Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Desember 2014

Legenda : Telaga Moyang Manis (Belitung)

Hijau dedaunan tampak menatap ragu. Dahan pohon melambai-lambai lesu tertiup angin. Tanah terlihat retak dan kering. Sumber-sumber mata air sepi dari jamahan penduduk, karena airnya kering kerontang. Tanpa disangka dan diduga musim kemarau kali ini datang lebih awal dari biasanya. Tak hanya itu musim kemarau ini terjadi sangat panjang.  Alhasil air di sungai, rawa-rawa, atau sumur menjadi lebih cepat kering.
Seluruh penduduk di Pulau Belitung kesulitan mendapatkan air. Tak terkecuali dengan penduduk di Kelekak Pancor. Satu-satunya sumber air yang tidak pernah kering hanya ada di antara dua bukit yang jaraknya lebih kurang 13-14 km dari tempat itu. Tempat itu bernama Selangan Libot (selangan = antara ; libot = dua bukit).
Meskipun jaraknya cukup jauh dari Kelekak Pancor penduduk tetap berbondong-bondong berjalan kaki ke Selangan Libot untuk mengambil air. Penduduk silih berganti menuju mata air itu, dari pagi buta hingga malam hari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
*************
“Aku haus, aku haus ingin minum tapi tidak ada air” Manis berkata disela-sela tangisannya sambil meraung-raung.
 Tangisan Manis yang cukup keras terdengar oleh saudaranya Tuk Pancor. Tuk Pancor yang tengah berada di ladang segera berlari ke rumah untuk mengetahui apa yang tengah terjadi. Ketika tiba di rumah alangkah terkejutnya Tuk Pancor karena melihat Manis, saudaranya yang paling kecil tengah menangis kehausan di halaman depan rumah mereka. Tuk Pancor lalu mendekati Manis dan berusaha menenangkannya.
“Sabar Manis, tunggu lah sebentar lagi Nek Pancor pulang dari Selangan Libot mengambil air” dengan penuh kasih sayang Tuk Pancor membujuk Manis seraya mengelus-elus kepalanya.
“ Di mana-mana tidak ada air, aku ingin minum” jawab manis sambil terus menangis.
Meskipun Tuk Pancor sudah berusaha keras menenangkan Manis, tapi dia menangis semakin menjadi-jadi. Tuk Pancor tidak tega melihat Manis yang terus menangis karena lelah dan kehausan. Seketika itu pula, Tuk Pancor mengambil tempat air dan  bergegas menuju Selangan Libot untuk mengambil air.
Musim kemarau memang selalu hadir dengan berbagai suka citanya. Ada yang merasa kesusahan saat musim kemarau tiba, karena kesulitan mencari air. Di sisi lain ada yang merasa agak nyaman saat beraktifitas di luar rumah tanpa takut kehujanan. Apalagi sebagian besar penduduk Kelekak Pancor bekerja di ladang.
Cuaca yang panas di siang hari saat musim kemarau, memang membuat banyak orang beraktifitas di luar rumah. Orang-orang dewasa pergi untuk berladang atau melakukan pekerjaan rumah lainnya, sementara anak-anak menjadi semakin girang bermain di luar rumah. Kebanyakan anak-anak berkumpul bersama teman-temannya lalu bermain bersama-sama. Hari itu pun Manis pergi bermain bersama teman-temannya sejak pagi hari. Mereka bermain sangat asyik hingga tak menyadari matahari perlahan mulai meninggi dan bersinar semakin terik. Ketika semakin lelah, Manis pun merasa kehausan. Dia lantas pulang ke rumah dan langsung menuju tempayan tempat menyimpan air. Karena tak menemukan setitik air pun, dia terus mencari ke seluruh penjuru rumah untuk melepas dahaganya. Malangnya, Manis tidak menemukan air di rumahnya. Akan tetapi Manis tak kehabisan akal, dia lalu menuju rumah tetangganya untuk meminta air. Hingga lelah mencari Manis tak kunjung menemukan air. Rasa lelah dan haus yang semakin menjadi-jadi membuatnya menangis meraung-raung.
Sepeninggalan Tuk Pancor yang pergi menuju Selangan Libot, Manis terus menangis dan meratap kehausan. Cuaca pun semakin panas karena hari semakin siang. Matahari telah mencapai ketinggian maksimal di singgasananya. Di tengah gumpalan awan-awan putih yang berarak matahari semakin ganas memuntahkan panasnya ke bumi. Manis terus menangis sambil menghentak-hentakan kakinya ke tanah. Semakin haus semakin bertambah keras pula hentakan kakinya ke tanah.
Sementara itu Tuk Pancor berjalan tergesa-gesa dan setengah berlari sambil membawa tempat air. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Rasa lelah sudah pasti dirasakannya. Akan tetapi karena teringat Manis yang tengah kehausan menunggunya, semua kelelahannya seakan tak berarti apa-apa. Saat itu yang ada di benaknya hanyalah satu hal, yaitu sesegera mungkin tiba di Selangan Libot mengambil air untuk Manis dan kembali ke rumah. Di tengah perjalanan Tuk Pancor beberapa kali berpapasan dengan penduduk yang juga mengambil air dari Selangan Libot.
Di halaman depan rumah mereka, Manis terus menangis sembari menanti Tuk Pancor yang pergi mengambil air untuknya. Saat itu rasa hausnya sudah tak tertahankan lagi dan kian memuncak. Tanpa sadar dengan hentakan kakinya Manis telah mengerok tanah semakin dalam. Saat itu juga Manis meratap sambil tangannya menunjuk ke arah tanah tempat dia menghentakkan kakinya,
“apakah saya masih diberi kesempatan untuk hidup, maka keluarkanlah air dari tempat ini” . 
Dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, serta merta terjadilah keajaiban. Pada saat itu juga keluarlah air yang jernih dari tempat itu. Manis bersorak kegirangan dan minum sepuasnya.
Setelah tempat air yang dibawanya terisi penuh, Tuk Pancor segera bergegas kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin menemui Manis dan memberikan air yang dibawanya.  Sepanjang perjalanan Tuk Pancor tersenyum membayangkan wajah Manis yang kegirangan karena akhirnya mendapatkan air. Segala rasa lelah sepanjang perjalanan seakan terbayar dengan hal itu. 
Air dari dalam tanah itu memancar semakin deras. Manis semakin kegirangan dan terus minum hingga hausnya tak terasa lagi. Dari kejauhan terlihat Tuk Pancor terengah-tengah karena berlari mengambil air untuk Manis. Dia tidak tega melihat saudaranya tersiksa kehausan, karena ketika ditinggalkannya tadi Manis sudah sangat letih. Namun ketika sudah dekat dengan rumahnya Tuk Pancor tidak lagi mendengar suara tangisan Manis. Saat semakin dekat dengan rumahnya, Tuk Pancor semakin terheran-heran karena Manis tidak lagi menangis. Manis terlihat segar bugar dan telah bermain dengan riangnya, tidak terpancar sedikitpun keletihan di wajahnya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi ternyata Manis bermain dengan air.
Menyaksikan hal tersebut Tuk Pancor segera menghampiri Manis. Tuk Pancor segera menanyakan bagaimana cara Manis mendapatkan air serta berusaha melarang Manis bermain air karena saat itu air sulit di dapat.
“Manis bagaimana kamu bisa mendapatkan air? Bukankah tadi kau menangis karena kehausan? Lantas jangan kau buang-buang begitu saja air ini, karena saat ini kita semua tengah kesulitan untuk mendapatkan air”  Tuk Pancor bertanya dengan masih diliputi rasa heran.
“Air ini dari dalam tanah” jawab Manis dengan polos.
Manis semakin girang dan terus bermain dengan air itu. Sementara Tuk Pancor semakin bingung dan heran mendengar jawaban Manis. Maka dia pun kembali bertanya kepada Manis.
“Manis sayang, bisakah kau ceritakan bagaimana air ini bisa muncul dari dalam tanah?”
“Tadi sambil menangis aku menghentak-hentakkan kakiku ke tanah, semakin lama semakin keras kuhentakkan kakiku karena semakin lelah dan haus aku berdoa meminta air dari dalam sini”
Manis menjawab seraya menunjuk ke tanah yang saat ini memancarkan air.
Mendengar jawaban Manis, Tuk Pancor pun merasa lega bercampur heran. Semakin lama, sumber air itu semakin memancarkan air dengan deras.
Sejak saat itu penduduk di Kelekak Pancor tidak lagi kesulitan menempuh jarak jauh untuk mendapatkan air. Mereka merasa senang karena kebutuhan sehari-harinya terpenuhi.
Hingga saat ini sumur tersebut dikenal dengan nama Telaga Moyang Manis. Sumur itu merupakan tanah cekung bekas galian yang besar, garis tengahnya kira-kira dua meter dan dalamnya kira-kira enam puluh sentimeter. Letaknya tidak jauh dari Sungai Pancor atau sungai tempat Tuk Pancor mendarat untuk pertama kali di daerah itu.  

Selasa, 29 April 2014

Amplop

http://www.daeindologistics.com/ImageArtikel/Bolehkah%20Wartawan%20Terima%20Amplop.jpg
Akhir-akhir ini, bu Kusnadi paling senang melihat amplop. sebab amplop yang dibawa pulang suaminya selalu identik dengan rezeki. Berkat amplop, kasur yang keras bisa diganti dengan yang empuk. Berkat amplop pula alat-alat dapur jadi lengkap dan bermerk. Masih karena amplop, bu Kus panggilan akrab bu Kusnadi sekarang tidak minder lagi bila kumpul dengan rekan-rekan arisannya sekompleks. Ya, syukur kepada amplop lah !.

