Berbagai cara sudah dilakukan Ano untuk meredakan kebekuan hati Udik. Namun belum membuahkan hasil. Udik masih tetap marah dan tak mau mengajaknya bicara. Ano heran setengah mati, udik bersikap seperti itu. Ano tak menyangka sama sekali apa yang dilakukan membuat sohib dekatnya tersinggung dan marah besar. Ano mengakui kesalahannya, tapi Udik belum membuka pintu maaf baginya.
Bagaikan perang kalah, perasaan Ano melihat kenyataan itu. Sedih, teramat tragis. Ia sangat terpukul ketika permintaan maafnya yang kesekian, sore kemarin, ditolak mentah-mentah.
“Aku belum bisa melupakan peristiwa itu. Suatu saat jika sudah lenyap dari benakku, aku akan menerima maafmu.” Itu yang diucapkan Udik ketika Ano jauh-jauh menemuinya.
Ano mencatat, empat kali ia minta maaf pada Udik. Empat kali pula ia harus kecewa, permintaan maafnya tidak direspons . Ano mengakuinya, dirinya memang salah. Karenanya, ia berupaya minta maaf pada Udik.
Terlintas jelas di benak Ano bagaimana peristiwa itu terjadi. Secara tak sengaja ia biarkan Udik menunggu disambati Ano. Di mata Ano, Udik baik dan entengan. Sayang, peristiwa stasiun itu, membuat hubungan itu memburuk.
Permasalahannya sepele, Ano tak menemukan Udik ketika keretanya tiba di stasiun. Dicari sana-sini, batang hidung Udin tak Nampak. Dalam keadaan bingung muncullah wahyu, teman sekampusnya. Singkat cerita Ano pulang dengan Wahyu.
Siangnya udik datang ke tempat Ano. Berbagai makian ditumpahkan Udik. Udik menganggap Ano mempermainkan. Disuruh menjemput, tapi malah dibiarkan bingung. Ano menjelaskan bahwa dirinya sudah mencari Udik, tapi tak ada. Udik beralasan ia sedang ke kamar kecil dan malah menyalahkan Ano yang tidak menelponnya. Mengapa saat itu Ano tidak ngontak Udik, karena HP-nya low bath. Sebenarnya ia bisa telpon lewat wartel yang ada di situ.
Tapi karena panik, ingin cepat-cepat sampai di tempat kost, Ano tak melakukan itu. Dan kesalahan itulah membuat Udik berang. Betul-betul marah pada Ano.
Ano sudah minta pendapat teman-teman, langkah apa yang diambil. Sebenarnya bisa saja Ano cuek dengan kelakuan Udik itu. Tapi sebagai orang yang masih mempunyai hati nurani, Ano merasa perlu minta maaf.
“Masak salah dan bikin orang teraniaya diam saja. Sudah sepantasnya aku minta maaf.” Ujar Ano pada Sinta.
Sinta bisa mengerti yang diamui teman sekampus itu. Tapi ia merasa tak rela jika Ano dilecehkan oleh Udik seperti itu.
“Ngapain kamu minta maaf, sementara yang kamu mintai maaf ketus kayak gitu. Lupakan saja, Anggap sudah selesai saja,” saran Sinta.
“Wah tak segampang itu, Sin!”
“Kan sia-sia kalau tanggapan Udik terus seperti itu.”
“Justru itu aku harus bisa mendapat maaf darinya. Baru setelah itu lega.”
Udik sebenarnya sudah disadarkan teman-temannya. Apa yang dilakukan tidak baik. Namun Udik mengaku merasa masih sakit hati atas kejadian itu. Ia punya pendapat, sikap ngeyelnya itu untuk member pelajaran Ano.
“Tapi kasihan Ano kalau kamu seperti it uterus. Padahal dia benar-benar mendambakan maafmu,” ungkap Indro.
“Itu resiko dia. Berani berbuat, berani menanggung akibatnya!”
“Dia sangat menghormatimu, Kalau dia tidak menganggapmu, pasti tak akan minta maaf. Mestinya kamu tahu itu. Apa sih sulitnya member maaf?”
Udik terdiam. Lontaran Indro menusuk kedalam sanubari Udik. Sesuatu sedang dipikir cowok itu.
Gerimis mewarnai atmosfir malam itu. Ano malas keluar rumah. Ia masih dikamar sambil mendengarkan teriakan nyaring Chris Cornell, vokalis Audioslaves. Padalah lapar sudah meliliti perut.
Ano terperanjat ketika pintu diketuk. Lebih terkejut lagi saat Udik di hadapannya, begitu pintu dibuka. Berbagai perasaan berkecamuk di benak Ano. Apa yang akan dilakukan Udik terhadap dirinya ? Pikiran itu menyelusuri di sekujur darah Ano.
“Maaf kedatanganku mengejutkanmu. Ada hal penting yang perlu kuungkapkan padamu, Ano.”
“Eh, nggak apa-apa kok,” Jawab Ano kikuk.
“Aku hanya mau minta maaf padamu. Selama ini aku telah menyusahkan dirimu.”
“Lho, yang mestinya minta maaf kan aku.”
“Nggak. Aku telah menyia-nyiakan kebaikanmu. Aku sudah menolak maafmu selama ini. Padahal maafmu itu tulus. Aku sadar, apa yang kulakukan itu salah.”
Ano terdiam.
“Untung ini tidak berlarut-larut. Teman-teman menyadarkanku aku. Aku menyesali atas sikapku selama ini Ano. Minta maaf memang hal yang paling sulit diucapkan. Tapi aku harus melakukannya.” Tambah Udik.
“Jadi, kamu sudah memaafkanku, Dik ?”
“Tentu, kita temanan lagi.”
“Benarkah itu ?”
Udik mengangguk. Ano tersenyum memancarkan kegembiraan. Maaf yang ditunggu-tunggu, datang sudah. Tak ada kebahagiaan bagi Ano yang melebihi peristiwa malam itu.
0 komentar:
Posting Komentar