. Aku tidak ingin sesuatu yang berbau sentimental mengiringin keberangkatanku.

Di dalam bilik kulihat nenek, tidur miring dan agak melingkar. Sinar pelita kecil memungkinkan aku melihat gerak paru-parunya. Pelan sekali. Ah, nenekku. Mengapa bukan sejak dulu aku mencari gambar wajah emak yang selama ini kulakukan hanya membuahkan hasil keresahan. Kekeliruan semacam itu tak pernah kuulangi. Maka kutatap garis-garis kerentaan pada wajah nenek secara damai. Kemudian, ke bawah bantal, kusisipkan semua uang yang ada di sakuku.

Aku berbalik. Tak kulupakan aku sudah menjadi tentara meski tanpa pangkat. Jadi, watak ragu harus kulenyapkan.

Selesai mengenakan pakaian seragam, kusambar bedil yang tergantung di atas balai-balai bilikku. Srintil masih lelap di sana, tetapi aku hanya melihatnya sejenak. Langit di timur mulai benderang ketika aku melangkah keluar. Belum seorang pun di Dukuh Paruk yang sudah kelihatan. Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus, sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuni akan kutinggalkan. Tanah Airku yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah bersumpah tidak akan memaafkannya karena dia telah merenggut Srintil dari tanganku. Bahkan lebih dari itu, aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku member sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk Ronggeng

(Ahmad Tohari)

Di Atas Kereta Rel Listrik

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnMCdep8ReTP2zZD6ymLYlltRozB6sqj9RVkoC3Qc7c6hErxHCfYdAmbAzUIOTcRFEuWYmt84neJLaU_uRmLh2mGshZ92EjZg9-M3kEs_6g_ChzmoxN2N_9rJf5KcCQJMXBYzgpGZvFv4/s1600/eko+biasa.jpg
Tidak lama setelah itu, sekawanan remaja sekolah menengah umum seusia anak yang duduk di sebelahku, muncul dari gerbong di depan gerbong kami. Mereka masuk dengan sikap beringas dan tidak menunjukan sikap sopan. Inilah awal malapetaka itu.
Melihat kedatangan sekawanan anak sekolah itu, anak laki-laki yang baru naik dan duduk disebelahku, jadi gelisah. Dia bergeser dekat denganku.

“Tolong lindungi saya, pak. “saya sama sekali tidak terlibat dalam perkelahian itu. Aku tidak ikut-ikutan”
Dia makin cemas dan gelisah. Mungkin dia menyadari kalau dia sedang berhadapan dengan bahaya, dan dia sudah terperangkap di antara langit-langit dan dinding garbing. Tak ada tempat untuk menghindar.

“Murid-murid sekolah kami berkelahi dengan murid-murid sekolah mereka. Ada tiga korban terbunuh dari pihak mereka. Saya tidak ikut-ikutan dalam perkelahian itu. Tolong lindungi saya, pak.”
“Kalau begitu persoalannya duduklah dengan tenang di sebelahku. Tak ada yang perlu dicemaskan. bersikaplah seolah kau anakku.”
“Terima Kasih, pak.” Katanya.

Namun, semuanya terjadi di luar perhitunganku.  Dan tak dapat dihindarkan mereka pun melihat anak itu dan dapat menandai dari seragam sekolah yang dikenakannya. Seorang dari mereka datang kearah kami. Mencengkeram dan merenggut kerah baju dibagian lehernya. Terdengar benang tetas di bagian kerah yang direnggut anak itu. Mereka menyeretnya dari sisiku. Aku langsung bertindak mencegahnya. Tetapi mereka mendorongku dengan kasar, membiarkan aku terjungkal di atas lantai. Kemudian dengan sangat brutal mereka melakukan penganiayaan padanya. Sekarang gerbong itu telah berubah menjadi penyiksaan.

“Apa persoalannya? Mari kita selesaikan dengan baik-baik. Jangan bertingak seperti itu. Siapa tahu dia bukanlah orang yang kalian maksud.”
“Bapak jangan ikut campur,” kata salah seorang dari mereka. Dia memegang besi lancip seperti obeng.
“Siapapun di antara kalian yang mencoba ikut campur, kami tidak segan-segan melukainya. Tiga teman kami mereka bunuh dengan cara yang sangat kejam. Tanda pengenal sekolah mereka, mereka ikat di leher teman-teman kami seperti dari kematian. Kekejaman harus dibalas dengan kekejaman yang sama!”
“Aku tidak ikut berkelahi. Aku tidak ikut membunuh. Aku hanya dari sekolah yang sama. Tolong jangan bunuh aku,” kata anak itu.
“Diam! Tiga temang kami telah kalian bunuh dengan cara kejam. Apa pun yang kau katakana sekarang, aku tidak percaya. Kau dusta ! sekarang, jangan coba-coba berlindung dibalik kata-kata bohongmu!”
“Biarkan dia bicara, supaya jelas duduk persoalannya,” kataku.
“Diam kau orang tua!” hardik mereka. Sebuah tendangan yang luar biasa kuatnya menghantam mukaku. Aku tersungkur di lantai. Ceceran darah terasa hangat menjalar dibawah hidungku.