Seingatnya, pak Kus sering membawa pulang amplop semenjak diangkat jadi kepala sekolah. Sebelumnya, hampir lima belass tahun jabatan suami tersayangnya itu hanya sebagai guru biasa, mengajar bahasa Inggris di SMA itu. Amplop yang dibawa pulang adalah amplop gaji bulanan semata. Penghasilan sampingan dari memberi les, Itu pun jumlahnya tidak banyak. Tapi sejak jadi kepala sekolah, ada saja para orang tua murid yang "Bermurah Hati" memberi amplop. Tetapi umumnya selalu di embel-embeli dengan pesan: Tolong anak saya diperhatikan ya, pak !

"Bu, apa Bapak tidak takut di PHK ? siapa tahu ada yang lapor pada pemilik yayasan," ujar Jodi, anak tunggal Bu Kus yang sedang di rumah karena libur semesteran. Ia kuliah di Jawa Tengah di Fakultas Kedokteran sebuah PTS bergengsi. Tubuhnya tinggi dan kurus, berkaca minus dan berpenampilan low profile. 

"Bapakmu tidak bodoh, Jod." Sahut Bu Kus sambil lalu.
"Hanya dua atau tiga guru yang tahu. Mereka tidak mungkin membocorkan rahasia karena ikut makan hasilnya."
"KKN ?"
"Apa pun sebutanmu, yang penting amplop!"

Bu kus jadi kurang berkosentrasi membaca. Jodi bawel amat pagi ini. Main kritik lagi. Tidak tahukan bahwa biaya kuliahnya kini telah memeras orang tua?

"Perilaku semaca itu nggak baik, bu Melanggar ajaran Tuhan . . . "
"Cukup, Anak Baru Gede !" penggal Bu Kus tersinggung.
"Kau memang pintar berteori tapi kenyataan hidup ? Hanya seujung kuku yang kau tahu !"
"Lo, Kok ibu bicaranya begitu ?"
"Kau sendiri ngomong seenak perutmu. Sekarang dengar, ya. Ibu akan jelaskan. . . ."Bu Kus mengatur napas sebentar," Uang bulananmu saja menghasilkan separo gaji murni bapakmu. Sisanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari. Untuk belanja, bayar tagihan listrik, telepon, air. . . tanpa amplop-amplop itu kita bisa apa? Kepala ibu bisa pecah kalau tidak ada mereka!"

Bu Kus membanting majalahnya. Ditinggalkannya Jodi sendirian di ruang tamu. Mending ke pasar, belanja untuk hari ini, pikirnya menghibur diri.
Amplop datang lagi. Dari wali murid kelas 2, minta anaknya dicarikan guru les. Nilai raport semester pertamanya amat kurang. Pak kus dan ibu menyambutnya dengan ramah. Jodi tak berani adu argumen lagi. Biaya kuliahnya memang tidak sedikit minta orang tua hidup sederhana juga sia-sia. Malah kena semprot bundanya seperti yang sudah-sudah. Ia hanya punya tekad teguh ; Belajar dengan tekun dan bersungguh-sungguh agar cepat lulus. Cepat jadi dokter yang hebat lagi jujur tak seperti bapaknya yang doyan suap.

Seorang pengusaha rotan berani memberi cek mana kala anak sulungnya terancam dikeluarkan dari sekolah. Anak itu kedapatan hamil oleh petugas UKS. Peraturan SMA itu sudah jelas. Jika selama masa studi ada yang "Kebobolan", siswa tersebut harus mengundurkan diri demi menjaga nama baik sekolah dan seluruh komponennya.

"Nama baik sekolah ?" bantah Pak Kus, ketika diadakan rapat guru, Membicarakan anak itu. "Mana yang lebih penting, dua nyawa melayang sekaligus, atau nama baik sekolah yang bisa diupayakan dengan banyak cara ?" Soalnya anak itu mengancam bunuh diri bila dikeluarkan dari sekolah sebelum mengikuti UAN.
"Lagipula, anak itu juga telah dinikahkan !" Terdengar dukungan dari antek-antek Pak Kus, "Jadi statusnya jelas, yaitu ia kini sebagai seorang istri." Jelasnya lagi.
"Saya setuju anak itu diberi kesempatan," tambah kroni Pak Kus yang lain, "UAN tinggal dua minggu lagi. Kandungannya  pasti belum nampak besar. Kita pertimbangkan sisi manusiawinya saja."

Debat berhasil dimenangkan kubu Pak Kus. Anak pengusaha rotan yang salah gaul itu tak jadi dikeluarkan. Ia diizinkan mengikuti UAN. 

Rupanya si pengusa rotan keranjingan main amplop. Beberapa waktu kemudian ia datang lagi, mintap pada pak Kus agar anak bungsunya dijadikan juara pertama untuk kenaikan kelas nanti.
"Bisa kan, Pak Kus ? orang semester kemarin saja anak saya sudah rangking dua. Tentu bukan hal yang sulit bapak untuk menjadikannya rangking pertama."
"Anak Bapak bernama Astuti . . ." dahi Pak Kus berkerut !
"Ya benar !" sambut pengusaha rotan antusias. "Astuti Setyorini Nawangsih, Kelas 2A Nomor absen 19. Pak kus menarik napas. "Ya bisa saja," katanya menjajikan "Itu bisa diatur". Di benak pak Kus sudah dirancang satu rencana. Permainan nilai bahasa inggris. Anak itu, yang bernama Astuti Setyorini Nawangsih, harus diberi nilai sembilan sedangkan rivalnya yang bernama Pertiwi cukup diberi nilai enam. Ya tinggal menghubungi si Karyo saja.

"Oke Pak! kalau begitu saya permisi. Dan ini. . . . " Pengusaha rotan menyerahkan amplop sebelum pergi "Buat jalan-jalan ke luar negeri sama Ibu"
Pak kus menahan napas. "Jalan-jalan keluar negeri ? Siapa tolak?"

Pak karyo adalah tangan kanan pak kus yang cepat tanggap dengan penejelasan bosnya. Sebulan  sebelum kenaikan kelas kelas, ia begitu sensitif memberi ulangan pada anak-anak baik lisan maupun tulisan. Jika lisan astuti diberi soal yang mudah-mudah. Sebaliknya, pertiwi diberi soal yang maha sulit sehingga tak mampu menjawab dengan benar.

Hari yang ditunggu telah tiba. Skenario mereka berjalan mulus. Astuti berhasil menduduki peringkat pertama sedangkan pertiwi peringkat kedua. Sorak sorai buat Pak kus dan kawan kawan, tangis duka bagi pertiwi yang mengandalkan beasiswa untuk kelangsungan studinya.

"Tenang wik. Aku akan melakukan sesuatu untuk menolongmu," janji Astuti pada dirinya sendiri.

Keesokan harinya di meja makan, Astuti protes kepada papanya. "Kenapa papa menyuap pak kus? Jangan dikira astuti senang dengan gelar konyol ini. Papa ngerti nggak? juara pertama tapi hasil rekayasa. . . .  apa istimewanya?"
"Kau ini bicara apa?" tanggap pengusaha rotan dengan nada datar. "Pagi-pagi sudah ngomong ngawur. Ada apa sih?"
"Maksud kamu apa sih?"
"Ah, papa jangan bersikap begitu deh, pura-pura nggak ngerti. Teman-teman Astuti juga tahu. Pak karyo tidak adil memberi nilai bahasa inggris pada pertiwi. Dan astuti yakin banget, siapa guru matre itu. Dia ajudannya pak kus, kan? dan pak kus melakukannya atas amplop dari papa?!"

Pengusaha rotan itu berhenti mengunyah roti tawar di mulutnya. Tajam sekali analisis anak ini. Pintar seperti aku dan baik serta jujur seperti almarhum mamanya. Tidak seperti kakanya yang bebal dan kurang didikan itu!

"Astuti malu sama teman-teman, Pa"
"Ah yang penting hitam diatas putih, kaulah juaranya"
"Walaupun hasil main curang?"
"Hasil main uang, sayang . . ."
Gantian Astuti yang berhenti mengunyah
"Papa. Apa maksudnya?"
"Di dunia ini, uanglah yang berkuasa," jelas pengusaha rotan "Kehormatan, kedudukan, pangkat. . . . semuanya bisa diatur dengan uang!"
Astuti menggeleng. "Nggak ah! Astuti nggak setuju sama teori papa. yang jelas, kita sudah merugikan pertiwi. Kasihan dia. Beasiswa itu amat berarti baginya"
"Prestasimu juga sangat berarti bagi papa." Pengusaha rotan tak mau mengalah. "Setelah perbuatan kakakmu mencoreng muka papa, biarlah kamu yang jadi penyeimbangnya. Mengerti ?"
"Tapi, pa. . . ."
"Sudah, jangan debat omongan papa lagi! papa mau berangkat ke kantor." Pengusaha rotan meninggalkan meja makan setelah mencium sekilas kening putri kesayangannya itu. Sedangkan Astuti meratap pelan," Mama. . . . andai saja penyakit laknat itu tidak merenggut nyawa mama. . . . keluarga tak akan begini jadinya."

Untuk kesekian kalinya pak kus menyerahkan amplop pada bu Kus. kening, wanita bertubuh semampai itu tampak berlipat melihat amplop ada tulisannya. "O, undangan makan malam," ujarnya setelah membaca secarik kertas dari dalam amplop itu. " Dari pemilik yayasan . . . pukul tujuh tepat. Wah, rumahnya di kawasan elit ini!

