Syahdan, disebuah hulu sungai Saqdan –
Sulawesi Selatan
– hiduplah seorang anak manusia yang bernama Sawerigading. Dikisahkan,
bahwa ayah Sawerigading memiliki dua orang istri, yang pertama dari
bangsa manusia dan istri kedua dari bangsa jin.
Dari istri yang pertama lahirlah sepasang anak kembar. Satunya berjenis
kelamin laki-laki yang kelak bernama Sawerigading. Dan satunya lagi
berjenis kelamin perempuan. Sejak kecil sepasang anak kembar
ini dipisahkan oleh orang tuanya tanpa alasan yang jelas.
Ringkas cerita Sawerigading kecil telah tumbuh menjadi dewasa. Keinginan
untuk memiliki pendamping hidup mulai bersemi dalam jiwanya. Sampai
suatu saat ia bertemu dengan saudara kembarnya. Rasa
cinta,
dan keinginan untuk saling memiliki tumbuh begitu saja saat pertama
kali Sawerigading menatap paras cantik saudara kembarnya. Karena sekian
lama dipisahkan, mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka berdua
adalah saudara kandung.
Ayahnya yang mengetahui bahwa Sawerigading telah jatuh cinta kepada saudara kandungnya sendiri tentu saja tinggal
diam. Ia segera memerintahkan Sawerigading untuk menghadap kepadanya. “Ketahuilah anakku, bahwa mengharapkan pandamping hidup untuk
saling
menentramkan hati bukanlah hal yang keliru. Tapi merupakan satu
pantangan terbesar dalam adat istiadat kita, jika menjadikan saudara
kandung sendiri sebagai istri. Supaya kamu bisa mendapatkan pendamping
hidup yang tidak menyalahi adat istiadat kita, besok pagi-pagi benar,
berangkatlah kamu ke hulu sungai untuk menebang kayu Balandae. Dengan
kayu itu buatlah kapal untuk membawa kamu berlayar ke negeri cina untuk
meminang sepupumu yang bernama Cudai.
Esok paginya, saat matahari baru saja nampak di ufuk, berangkatlah ia
menuju hulu sungai untuk menebang kayu Balandae, sebagaimana yang
perintahkan oleh ayahnya. Sebenarnya ia tidak terlalu setuju dengan
perintah ayahnya, akan tetapi semua itu dilakukannya karena takut dengan
kemurkaan ayahnya.
Ditengah perasaannya yang dirundung duka karena tidak diperbolehkan
mempersunting saudara kandungnya, rupanya pohon Balandae yang
ditembangnya tidak juga tumbang, padahal pangkal dan batang pohon
tersebut telah terpisah. Perasaan sawerigading semakin tidak menentu.
Kebingungan dan kekesalan silih berganti berkecamuk dalam batinnya.
Sebagai seorang saudara kembar, perang batin dalam diri Sawerigading
turut dirasakan oleh saudara kembarnya. Tanpa sepengetahuan
Sawerigading, berangkatlah saudara kembarnya untuk menembang pohon
Balandae. Ajaib, dalam satu kali tebasan, pohon yang memang sudah
terpisah pangkal dan batangnya itu langsung tumbang ke tanah.
Keesokan harinya, betapa terkejutnya Sawerigading saat melihat bahwa
pohon Balandae yang tak kunjung bisa ditumbangkannya kini telah berubah
menjadi perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera. Tapi ia tidak
ambil pusing untuk mengetahui siapa yang telah membantunya membuat
kapal. Baginya kapal telah siap didepan mata, tidak ada gunanya
memikirkan siapa yang membuat, satu hal yang pasti bahwa ia harus segera
pulang untuk menyiapkan perbekalan untuk dibawa berlayar ke
negeri cina.
Hari pemberangkatanpun tiba. Sawerigading segera berlayar mengarungi
samudera luas. Berbagai rintangan dihadapinya dalam perjalanan. Dari
gangguan alam seperti badai dan ombak sampai gangguan manusia yang
berniat merompak kapal yang ditumpangi Sawerigading.
Berkat izin yang kuasa, segala gangguan dan rintangan yang didapatinya
dalam perjalanan bisa dihadapi dengan baik oleh Sawerigading. Dan
sampailah setelah berlayar beberapa
lama, sampailah Sawerigading ke kerajaan cina.
“Angin apa gerangan yang membuat anakda jauh-jauh meninggalkan tanah
kelahiran menuju daratan cina ?” tanya pamannya saat Sawerigading
menghadap.
“Jika jodoh bisa datang tanpa dicari, mungkin anakda sampai saat ini
masih menginjak tanah yang sama dengan tanah tempat anakda dilahirkan,
tetapi karena jodoh ha rus dijemput, maka maksud kedatangan anakda
kesini adalah untuk meminang putri paman raja.” ucap sawerigading
mengutarakan maksud kedatangannya.
Mengetahui bahwa maksud kedatangan Sawerigading, adalah untuk melamar
putrinya. Raja terdiam sejenak. Terlihat ia memikirkan sesuatu,
sedangkan Saweringading hanya bisa menanti dengan perasaan cemas.
Akhirnya Raja memerintahkan untuk memanggil Cudai, putrinya, untuk
segera menghadap.