Anak gadis yang duduk disebelahku bergegas menghampiriku dan melindungiku dari amukan mereka. Ia memapahku ke tempat duduk semula. Dikeluarkannya kertas tisu, dihapusnya darah yang menetes di bibirku.
“Saudara-saudara sekalian, malirah kita kendurkan sejenak ketegangan saraf kita. Mari kita lupakan sejenak segala terror  yang diberondongkan kepada kita. . . .  aku dan kekasihku baru saja membeli tep recorder, suaranya sangat bagus untuk sejenisnya. Sekarang, mari kita bergembira.”

Dikeluarkannya tep recorder dari dalam kotak pembungkusnya. Dimasukkanya sebuah pita rekaman. Dipencetnya sebuah tombol disana dan didalam volume tinggi, mengumandanglah sebuah lagu. Dia raih tangan kekasihnya yang duduk bersamanya. Diajaknya berdiri, dan keduanya pun menari. Mereka diatas rel kereta listrik yang sedang berjalan laju.

“Ayo, semua menari.” Ajaknya. “mari kita lupakan sejenak segala duka. Duka yang diakibatkan segala macam kekerasan. Duka yang terjadi di ladang-ladang pembantaian. Mari kita menari. Mari kita lupakan sejenak semua itu. Mari kita menari bersama.”

Melihat tingkah kedua remaja itu, ditambah ajakanya yang menggoda , serta music pengiringnya yang merangsang, penumpang-penumpang yang banyak itu pun tergelitik ikut menari. Dia menoleh kepada dan berkata, “mari kita ikut menari, pak!”
“Taklah. Badan bapak masih terasa sakit, kau sajalah yang menari.”
“Tapi tak ada pasangan yang tersisa untukku. Ayolah. Temani saya. Tak apalah sakit-sakit sedikit. Apa kata anak-anak muda itu? Lupakan sejenak segala duka! Mari sejenak kita ikut berlupa-lupa”
“Bapak tak pantas menari bersamamu. Malu dilihat orang. Apa kata mereka nanti? Si tua tak tahu tuanya!”
“Semua orang sekarang sedang gila menari! Tak pantas kalau kita tak ikut menari di tengah orang yang sedang menari. Ayolah, pak. Ayolah. Malu bukan lagi milik orang sekarang ini. Ayolah. Lupakan sejenak segala duka! Mari bergembira.” Ditariknya tanganku.
“Saya ingin sekali menari di atas rel listrik yang sedang berjalan. Bagaimana melenggok di atas lantai yang bergoyang. Tak pernah kutemukan suasana gila seperti ini, seumur-umur. Ayolah, pak. Mumpung ada orang yang mengambil inisiatif,”

Makin ditariknya tanganku. Betul juga katanya, tak pantas berdiam diri ditengah orang yang menari. Aku pun mengikuti ajakannya. Aku ikut gila ditengah kegilaan yang gila.

Kereta rel listrik itu tiba-tiba berjalan perlahan dan berhenti. Pasangan remaja itu turun tanpa mematikan musik yang mengumandang dari dalam tep recorder yang dibawanya. Orang-orang yang menari itu ikut pula turun , sambil terus menari seolah tersihir musik yang terus mengumandang dari tep recorder itu. Aku pun ikut terpukau, ikut turun dari gerbong mengikuti irama musik yang terus mengumandang itu. Kami seolah telah menjadi tikus-tikus dalam sebuah dongeng mengikuti tiupan seruling seorang pangeran.

Begitu kakiku menginjak peron. Tiba-tiba aku teringat sepatu anak laki-laki yang tertinggal di dalam gerbong. Aku dikembalikan pada niatku. Aku telah memutuskan  hendak membawa sepatu itu ke rumah. Aku akan tunjukan kepada anak-anakku di rumah, bahwa sepatu itu merupakan wujud sebuah duka yang memilukan dari hasil perkelahian antar pelajar seusia mereka.
Hamsad Rangkuti