Hanya helaan napas yang terdengar. Berat dan panjang. Pak Kus gelisah sejak tadi. Perasaannya campur aduk. jangan- jangan pemilik yayasan tahu kalau dirinya suka menerima amplop dari orang tua murid. Jangan-jangan pemilik yayasan akan menegurnya, mencopot jabatannya. . . bahkan tak mustahil memecatnya ! sebab orang nomor satu di sekolah terkenal tegas, disiplin, dan mengagungkan kejujuran dalam hidupnya. Walaupun kehadiran sosoknya di sekolah amat jaran, hal ini bukanlah rahasia lagi. Tapi soal amplop, informasinya dari siapa? Bukankah baru dua hari yang lalu beliau kembali dari jepang ? Siapakah yang berani mengganggunya?

"Pak, dari tadi ditanya kok diam saja?"
 "Saya lagi mikir, bu. untuk apa pemilik yayasan mengundang kita malam?"
"Ya jelas untuk ramah tamah, dong ! bukankah beliau selama ini nyaris tak pernah muncul di sekolah ? waktu bapak diangkat jadi Kepala Sekolah saja, beliau hanya sempat muncul seperempat jam lalu terbang kembali ke tokyo. Benar, kan?"
Pak kus mengangguk-angguk. Kata-kata bu kus sedikit menenteramkan hatinya.

Sambutan pemilik yayasan dan istri amat melegakan hati pak kus dan ibu. Ramah dan bersahabat. Selama makan malam berlangsung, beliau juga tidak menyinggung-nyinggung soal amplop. So, everything is fine ! sorak pak kus dalam hati.

Selesai makan, pemilik yayasan mengajak santai di ruang tamu. Bu kus membantu istri pemilik yayasan membereskan meja makan. Kebetulan pembantu sedang tidak ada. menurut istri pemilik yayasan, asih pulang ke desa karena ibunya sakit keras. Kanti minta izin pulang karena hendak menghadiri pesta perkawinan adiknya yang paling kecil. Sedangkan sayem diberhentikan karena tidak jujur, mengorup uang belanja selama ditinggal ke luar negeri. "Jadi maaf ya, Bu Kusnadi. kita harus repot begini," ujar istri pemilik yayasan dengan tutur katanya yang lembut sopan dan tenang.

Di ruang tamu, Pak kus terlibat basa basi dengan pemilik Yayasan. Ia menolak ketika ditawari rokok. "Maaf, pak. Nyuwun sewu, saya tidak merokok."
Pemilik Yayasan mengganguk dan tersenyum. "Salah satu kelemahan saya adalah mentaati tata cara hidup sehat." kata beliau jujur.
Sebaris asap melayang di udara. Dalam hati pak kus sempat mengejek. Ah, cuma asap yang tidak beraturan. Saya bisa membentuk asap jadi barisan lingkaran yang spektakuler !
Hening sejenak.

"Pak kus punya siswi yang bernama Astuti?"
Jantung pak kus nyaris copot mendengar pertanyaan pemilik Yayasan yang terdengar begitu tiba-tiba. "As. . .titi, Pak?" ucapannya tak lancar.
"Ya, Astuti Setyorini Nawangsih," Pemilik yayasan memperjelas kata katanya.

Pak kus jadi begitu sibuk mengatur detak jantungnya. Tak satu pun ucapan yang keluar dari bibirnya yang gemetaran. Mengapa dia menanyakan Astuti ? Apa hubungannya dengan anak Pengusaha Rotan itu ?
"Dia anak bungsu adi saya, pengusaha rotan yang konyol itu," Kata pemilik yayasan, seolah tahu apa yang ada dipikiran lawan bicaranya. "Astuti mengadu pada saya, Papanya gemar kirim amplop ke sekolah kita !"

Pak kus semakin terpuruk. Jangankan berusaha bela diri, sekedar berkelit pun tak bisa. Rupanya kesempatan itu digunakan pemilik yayasan untuk menuntaskan apa yang hendak disampaikan sejak kemarin.
"Sekolah itu saya dirikan dengan tujuan yang amat jelas, mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas, berbudi, dan cinta tanah air. Generasi penerus bangsa yang tangguh. Berani benar adik saya itu main sogok ! ketika saya damprat, ia mengejek saya, salah sendiri tidak memiliki anak buah yang jujur. Saya malu, Pak kus. Rupanya anda telah terkenal gampang menerima suap!"

Hanya terdengar tarikan dan hembusan napas.
Bu kus dan istri pemilik yayasan muncul untuk bergabung.
"Mari kita pulang, Pak !" ajak bu kus tanpa memperhatikan suasana yang mencekam. "Nanti kemalaman." dalam benak bu kus tersusun rencana muluk. Ingin punya cincin berlian seperti yang dipakai istri pemilik yayasan. Ruang olahraga, dan segudang keinginan lainnya yang di ilhami oleh kepunyaan istri pemilik Yayasan.
"Saya. . . . saya minta maaf, pak?" kata Pak Kus setelah mengumpulkan segenap kekuatannya. Suaranya lirih nyaris tak terdengar. Pemilik yayasan hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu katanya pada sang istri, "Bu tolong ambilkan amplop yang tadi sudah saya siapkan."
"Di laci meja kerja bapak?"
"Ya, benar."
"Baik pak, tunggu sebentar!"

Bu kus memandang pak kus. amplop berkat lagi ini. Berlian, alat olahraga. . .tapi kenapa wajah suaminya itu sangat pucat ?
"Ini buat pak kus," ujar pemilik yayasan setelah menerima amplop coklat dari tangan istrinya. Di sodorkannya di meja sambil mengatakan," Tahun depan, saya ingin pertiwilah yang jadi juara pertama, seperti seharusnya. Kasihan anak buruh pabrik yang pintar itu."

Bu kus segera merebut amplop ketika mereka telah berada dalam mobil. "Lucu sekali," katanya riang bercampur heran. "Pemilik yayasan ikutan main amplop supaya seorang anak dijadikan juara pertama. Dunia sudah gila rupanya.

Pak kus mengerem mobil secara mendadak. Nyaris menabrak anak kecil yang belajar bersepeda di ujung kompleks. Pikirannya begitu kusut. Ini pasti akhir dari karierku sebagai kepala sekolah. Akhir dari profesiku sebagai guru."
"Hati-hati dong, pak! protes Bu Kus sembari membuka amplop. Isinya segepok uang seratus ribuan dan selembar surat. "Ya, ampun ! banyak amat. dan surat ini . . ."
Pak kus menyandarkan kepalanya ke belakang, ke kursi mobil yang didudukinya.
"Ini. . .ini. . ." Wajah bu kus memucat, membaca isi surat itu. "Pemutusan Hubungan Kerja. . ."
Pak kus menelan ludah."Ya, itu amplop terakhir kita, Bu. Sungguh yang terakhir!"

Kepala bu kus terkulai di bahu Pak kus.
"Bu, bangun, bu ! bu. . .!"

Minggu, 27 April 2014

Cerita Humor Koplak Terbaru 2014


Bengkak Digigit Tawon

Seorang pasien yang hidungnya bengkak, mendatangi seorang dokter.

Dokter: "Tawon?"
Pasien: "Betul."
Dokter: "Hinggap dihidung?"
Pasien: "Benar."
Dokter: "Menyengat?"
Pasien: "Belum sempat tawon itu menyengat, sepupuku menghantamnya dengan sapu."

Bejo dan Emak

Bejo : mak..... emak sakit ya???
Emak : iya jo...
Bejo : hmm...kita ke dokter yuk...
Emak : mau bayar pake apa'an....kan duit kita udah tipis jo..
Uhukk...uhukk
Bejo : kita jual si tole(kambing) aja mak..
Emak : tapi kan tuh kambing kesayangan elu....
Bejo : kan bejo lbh sayang emak...
Emak : terserah elu aja dah...
Bejo : ya udah..bejo jual ke pasar ya mak...
Emak : iye...inget ya jo...tuh kmbing bandot..lu jual jutaan...
Jangan mau kalo ditawar murah..sayang....
Bejo : iya mak..bejo juga tau...kn bejo dah capek2 ngerawat...
Kalo gitu bejo pamit ya mak...
*berangkat jual kambing

Tak lama kemudian

bejo : mak...kambing kita laku..jutaan...
Emak : alhamdulillah....
Bejo : pertamanya dia cuma nawar 500rb mak..
Ihh enak aja...kambingnya ditawar murah bnget...kagak bejo kasih...
Emak : bagus tuh jo..emang pembeli jman sekarang maunya murah mulu'...terus... Lu jawab apa wktu dia nawar gitu...
Bejo : bejo bilang...pesan emak kambingnya mesti dihargai jutaan pak...
Gitu mak...
Alhamdulillah....setelah mikir lama...
Akhirnya dia mau juga....harga jutaan..
Bejo : Memang berapa jo dia beli tuh kambing???berapa juta???
Bejo : setengah juta mak...
Hebat kan...sesuai pesan emak..jutaan...gimana???puas mak???
Emak : #*@?&@#*-+???
semaput dadakan
Melawan Arus Jalan Satu Arah

Suatu ketika dalam perjalanan pulang kuliah, seorang mahasiswa salah melewati jalan. Jalan yang dia lewati adalah jalan satu arah. Awalnya dia tidak sadar, namun begitu polisi mendekati dan memintanya untuk menepi, dia baru sadar.

"Selamat siang Mas, Anda telah melanggar lalu lintas," kata polisi.

"Waduh Pak, saya pasti terlambat. Buktinya, orang-orang lain sudah pulang semua tapi saya baru mau berangkat."

Presiden bertanya

Bpk : "Sudah berapa lama jualan kue?"
Ibu : "Sudah hampir 30 tahun.
Bpk : "Terus anak ibu mana, kenapa tidak ada yang bantu?" ...
Ibu : "Anak saya ada 4, yang
ke-1 di KPK,
ke-2 di POLDA,
ke-3 di Kejaksaan dan yang
ke-4 di DPR, jadi mereka sibuk
sekali pak..."