“Dari tanah Sulawesi yang jauh, Sawerigading yang merupakan saudara
sepupumu berniat untuk menjalin tali kekeluargaan yang lebih dekat lagi
dengan kita yang ada di negeri cina. Ayahanda tahu, bahwa dalam hidupmu
kamu pasti memiliki mimpi, begitupun halnya dengan Sawerigading. Dan
ketahuilah bahwa dunia ini terlalu luas, manusia tidak akan mampu untuk
merealisasikan mimpinya seorang diri. Maukah kamu membantu Sawerigading
menggapai mimpinya dan sekaligus membiarkan Sawerigading melumuri
tangannya dengan usaha untuk membantumu mencapai mimpi ?” tanya Raja
kepada Cudai.
Cudai yang saat itu bersimpuh di samping ayahnya berusaha untuk semakin menundukkan pandangannya. Ia kelihatan malu-malu.
“Ayahanda, bagi seorang putri seperti anakda, keinginan ayahanda juga
merupakan keinginan anakda, karena anakda yakin bahwa apapun yang
ayahanda inginkan pasti demi kebahagian anakda.” Ucap Cudai dengan nada
suara malu-malu.
Mendengar bahwa Cudai bersedia untuk dipersunting oleh Sawerigading,
perasaan raja sangat bahagia, karena ia tidak ingin membuat hati
keponakannya kecewa, pun ia tidak ingin memaksakan keinginan kepada
putri yang dicintainya. Tapi lebih dari itu semua perasaan Sawerigading
lebih berbahagia, karena lamarannya diterima.
Pesta pernikahanpun digelar dengan meriah. Seluruh rakyat ikut merasakan
kebahagian kedua mempelai yang juga berarti semakin mempererat hubungan
kekeluargaan antara keluarga Sawerigading di Sulawesi dan keluarga
Cudai di negeri Cina.
Setelah bertahun-tahun menetap di negeri cina, akhirnya pasangan
suami-istri tersebut dikarunia seorang anak yang diberi nama La Galigo.
Tapi saat La Galigo masih bayi. Sawerigading memutuskan untuk kembali
ketanah kelahirannya, Sulawesi.
La Galigo kini mulai tumbuh tidak hanya menjadi pemuda yang gagah
perkasa tapi juga cerdik cendekia dan bijak bestari. Saat La Galigo
dewasa meminta izin untuk menemui ayahnya di tanah Sulawesi, ia dititipi
oleh ibunya seekor ayam jago.
Ditanah Sulawesi, berkembang permainan adu ayam. Diantara mereka,
terdapat seekor ayam aduan yang tak tertandingi. Bahkan beberapa ayam
yang menjadi lawannya harus terkelapar mati. Pemilik ayam tersebut tidak
lain adalah Sawerigading.
Suatu saat, sampailah La Galigo ke tanah sulawesi. Saat melihat ada
orang yang sedang mengadu ayam, La Galigo segera menghampiri tempat
tersebut. Sawerigading yang melihat ayam jago di tangan La Galigo
kemudian berkata dengan suara lantang. “Wahai anak muda, bawalah kemari
ayam yang ada ditanganmu itu. Biarkan ia merasakan tajamnya taji ayam
jago milikku.”
Mendengar kalimat tersebut, La Galigo hanya tersenyum. Ia berniat
memberi pelajaran pada orang yang terdengar angkuh tersebut. Ia pun
memenuhi permintaan Sawerigading. Tidak berapa lama, kedua ayam tersebut
terlibat dalam perkelahian yang sengit. Sampai suatu ketika ayam jago
milik Sawerigading berlari meninggalkan arena aduan, lantaran tidak kuat
lagi merasakan sakit.
Mengetahui ayam milik Sawerigading kalah, betapa terperanjatnya
orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, terlebih lagi Sawerigading.
“Wahai anak muda, dari mana gerangan ayammu berasal ?” tanya
Sawerigading. Kali ini nada bicaranya tidak lagi menyiratkan
kesombongan, bahkan terkesan ada perasaan malu bercampur keheranan.
“Ayam saya berasal dari negeri Cina. Saya ke Sulawesi untuk mencari ayah
saya.” Jelas La Galigo. Sawerigading kembali terkejut. Batinnya
berkecamuk hebat. Pikirannya tiba-tiba melayang kepada anak dan istrinya
yang ditinggalkan di negeri Cina.
“Siapa gerangan nama ayahmu itu anak muda ?” tanya Sawerigading lagi. Ia
semakin tidak sabar untuk mengetahui identitas lawan bicaranya.
“Nama saya La Galigo, Ayah saya bernama Sawerigading dan Ibu saya bernama Cudai.” Jelas La Galigo.
“Tidak sia-sia perjalananmu, menempuh terjangan badai, mengarungi
samudera luas dan menghadapi gelombang bahaya, karena ayah yang kamu
cari adalah orang yang sekarang berdiri didepanmu. Sayalah Sawerigading
yang kamu cari itu.” Ucap Sawerigading.
Mereka berduapun saling berpelukan. Setelah pertemuan itu, La Galigo dan
Sawerigading sepakat untuk mengajak Cudai tinggal bersama mereka di
tanah Sulawesi. Dan Menjadi cikal bakal nenek moyang suku bugis makasar
dan Luwu..
Sumber