Mereka tertawa bersama-sama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup senyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah symbol licinnya tanjakan. Pagi itu senyum karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.
Memang karyamin telah berhasil membangun fatamorgana kemenangan dengan senyum dan tawanya. Anehnya, karyamin merasa terhina oleh burung paruh udang yang bolak-balik melintas di atas kepalanya. Suatu kali, karyamin ingin membabat burung itu dengan pikulannya. Akan tetapi, niatnya itu diurungkan karena karyamin sadar, dengan mata berkunang-kunang dia tak akan berhasil melaksanakan maksudnya.
Jadi, karyamin hanya tersenyum, lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian karyamin berjalan menaiki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, saidah sedang menggelar dagangannya nasi pecel. Jakun karyamin turun naik, ususnya terasa terpilin.
“masih pagi kok pulang,min?” Tanya saidah. “sakit?”
Karyamin menggeleng dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat. Saidah mendengar suara keruyuk dari perut karyamin.
“makan, min?”
“Tidak, beri aku minum saja. Lenganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”
“iya, min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?”
Karyamin hanya tersenyum sambik menerima segelas air yang disodorkan oleh saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan karyamin terus ke lambungnya.
“Makan, ya min? aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?”
Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang demikian sibuk pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah dimana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jadi berterbangan dan beberapa diantaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu sekali saja menentang arus karena dorongan angin.
“jadi, kamu sungguh tak mau makan, min?” Tanya saidah ketika melihat karyamin bangkit.
“tidak, kalau kamu tak tahan melihat orang lapar, aku pun tak tega melihat lenganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.”
“Iya min, iya, tetapi…?”
Saidah memutus kata-katanya sendiri karena karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi saidah masih sempat melihat karyamin menolehkan kepalanya sambil tersenyum, sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya karyamin menyeru-nyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.
Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata karyamin menangkap sesuatu yangbergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, Si paruh udang. Punggung biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan perutnya merah saga. Tiba- tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecikap. Dengan mangsa diparuhnya, burung itu melesat melintas para pencari batu, naik menghindari rumpun gelangan dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada asa iri hati karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.
Sesungguhnya karyamin tidak tahu betul mengapadua harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, karyamin ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur lantaran bisul di puncak pantatnya. “oleh karena itu,apa salahnya au pulang buat menemani istriku yang meriang.”
Karyamin mencoba berjalan lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang menyerbu ke dalam rongga matanya. Setelah melintasi titian, karyamin melihat sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihat bekas gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging kerika karyamin harus menempuh sebuah tanjakan tak mengapa, karena dibalik tanjakan itulah rumahnya.
0 komentar:
Posting Komentar