Presiden kemudian
menggeleng-gele -ngkan kepala karena kagum...

Lalu dengan percaya diri Bapak Presiden
berbicara kesemua hadirin yang menyertai beliau, "Meskipun hanya jualan kue, ibu ini bisa menjadikan anaknya sukses dan jujur tidak korupsi...karen -a kalau mereka korupsi,
pasti kehidupan Ibu ini sudah sejahtera dan tinggal dirumah
mewah..."

Lalu sambil mengarahkan mike
yang sedang di pegangnya ,Bapak Presiden kembali
berbicara kepada wanita penjual kue tersebut ...
Bpk : "Apa jabatan anak di POLDA, KPK,KEJAKSAAN dan DPR?"

Lalu dengan polosnya sang wanita penjual kue tersebut itu berkata :"Sama... mereka berjualan kue juga disana ..."

Bpk : *Kejang2


Mobil Yang Mana ?

Seorang sopir pribadi sebuah keluarga mempunyai kebiasaan unik. Dia sering “bercinta” dengan pacarnya yang pembantu, si inem, yang pelayan seksi, di kolong mobil majikannya yang selalu diparkir di samping rumah.

Suatu malam, seperti biasa, dia sedang asyik indehoy dengan sang pembantu di kolong mobil. Baru 15 menit dia “kerja bakti”, ada orang yang menendang kakinya sambil berteriak,
“Parman, sedang apa kamu di situ?”
Si sopir yang bernama Parman sudah hafal betul itu suara majikan perempuannya. Dgn cuek dan mata tetap terpejam si Parman menyahut,

“Sedang betulin mobil, Nya”
Sekali lagi Parman ditendang kakinya, “Apa ? Sedang apa kamu!”
"Ya ampun, Nya! Saya lagi betulin mobil!” jawab Parman tetap konsen dengan kegiatannya.
Tapi lagi-lagi Parman ditendang kakinya. Kali ini sedikit lebih keras. “Kamu bilang lagi ngapain kamu !?”
“Astaga, Nyonya! Saya lagi betulin mobil!!!” Parman menyahut lebih keras nggak mau kalah.
Kata nyonya, “Betulin mobil yang mana ? Orang mobilnya udah dibawa ama bapak 5 menit yang lalu…..!”

Salah Solusi

Seorang dokter baru pulang ke rumah tengah malam, dan mendapati toiletnya mampet. Dia berkata kepada istrinya,

"Bu cepat telpon pak Bejo tukang langganan kita"
"Jam 2 pagi mau telpon tukang? Yang bener aja Pak!"
"Lha emang apa salahnya? Bapak juga sering dipanggil pasien jam segini"
Jadilah si ibu menelpon sang tukang, yang dalam pembicaraannya rada kesel karena mesti datang jam segitu. Si Ibu langsung mengatakan hal yang sama,
"Khan bapak juga sering dipanggil tengah malam gak papa, kenapa pak Bejo marah2?"
Pukul 3:30 sang tukang tiba dengan mata merah. Sang dokter langsung mengantarnya ketoilet yang mampet itu. Si tukang mengambil 2 butir tablet dari sakunya, menjatuhkannya ke dalam toilet dan berkata,
"Kalau tidak ada perubahan, telepon saya nanti siang!"
Mencuri di Bank

Seorang pencuri yang sangat ahli membobol bank dimana keahlian utamanya adalah memecahkan kode rahasia pintu lemari besi. Ia selalu bekerja sendiri tanpa dibantu anak buah atau asistennya. Suatu ketika, ketika ditengah malam memasuki sebuah bank yang baru 1 minggu dibuka.

Sebuah lemari penyimpanan dengan nomor pengaman yang paling canggih berhasil dibukanya. Namun ia sedikit heran, karena disana tidak terdapat uang sama sekali, melainkan cawan-cawan berisikan puding warna susu. Ruangannya pun dingin sekali. Akhirnya ia memutuskan untuk memakan puding-puding tersebut sebelum membuka lemari besi lainnya.

Karena lapar ia habiskan semua puding di lemari besi pertama. Lemari besi kedua berhasil dibuka, kembali ia temukan puding dalam cawan-cawan plastik. Seluruh lemari ada 5 unit, dan kesemuanya berisi puding, dan ia menghabiskan banyak sekali puding. Namun ia dengan kekenyangan pulang kerumah dan masih agak heran, kenapa bank itu tidak menyimpan uang sama sekali.

Atau mereka memang sudah mengetahuinya akan dicuri? “Aah biarlah yang penting aku kenyang” serunya.

Keesokan paginya dengan setengah mengantuk ia terbangun karena suara tukang koran memasukkan kedalam rumahnya melalui celah jendelanya. Sambil terkantuk ia membuka lembaran koran dan terpana melihat Head Line di halaman pertama dengan judul bertuliskan dengan huruf yang besar-besar. “BANK SPERMA KEBOBOLAN!”

Cerita Abu Nawas "Memindahkan Istana Ke Gunung"

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFX83hdBi7JrdYOhfEbr_Vrohh67H-rxaF5-hmhkgJDzXq_qCI64TQ8XuYAa2SYN_QS7hVNIprBKSz_kXVbUNOIw_Zsvxqjpizt3T4DnUfVKTEvm5JjQrnpNKEB99JyHbYezieinDDFgI/s1600/abunawas3.jpg
Baginda Raja baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang amat cerdik di negerinya.

Tanpa menunggu waktu Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda, "Abu Nawas kamu harus memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya Baginda sambil melirik reaksi Abu Nawas.

Abu Nawas tidak langsung menjawab. Ia sedang berpikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin dihukum. Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi, permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan. Abu Nawas pulang dengan hati masgul.

Di setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari ini. Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana. Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. Ia menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.

"Ampun Tuanku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti." kata Abu Nawas.
"Apa usul itu?"
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi."
"Kalau hanya usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu lagi Baginda..." Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda.
"Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin." kata Abu Nawas. "Usulmu kuterima." kata Baginda menyetujui. Abu Nawas pulang dengan perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung, ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.

Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas kemampuan Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pemah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya oleh Baginda Raja itu. Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini. Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan sholat Hari Raya Idul Qurban.

Dan seusai sholat, sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir miskin. Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja, "Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?"

"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat. Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. Ia berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar.

"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda Raja.

"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." kata Abu Nawas. "Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda masih diliputi perasaan heran.

"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan titah Paduka." Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.

Rabu, 16 April 2014

Cerita "Abu Nawas dan Ayam Panggang"

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2tD1X6MI1T64XkD8hrJi7tU1TlP905A8nYhuLV1fEWgajfLhXLsMb7LNXhbiJUF0epbELgF8vF2cZPVSOvaRKaHPxaDLPY3DSM0_bSlIv6DbU8zh6VvgnFxgrU2-WZOa_BU2IaSN_TVk/s1600/jadingemis-09-10-05f.jpg
Al kisah Abu Nawas dipanggil Sultan Harun al Rasyid. Sudah lama sultan dendam dengan Abu Nawas. Dia ingin membunuh Abu Nawas, tetapi tidak menemukan akal.

Suatu hari dia ingat, bahwa hobi Abu Nawas adalah makan ayam. "nah, ini dia..." Abu Nawas terus dipanggil, dengan disertai undangan kepada khalayak ramai, bahwa Abu Nawas dihukum mati karena kalah berteka-teki melawan sultan.

Pada hari yang ditentukan, Abu Nawas datang. Dia disodori ayam panggang. Air liurnya menetes keluar. Tetapi dia terkejut, melihat sultan dikelilingi algojo.

"Ada apa Sultan ? " tanya Abu Nawas kepada sultan.


"Abu Nawas, ayam panggang ini harus kau nikmati. Jika tidak, kau akan dihukum mati dengan tuduhan menghina sultan. Apapun yang kau kerjakan terhadap ayam itu, aku akan berbuat serupa terhadap kamu" kata sultan.

"Apa maksud sultan" tanya abu nawas penuh heran.

"Begini, jika kau makan leher, aku akan memotong lehermu. Jika kau maka dada, maka dadamu akan aku belah. Jika kau makan paha ayam itu, maka pahamu akan aku potong?" jawab Sultan.

Dengan penuh kebingungan, dalam hati Abu Nawas bergumam. "dimakan, aku mati. Tidak dimakan, aku mati juga"

Setelah beberapa saat merenung sembari memikirkan apa yang harus dilakukannya akhirnya, Abu Nawas mendapat dapat akal. Langsung saja seluruh tubuh ayam panggang itu dijilati, mulai dari kepala sampai ke liang dubur.

Setelah itu, Abu Nawas memelorotkan celananya sambil berkata "Sultan, saya siap menerima perlakuan yang sama dari Sultan". Sesaat itupula sultan terdiam, hadirin geger, tidak bisa membayangkan sultan akan menjilati seluruh tubuh abu nawas. 

Si Kabayan Dan Pak Ustadz

http://fc08.deviantart.net/fs70/i/2011/018/0/f/si_kabayan_by_blacklightzzz-d37h7h8.jpg
Si Kabayan seorang laki-laki yang beasal dari desa, telah lima tahun menuntut ilmu di negeri paman sam. Suatu hari… ia kembali ke desanya. Nyai Iteung (Istrinya) merasa heran dengan perubahan yang terjadi pada diri sang suami (Kabayan). Kabayan yang dulunya rajin shalat… kini ga pernah lagi terlihat pergi ke masjid “boro-boro ke masjid… shalat di rumahpun ga pernah”…Iteung penasaran dan menanyakan kepada sang suami kenapa dia menjadi berubah. “Kang Kabayan! Iteung mah ngerasa aneh sama akang!” Kata iteung heran

“Aneh kenapa atuh nyi!” Jawab kang Kabayan.
“Kenapa sekarang akang jarang shalat… jarang ngaji…. dan ga pernah pergi ke masjid!” tambah iteung.
“Sekarang saya punya keyakinan baru dari negeri paman sam sana iteung!” jawab Kabayan dengan nada tinggi.
“Astaghfirullah….! kenapa akang jadi begini?” Iteung sedih.
“Sudahlah Iteung… kamu bawa saja kiayi atau ustad paling hebat di kampung ini! dia pasti ga bisa jawab pertanyaan akang, dia pasti jadi pengikut akang” Kata Kabayan dengan sombong.

Iteung merasa khawatir… iapun bergegas memanggil ustad Asep, salah satu guru ngaji di kampung tetangga. Atas panggilan Iteung, datanglah sang ustad ke rumah si Kabayan.

“Anda siapa?” tanya kabayan.
“Saya ustad Asep, dari kampung sebelah”
“Benar kamu ustad? kalo benar kamu ustad… dan kamu percaya bahwa tuhan itu ada, kamu pasti bisa menjawab pertanyaan saya. Tetapi kalau tidak bisa… tinggalkan saja agamamu itu!” Kabayan menantang sang ustad…
“InsyaAllah… jika Allah mengijinkan saya akan menjawabnya.”
Kata ustad,
“Kamu jangan yakin dulu… di Amerika saja, waktu saya kuliah… Profesor paling pintar sekalipun tidak ada yang bisa menjawab” Hardik Kabayan dengan yakin.
“Kalau begitu… pertanyaan apa yang akan kang Kabayan tujukan pada saya?” Tanya ustad.
“Begini…

1. Kalau benar tuhan itu ada, tunjukan wujud tuhan kepada saya.
2. Kalau benar manusia mempunyai takdir, apa itu takdir dan tunjukan pula pada saya.
3. Setan itu kan diciptakan dari Api, lalu kenapa tuhan memasukan setan ke dalam neraka? bukankah neraka juga terbuat dari api? apakah setan akan merasa sakit dengan api? mengapa tuhan tidak berfikir sampai kesitu?”

“PLAK….” (itu gambaran saya tentang suara tamparan) tiba-tiba sang ustad menampar pipi Kabayan dengan keras.
“Aduh…. kenapa kamu menampar saya? kamu marah? kalau tidak bisa membuktikan jangan marah!” kata Kabayan

Sang ustad tersenyum. “Itu adalah jawaban dari ketiga pertanyaan akang”

Kabayan : “Kalau kalah jangan marah…”
Ustad : “Bagai mana rasa tamparan saya”
Kabayan : “Sakit!”
Ustad : “Akang percaya rasa sakit itu ada?”
Kabayan : “Saya percaya!”
Ustad : “Tunjukan wujud sakit itu pada saya”
Kabayan : “Saya tidak bisa menunjukan wujudnya”
Ustad : “Itulah jawaban pertanyan pertama anda. Sesungguhnya Tuhan itu ada namun manusia tidak akan mampu melihat wujudnya”
Ustad : “Apakah sebelum saya datang Akang berfikir akan merima tamparan dari saya hari ini?”
Kabayan : “Tidak!”
Ustad : “itulah yang dinamakan takdir…”
Ustad : “terbuat dari apa tangan saya?”
Kabayan : “Kulit…”
Ustad : “Terbuat dari apa pipi Akang?”
Kabayan : “Kulit juga.”
Ustad : “Bagaimana rasa tamparan saya?”
Kabayan : “sakit!”
Ustad : “Walaupun setan terbuat dari api dan neraka pun terbuat dari api… jika Tuhan berkehendak maka neraka merupakan tempat yang menyakitkan bagi setan”
Mendengar jawaban dari sang ustad… sikabayan terdiam.

Minggu, 06 April 2014

Ronggeng Dukuh Paruk

 
Tidak sulit membuat warta mau bertambang bila orang mau menyediakan setumpuk kata pujian baginya. Di antara sesame anak dukuh paruk, warta dikenal mempunyai suara paling bagus. Tembang kegemarannya juga menjadi kegemaran setia anak dipedukuhan itu, sebuah lagu duka yatim piatu. Orang takkan menemukan siapa-siapa pengubah lagu itu yang mampu mewakili nestapa anak-anak yang didunia tanpa ayah dan emak.
Lagu yang menjadi terkenal di Dukuh Paruk semenjak belasan anak kehilangan kedua orang tua akibat racun tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu.

    Beduk tiga dalam arsa guling
    Padang bulan kekencar ing latar
    Thengkuk-thengkuk lungguh dhewe
    Angine ngidid mangidul
    Saya nggreges rasaning ati
    Rumangsa yen wus lola
    Tanpa sanak tanpa kadang
    Urip sengsara tansah nandhang prihatin
    Duh nyawa gondelana

    (Pukul tiga dini hari, aku belum mau terlena
    Bulan menabur cahaya di halaman
    Selagi aku termangu seorang diri
    Angin yang berhembus ke selatan
    Membuat hati semakin merasa
    Beginilah awak yang telah sebatang kara
    Tiada Ayah-Bunda tiada sanak saudara
    Hidup sengsara selalu menderita
    Oh, nyawa bertahanlah kau di badan)

Warta sudah berates kali menembangkan lagu itu. Idak lagi tertarik akan makna liriknya. Hanya irama itu kiranya akan ditinggal abadi di hati. Warta dan anak-anak lain Dukuh Paruk. Selesai menembangkan lagu itu, warta menoleh kepadaku. Dia melihat aku mengerti bibir, dan mungkin aku berkaca-kaca.
“Lho ?” ujar Warta tak mengerti, “apa pula arti semua ini?”
“Tidak apa-apa, Warta. Percayalah, sahabatku, tak ada yang salah pada diriku.
Aku terharu. Suaramu memang bisa membuat siapapun terharu.”

Kukira warta memandangku dari belakang ketika aku berjalan meninggalkan. Aku tak peduli dan aku berjalan sepembawa kakiku. Perjalanan yang tanpa  tujuan membawaku sampai ke lorong yang menuju perkuburan Dukuh Paruh. Seharusnya, aku melangkah bila tidak kulihat seseorang berjalan merunduk-runduk di antara batang-batang puring. Srintil ! aku tak mungkin salah, dialah orangnya.

Tak tahu aku membuntutinya, Srintil terus berjalan. Langkahnya berkelok ke kiri, langkah Srintil lurus menuju cungkup makam Ki Secangmanggala. Kulihat Srintil jongkok, menaruh sesaji di depan pintu makam. Ketika bangkit dan berbalik, ronggeng itu terperanjat. Aku berdiri dua langkah di depannya

“He, kau, Rasus ?”
“Aku mengikutimu.”
“Aku disuruh Nyai Kartareja menaruh sesaji itu.”
“Ya, aku tahu.” Sambil berkata demikian, aku melangkah pergi. Tetapi, Srintil Menarik bajuku.
“Rasus, hendak kemana kau?”
“Pulang.”
“Jangan dulu. Kita bisa duduk-duduk sebentar di sini.”

Ternyata aku tak menolak ketika Srintil membimbingku duduk diatas akar beringin. Tetapim baik Srintil maupun aku lebih suka membungkam mulut.

Seekor serangga kecil akhirnya membuka jalan bagi permulaan percakapan kami. Nyamuk berlirik hinggap di pipi Srintil. Perutnya menggantung penuh darah.

“Srin, tepuk pipimu yang kanan. Ada nyamuk.”
“Aku tak dapat melihatnya.”
“Tentu saja. Tetapi, tepuklah pipi kananmu agak ke atas, pasti kena.”
“Tidak mau. Engkau yang harus menepuknya.”
“Tanganku kotor.”

Malam terakhir di Dukuh Paruk, aku hampir gagal memejamkan mata hingga pagi hari. Srintil menginginkan agar aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ia ikut bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet.
“Bila engkau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kau kerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil di tengah malam yang sepi.
“Srin, aku belum berpikir sedemikian jauh. Atau aku tak pernah memikirkan hal semacam itu. Lagi pula, aku masih teringat betul kata-katamu dulu bahwa kau senang menjadi ronggeng.” Jawabku.
“Eh, Rasus. Mengapa engkau mau menyebut hal-hal yang sudah lalu? Aku mengajukan permintaanku itu sekarang. Dengar Rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng karena aku ingin menjadi istri seorang tentara, engkaulah orangnya.”
Masih segudang alasan dan janji yang diucapkan Srintil padaku. Sebagai laki-laki usia dua puluh tahun, aku  hampir dibuatnya menyerah. Tetapi, sebagai anak Dukuh Paruk yang telah tahu banyak akan di dunia luar, aku mempunyai seribu alasan untuk mempertimbangkannya, bahkan untuk menolah permintaan Srintil. Srintil boleh mendapatkan apa-apa dariku selain bayi dan perkawinan. Aku tahu hal ini suda cukup memadai bagi seorang perempuan Dukuh Paruk. Permintaan Srintil yang berlebihan pasti hanya didorong keinginan sesaat yang kebetulan sejalan dengan nalurinya sebagai perempuan.


Menjelang fajar tiba, kudengar burung sikatan mencecet di rumpun daun di belakang rumah. Keletak-keletik bunyi tetes embun yang jatuh menimpa daun kering. Kudengar dengung kumbang tahi yang terbang menuju arah bau tinja yang berserakan di pedukuhanku yang kecil. Rengek bayi tetangga dan keributan kecil di kandang ayam. Keretek tahi kambing yang tercurah ke atas geladak kandangnya. Kelepak sayap kampret di antara daun-daun jambu di samping rumah.

Perlahan-lahan aku bangun. Lirih sekali. Aku tidak mengehendaki terdengar derit pelapuh bambu  yang dapat membangunkan Srintil, dia masih tertidur lelap. Seperti dulu, Srintil bertambah cantik dan teduh bila sedang tidur. Dengan hati-hati, kubenahi kainnya yang acak-acakan. Ketika Srintil menggeliat, kuelus dia, seperti aku mengelus anak kecil. Tidak lama aku berdiri menatap  ronggeng Dukuh Paruk itu. Aku tidak ingin sesuatu yang berbau sentimental mengiringin keberangkatanku.

Di dalam bilik kulihat nenek, tidur miring dan agak melingkar. Sinar pelita kecil memungkinkan aku melihat gerak paru-parunya. Pelan sekali. Ah, nenekku. Mengapa bukan sejak dulu aku mencari gambar wajah emak yang selama ini kulakukan hanya membuahkan hasil keresahan. Kekeliruan semacam itu tak pernah kuulangi. Maka kutatap garis-garis kerentaan pada wajah nenek secara damai. Kemudian, ke bawah bantal, kusisipkan semua uang yang ada di sakuku.

Aku berbalik. Tak kulupakan aku sudah menjadi tentara meski tanpa pangkat. Jadi, watak ragu harus kulenyapkan.

Selesai mengenakan pakaian seragam, kusambar bedil yang tergantung di atas balai-balai bilikku. Srintil masih lelap di sana, tetapi aku hanya melihatnya sejenak. Langit di timur mulai benderang ketika aku melangkah keluar. Belum seorang pun di Dukuh Paruk yang sudah kelihatan. Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus, sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuni akan kutinggalkan. Tanah Airku yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah bersumpah tidak akan memaafkannya karena dia telah merenggut Srintil dari tanganku. Bahkan lebih dari itu, aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku member sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk Ronggeng

(Ahmad Tohari)

Minggu, 30 Maret 2014

Ibu, Daun, Senja

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWFNOS5x2NWGNhY7jmQ-62zfz_2r3kgDVvNeTuTIDvyEyCnTWYVGqlY7OEbkXAn8xyO32vyRoJv5iF5BYiAoUuz1hUkpDZxOzLeGp2P68rHHhf2UA_hhX7eLXsU2ll5NXjxTmqdlZoJ5Y/s1600/Jingga+-+Daun+Cinta.jpg
Ibu suka duduk di beranda, menikmati angin senja. Memandangi daun-daun berjatuhan di halaman. Sebentar lagi, saat matahari surut ke balik gunung. Ibu akan segera memanggilku. Menyuruhku menyapu daun-daun itu. Mengumpulkan lalu membakarnya. Dari ruang belakang, aku sudah menunggu panggilan ibu. Namun, meskipun matahari sudah terbenam, ibu belumjuga memanggiku. Ingin rasanya aku berjalan ke depan. Menghampiri ibu dan mengerjakan apa pun yang diperintahkannya. Namun, aku masih menahan diri untuk beberapa waktu. Mungkin sepuluh menit sudah berlalu. Suasana senja semakin remang dan nyaris gelap. Tetapi, ibu belum memanggilku. Apakah ibu lupa? Aku segera berjalan melipir dari samping rumah. Begitu langkahku mencapai teras beranda, aku lihat ibu sedang asyik termenung. Atau melamun? Dalam remang, masih dapat kulihat di halaman berserakan daun. Besar dan kecil. Itu pasti daun-daun mangga milik tetangga atau daun-daun mahoni seberang jalan. Atau daun-daun lain yang entah apa namanya dan entah dari mana asalnya. Tak ada niat untuk menyapu. Sudah terlampu senja. Lalu kuhampiri ibu. Apa yang tengah ibu renungkan di saat senja tua begini?

“Ibu..,” ucapku nyaris berbisik.
Sekilas ibu tampak terkejut. Tetapi, setelah tahu yang datang adalah aku, ibu tersenyum. Tipis sekali.
“Kau tak perlu menyapu kali ini.”
“Sudah hampir malam, bu. Mengapa ibu belum masuk?”
“Ibu masih ingin di luar, nak. Ibu suka melihat keluasan langit. Ibu suka menikmati hembusan angin. Ibu suka sekali memandangi daun-daun yang dibakar! Ibu seperti menghayati sekali.” Ibu terdiam.
“ibu bisa sakit jika terlalu lama di luar. Apalagi dalam udara malam.”
“Jangan terlalu mengkhawatirkan ibu, nak. Tapi baiklah. Antar ibu ke kamar.”

Kubantu ibu bangkit dari kursi dan kupapah masuk rumah. Setelah mengantar ibu, aku cepat balik lagi ke depan. Membenahi meja kursi di beranda. Menutup pintu, jendela, mengunci, menyalakan lampu-lampu beranda di halaman. Rutinitas kerjaku biasanya langsut surut, usai mengunci pintu-pintu dan menyalakan lampu-lampu. Dan aku akan segera masuk kamarku ,mendengarkan radio, nonton TV, atau membaca.

Ibu selalu penuh perhatian. Jika malam telah tiba, ibu jarang manggangguku dengan menyuruh ini itu. Hanya sekali ibu memanggilku dengan telepon yang dipasang parallel bila akan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu atau hendak buang hajat. Hampir sepuluh tahun, aku menemani ibu. Irama senja, malam, dan pagi tak pernah berubah. Namun rutinitas itu sama sekali tak membuatku jenuh mengabdi pada ibu.

Sebenarnya, ia bukanlah ibuku. Ia hanya seorang wanita tua yang baik hati. Dan ia memaintaku agar aku memanggilnya “ibu”, siapa pun yang tak tahu asal-usulnya orang akan menduga aku adalah anak kandungnya. Anak satu-satunya. Aku sendiri juga tak tahu, siapa sebenarnya wanita tua itu. Aku hanya tahu, dialah yang merawat dan membesarkanku. Juga membiayai sekolahku. Sering aku bertanya kepada wanita itu, siapakah sebenarnya aku? Dengan senyum jenaka, wanita tua itu akan menjawab,”kau adalah anak ibu. Anak ibu yang cantik, manis, dan rajin bekerja.”

Ingatan masa kecilku tak sanggup menelusuri jejak hidupku lebih jauh. Tak ada sedikitpun membekas di benakku bayang-bayang ibu bapakku. Yang membekas hanya kolong kolong jembatan,rumah-rumah kardus, dan emperan-emperan toko yang mura. Semua itu selalu membayang demikian jelas di kelopak mataku. Bahkan, sampai kapan pun bayang-bayang itu takkan pernah hilang. Itu semua sudah menjadi bagian masa kecilku yang tak mungkin terhapuskan. Andai wanita itu tak berbaik hati memungutku dari jalanan, entah apa jadinya masa depanku.

Mungkin kini aku sudah menjadi gadis jalanan. Atau malah gembel. Aku sangat berhutang budi kepada wanita tua itu. Aku sudah bertekad mengabdi kepadanya sampai akhir hidupku. Namun, tekadku tampaknya tak akan kesampaian. Pengabdianku tampaknya hanya akan sampai pada akhir hidupnya. Sebab dari hari ke hari wanita itu bertambah uzur dan rapuh. Sering sakit. Jalan pun harus dipapah. Pernah aku bertanya apakah ia punya anak selain aku? Pertanyaanku dijawabnya dengan sendu. "Tidak". Dan ketika aku bertanya lebih jauh tentang suaminya. Tiba-tiba riak mukanya memucat. Sampai sekarang pun pertanyaanku tetap menggantung tak menemukan jawab.

Pagi datang lagi. Matahari bersinar lembut di ufuk. Seperti biasa, ibu minta diantarkan ke halaman belakang, menjemur diri hingga kira-kira pukul delapan. Sementara ibu di halaman belakang, aku menyiapkan sarapan roti dan susu. Lalu segera membawanya kepada ibu. Ibu selalu sarapan sambil menghangatkan tubunya di bawah matahari pagi. Dulu, semasa sekolah, dan ibu juga masih sehat, menjemur diri di pagi tak pernah dilakukan.

Hanya olahrga lagi pagi. Itu pun seminggu sekali biasanya hari minggu. Aku sendiri sering menemaninya dan yang  menyiapkan sarapan selalu ibu. Aku sangat bersyukur, dulu ibu selalu sehat walafiat. Andai dulu sudah sakit-sakitan tentu aku bakal sangat kerepotan. Aku harus pandai pandai mengatur waktu untuk masak, mencuci, sekolah, menyapu dan lain-lain. Ibu tak pernah punya niat mengambil pembantu.

“Jangan biasakan hidup manja,”katanya.

Ibu mulai sering sakit sejak aku lulus SMA tiga bulan lalu. Mula-mula, ibu mengeluh kepalanya sakit sebelah. Setelah diperiksa ke dokter, ibu kena migraine. Tak lama kemudian, suka kejang-kejang dan kemudian gejala stroke. Sejak itu, aktivitas ibu di luar rumah berkurang, berkurang dan akhirnya tidak sama sekali. Aku tahu, ibu memiliki lahan perkebunan sangat luas di suatu tempat luar kota. Sekali ibu pernah cerita perkebunan kelapa sawit itu bukan murni hasil jerih payahnya. Dan kelak, aku akan mewarisinya. Beberapa kali ibu pernah mengajak melihat perkebunan itu.

“bila tiba waktunya, akan ibu serahkan semua itu kepadamu. Sekarang, kau belajar baik-baik. Kalau perlu kuliah .”

Setelah lulus SMA, aku memang dirusuh ibu kuliah. Namun, aku menolak. Aku tak mau merepotkan ibu meskipun soal biaya sama sekali tidak akan jadi masalah. Ibu punya cukup simpanan. Karena tak mau kuliah, ibulah yang “menguliahiku”. Hampir setiap hari, ibu menuturkan pengalaman bisnis perkebunannya kepadaku. Dari cerita-cerita pengalamannya itu diharapkan wawasanku tentang strategi dan etika berbisnis akan bertambah. Dan cerita seputar itu. Tak sekalipun ia menyinggung cerita masa kecilnya. Apalgi latar belakang keluarganya. Lalu ibu mengungkapkan harapannya agar kelak aku jadi wanita karier yang sukses seperti dia. Dan harus mampu meneruskan jejak yang sudah dirintisnya.

“ibu ingin membuktikan anak jalanan pun kalau sudah diberi kesempatan akan mampu meraih sukses.”
“Siang kauantar ibu ke dokter. Kau tidak kemana-mana, kan?”
“tidak. Bu.”
“kau memang tak pernah kemana-mana. Kau tentu merasa terkurung gara-gara ibu.”
“Jangan berkata begitu,bu.”
“kau muda. Ibu pernah mengalami masa muda.”
“sudahlah, bu. Jangan banyak pikiran. Aku akan senang sekali jika ibu segera sembuh.”
“ibu sudah kena stroke. Ditambah migraine lagi. Tipis harapan bakal sembuh.”
“ibu…, sudahlah bu.”
“mungkin sudah tiba waktunya. Ibu mengajakmu meninjau perkebunan itu lagi. Pulang dari dokter kita langsung ke sana.”
“jangan dulu, bu. Masih ada waktu. Lain kali saja.”
“ibu khawatir ‘lain kali’ ibu tak ketemu lagi
“ibu…..!” kupeluk ibu angkatku itu.

Perkebunan itu sangat luas. Puluhan hectare. Dan ratusan batang sawit tumbuh amat rimbunnya. Sehari setelah cek ke dokter, ibu mengajakku meninjau perkebunan itu, dengan lebih seksama. Mengamati sudut-sudut lahan perkebunan hingga pola tanah, panen, dan tebang. Dan aku nyaris tak percaya lahan seluas itu kelak akan jadi milikku. Rasanya seperti mimpi. Namun, itu buka sekedar mimpi. Seminggu kemudian, ibu meninggal. Dan harta pekebunan sawit yang amat luas itu sah menjadi millikku. Sebelum meninggal, diam-diam ibu sudah mengalihnamakan kepemilikian seluruh hartanya. Aku benar benar bersyukur kepada Tuhan, bahwa aku melalui jalan kehidupan ini dengan lurus dan mulus.

Meskipun dulu aku lahir dan besar di jalanan, tanpa jelas siapa yang melahirkan, merawat, dan membesarkanku. Ternyata ada seorang wanita baik hati yang menyelamatkan masa depanku. Tanpa wanita baik hati itu, entah apa jadinya nasibku. Menjadi wanita karier, ternyata tak bisa santai. Aku mesti sering keluar rumah untuk menyelasaikan ini itu. Aku tak bisa memasrahkan segala urusan hanya kepada sekretaris atau pembantu-pembantu yang lain  yang sudah lama bekerja di perkebunan itu sejak ibu merintis bisnis. Dari hari ke hari, setelah cukup lama mengelola perkebunan itu, aku kadang dihinggapi rasa letih. Dan ingin istirahat. Maka kini aku sering duduk-duduk di beranda, mengawasi langit senja dan sampah daun berserakan.

Tapi kini, tak ada gadis yang menyapu, mengumpulkan apalagi membakarnya. Tiba-tiba bekakku disesaki kenangan masa kecilku, kolong-kolong jembatan, rumah-rumah kardus, dan emperan-emperan toko yang murang… apakah ibu juga memiliki kenangan masa kecil yang sama denganku? Setelah ibu tiada, pertanyaan itu semakin sulit dijawab

Jumat, 28 Maret 2014

Cerita Abunawas "Menjebak Pencuri Domba"

    https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_7f3wnoNzztWRX4uIjU5LLz6Svy0qZleCtH4WrUwzKDeaqQlQ99OUXXg52r7z0s-PwYCluufXfsJQ70a5OhkNgRzCGy3nyp9LwaxiC9IsFuE_gdaMd6T-7SFvWmJ2UiHyBpctNa1jxn3H/s1600/abu-nawas.jpg
Untuk persiapan Hari Raya Qurban, Abunawas membeli seekor anak domba. Anak domba tersebut rencananya akan dipeliharanya dan dijual pada hari raya qurban nanti. Diharapkan anak domba tersebut sudah menjadi gemuk dan besar pada saatnya nanti.
    “Tentu harganya akan mahal,” lamun Abunawas” dan aku pasti untung besar.”
    Tapi untung tak dapat diraih, malah tak bisa ditolak. Belum dua hari Abunawas memeliharanya, tiba-tiba anak domba itu hilang dicuri orang. Dapat dibayangkan betapa sedihnya hati abunawas.
    “Tega benar pencuri itu padaku,” gumam abunawas. “padahal aku membelinya dengan susah payah.”
     Berhari-hari Abunawas mencarinya, tapi tidak ketemu juga. Dari pengalamannya, pencuri domba itu bukan orang jauh. Kalau bukan tetangga, pasti orang-orang di dekat sini saja. Tapi bagaimana memastikan bahwa merekalah pencurinya?
    Seminggu kemudian, abunawas diundang tasyakuran. Yang mengundang adalah tetangga dekatnya yang bernama Towos. Selain abunawas, towos juga mengundang Pak Hakim. Sejak menerima undangan itu, Abunawas sudah merasa curiga pada towos. Perasaan itu terpatri kuat di hati abunawas.
    Dalam acara tasyakuran tersebut dihidangkan menu sate dan gulai yang amat lezat. Baunya semerbak membangkitkan selera. Abunawas menahan perasaannya dalam-dalam.
    “Kalau makan sate dan gulai seperti ini kau jadi ingat anak domba kesayanganku,” ujar Abunawas mengawali bualannya.
    “Tapi sayang,” lanjutnya Abunawas lagi,” anak domba itu dicuri orang. Padahal…?”
    “Padahal apa Abunawas?” Tanya pak hakim yang rupanya tertarik dengan cerita abunawas.
    “Padahal anak domba kepunyaanku itu tidak ada bandingannya di seantero bagdad ini. Badannya gemuk, matanya bersinar, dan bulunya lembut bagaikan sutra. Siapa yang melihatnya pasti ingin memilikinya.”
    “Sayang sekali aku belum melihatnya,” ujar pak hakim mengomentari cerita  Abunawas.
    “itu belum seberapa,” lanjut abunawas meneruskan bualannya. “disaat bulan purnama, anak domba kesayanganku itu bisa juga bisa mendendangkan lagu-lagu qasidah.”
    Pak Hakim dan para undangan semakin tercengang. Mereka seakan –akan tidak percaya. Tapi situasi semacam itu membuat towos, tuan rumah menjadi panas hatinya. Dia tahu persis bahwa anak domba kepunyaan abunawas sama sekali tidak seperti yang diceritakan oleh si empunya. Tak sadar, dia keceplosan.
    “badrun!” teriak towos memanggil anaknya. “tolong ambilkan kulit domba yang baru saja kita sembelih dan bawa kesini!”
    “buat apak pak?” Tanya badrun
    “biar pak hakim dan para undangan tahu kalau abunawas adalah seorang pembual besar. Dengan melihat kulitnya, mereka akan tahu kalau anak domba abunawas sebenernya sangat kurus dan kurapan.”
    Mendengar towos keceplosan, seketika abunawas menghujam pertanyaan yang telak.
    “jadi, kau yang mencuri anak dombaku?” sergah abunawas. Towos gelagapan. Dia sadar kalau keceplosan ngomong. Akhirnya mau tak mau dia menemui akibatnya, mendapat malu tengah-tengah pak hakim dan para undangan, sementara itu, abunawas walau telah kehilangan anak domba, akhirnya bisa tersenyum karena mempermalukan pencurinya

Senin, 24 Maret 2014

Cerita Cerita Lucu dan Gokil, Ngilangin Stres

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRYXBPXTEv2epwnqNc8OT06UnC9XFDNe70zGQ4lqhXscQattdgSePVyk2-0BzXvYsplGe4urtoOtk4Q8532xRSe3yZO5Al4Jx5ShJko0lUbX4y6g2aIPsogn6YW-362gQK_k8rZGxam2U_/s1600/cara-gokil-menghangatkan-badan.jpg 
Kaki KambingDalam sebuah pelajaran matematika, Ibu guru bertanya kepada murid.

Ibu Guru : Kaki ayam ada berapa, Bonar ?
Bonar : Dua bu
Ibu Guru : Bagus, sekarang jojon, kaki kambing ada berapa ?
Jojon : Delapan Ibu Guru
Ibu Guru : Bagaimana bisa begitu ?
Jojon : Coba hitung, 2 kaki depan, 2 kaki belakang, 2
kaki kiri dan 2 kaki kanan. Kan 2+2+2+2=8
Ibu Guru : Jojon, sungguh pintar kau seperti pejabat saja.
 

Ancaman
Astuti : aa sayang ga ama nenk?
Asnaif : iya dong aa sayang sama neng.
Astuti : ah yang bener a, aa ga bohong kan?
Asnaif : bener deh nenk, aa ga bohong.
Astuti : aa cinta ma nenk?
Asnaif : iya aa juga cinta ma nenk.
Astuti : beneran nih a?
Asnaif : bener nenk, ga bohong.
Astuti : koq bisa a? Nenk kan jelek?
Asnaif : iya bisa dong nenk, soalnya nenk nanya nya sambil bawa pistol dan nginjek kaki aa nih..:D


Dokter Alay
Ngatiyem : Dok, anak saya sakit !
Dokter : ya saya tau, kalo gak sakit ngapain dbawa ksini>=)
Ngatiyem : tolong diperiksa dok !
Dokter : yaiyalah diperiksa. masa dinyanyiin? :>
Ngatiyem: (mulai emosi) ‘cepetan dikit dok ! /:)
Dokter : ‘bentar, lagi update status nih’ (=| selesai diperiksa..
Ngatiyem : gimana dok ? :/
Dokter : apanya’ :O
Ngatiyem : apakah status dokter ada yg komèn? ya,anak saya laah’ !!>:O
Dokter : ooh..’ :O
Ngatiyem : gmn keadaany dok?? | td udah dpriksa kan?’ :/
Dokter : gawat. ini gawat bgt. titit anak anda ilang !’ :s
Ngatiyem : anak saya memang gak punya titit dok! dia kan cewek !’>:O
Dokter : oh cewek ya, pantesan.. | kok gak ada susunya ?’ :s
Ngatiyem : ya jelas aja gak ada, umur nya baru 3 thun>:O
(#Ngatiyem mulai panas. matanya merah. ingusnya keluar>:#)
Ngatiyem : ‘jadi anak saya sakit apa dok ?’ :s
Dokter : lho kok nanya saya, anda kan ibunya ! seharusnya lebih tau donk.’>:/
Ngatiyem : DOKTERNYA KAN ANDA!! SKRG JAWAB, ANAK SAYA SAKIT APA ??’
Dokter : ada dèh, kasi tau gak ya ??’ :p
Ngatiyem : ^%&$&%#^*%^*#^*^%#^

Pasien RSJ Beli MakananSeorang pasien Pasien RS Jiwa membeli makanan di KFC. Dia pun berkata kepada pelayan yang cantik.

Pembeli: Mbak, nasi ayam 1 porsi dibungkus ya...
Pelayan: Iya Mas...
Pembeli: Tapi tolong nasi dan ayamnya dipisah ya Mbak..
Pelayan: Kenapa Mas...?
Pembeli: Takut nasinya dimakan ayam...
Pelayan: semprul -_-

Oh ternyata
Asep: "Pin, mau tau gak??".
Ipin: "apa Sep?".
Asep: "kemaren gua ajak DIA ke kamar?".
Ipin: "wah.. Cuma berdua aja dikamar?".
Asep: "iya.. Habis itu gua kunci pintu, takut ada yg ngeliat".
Ipin: "trus dia, lo apain Sep?".
Asep: "pas baru masuk kamar gua cuma
memandangi dia aja, tapi
lama2 gua jadi nafsu".
Ipin: "trus.. Trus..??".
Asep: "trus gua raba tubuh nya yg masih tertutup baju warna biru".
Ipin: "trus..!!".
Asep: "gua buka pakaian
nya".
Ipin: (mikir ngeres) "trusin Sep.. Gua udah ga sabar".
Asep: "trus gua mulai
menjilati susu nya yg bulatdan putih itu".
Ipin: (tambah ngeres) "gimana rasanya??".
Asep: "hmm.. Pokoknya enak banget".
Ipin: "oiya, ngomong nama dia siapa?".
Asep: "namanya.... OREO".
Ipin: Wah gila lu sep, di kirain lo *tuuuuuuttttttt #sensor


Nyemplung
Istri : “Paa,.. Mobilnya mogok pa, karburatornya kemasukan air.”
Suami : “Karburator kemasukan air ?????? Haha…. Mama ni sok tau aja….”
Istri : “Mama bilang kaburatornya kemasukan air, Kok papa gak percaya sich….????”
Suami : “Huh…. mama bahkan gak tau apa itu karburator, biar papa aja yg periksa. Sekrang mobilnya dimana ?”
Istri : “Nyemplung sungai….”Suami : !@#$%?

Komputer Canggih
Suatu hari Tono mengeluh sikutnya sakit... Budi temannya kasih saran untuk periksa ke komputer dokter yang ada di toko obat...

Komputer dokter itu canggih bisa diagnosa bermacam penyakit. Jauh lebih cepat dan lebih murah dari dokter biasa.

"Gampang... Kamu tuangkan sampel urine (pipis). Nanti komputer itu langsung diagnosa, dan kasih tahu kamu harus lakukan apa. Biayanya murah cuman Rp.2.000,- kok...."

Tono: "Murah juga ya bro. Boleh juga tuh..".

Tono niat ingin periksa. Di rumah dia isi kantong plastik dengan urine-nya terus pergi deh dia ke toko obat...

Di komputer dia masukkan uang Rp. 2.000. Terus dia tuangkan urine-nya ke komputer.

Komputer langsung proses. Keluarkan suara-suara aneh dan kedap-kedip. Ga lama muncul bunyi "BEEP"...

Keluar deh kertas kecil print-out tertulis :
"Sakit di sikutmu karena kamu kebanyakan main tennis. Bilas sikutmu tiap malam dengan air hangat. Jangan angkat beban yang berat. Dan semoga membaik dalam tiga pekan."

Tono: "Wow...."

Sampai rumah, Tono masih melongo takjub akan canggihnya komputer itu. Dia berpikir bahwa dunia kedokteran dan komputer sekarang ini sudah benar-benar edan canggih banget...

Timbul pikiran jahil.. "Hmm.. Bisa ga ya tuh komputer ditipu. Ah gue kerjain deh tuh komputer....."

Tono ambil kantong plastik baru. Dia isi air keran. Terus dia tambah urine (pipis) dari anjingnya, istrinya dan anak perempuannya. Terakhir Tono tambahkan sperma dari hasil dia masturbasi.

Dengan senyum cekikikan Tono kembali ke toko obat. Dia masukkan uang Ro, 2.000 terus dia tuangkan campuran air sampel nya ke komputer.. "Mampus lo.." katanya dalam hati..

Komputer proses. Keluarkan suara-suara aneh dan kedap-kedip. Terus keluar deh kertas kecil print-out:

"Air keran rumahmu sangat dingin. Sebaiknya kamu beli pemanas air. Anjingmu kena cacingan. Kasih anjingmu vitamin. Anakmu pakai nark0ba. Masukkan anakmu ke klinik rehab. Istrimu hamil lagi, bayi kembar laki. Tapi bukan dari hubungan denganmu. Cepat cari pengacara yang bagus. Dan kalau kamu tidak berhenti masturbasi, sikutmu yang sakit tidak akan sembuh lah."

Senin, 17 Maret 2014

Belenggu

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/53/Armijn_Pane,_around_1953.jpg
Dokter Sukartono (Tono) seorang dokter yang ramah dan dermawan. kesibukannya menjadi dokter menyebabkan istrinya, Sumartini (Tini) merasa tidak diperhatikan. tini pun mencari kesibukan sendiri di luar rumah.
Masing-masing sibuk dengan kegiatannya, dan komunikasi pun kurang. akibatnya sering timbul salah pengertian dan konflik. apalagi tini tidak mau kalah. ia berpandangan bahwa suami adalah saingan. sementara tono menginginkan agar istri di rumah mengurus rumah tangga dan anak.
Sebenarnya konflik keluarga Tono-Tini yang paling mendasar ialah karena diantara keduanya ialah tidak ada rasa saling cinta. tono menikahi tini karena tini cantik, ceria, cerdas sehingga pantas untuk menjadi istri seorang dokter, meski tini memiliki masa lalu yang tidak baik. tini mau dikawini tono juga bukan karena tini mencintainya, tapi ingin menghapus masa lalunya.
Kekacauan rumah tangga makin parah dengan masuknya Ny. Eni (Yah). yah adalah bekas tetangga dan teman sekolah tono. diam diam yah sangat mendambakan tono untuk menjadi suaminya. tapi keinginan itu tidak kesampaian karena yah dipaksa kawin dengan orang lain. akibatnya Yah melarikan diri dan terjerumus ke lembah hitam.
Suatu ketika yah mendapat alamat tono, maka ia pun mencarinya dengan pura-pura sakit. ia pun jadi pasien tono dan akhirnya berhasil menggaet cinta tono. Tono justru memperoleh kebahagiaan dari Yah, bukan dari istrinya sendiri.
Hubungan tono dengan yah diketahui tini. tini segera mendatangi Yah untuk menyelesaikan masalah yang menimpa dirinya. tapi, tini merasa malu sendiri karena ternyata yah orang yang sangat baik, dan pantaslah kalau tono terpikat padanya. tini merasa tidak sebaik yah dalam memperlakukan tono.
Tini menyampaikan pertemuannya dengan yah kepada tono dan sekaligus minta cerai. tono keberatan untuk menceraikan tini. tono mengharapkan tini tetap menjadi istrinya. karena tini tetap menuntut, akhirnya mereka cerai juga, dan tini ke surabaya untuk mengabdi pada sebuah panti yatim piatu
Seperginya tini, tono bermaksud menemui yah. ternyata yah juga telah pergi ke New Caledonia untuk meninggalkan tono, sebab merasa bahwa tini tetap lebih berhak atas tono karena tini adalah istri yang sah
Tono merasa sedih karena kehilangan semuanya. ia kesepian dan sendiri. tetapi ia tidak larut dalam kesedihannya, dan sebaliknya ia lebih menekuni bidangnya dengan mengabdikan diri dalam penelitian kedokteran untuk mengabdi pada masyarakat.

(Armijn Pane)

Minggu, 16 Maret 2014

Cerita Abu Nawas "Menjebak Si Tukang Sihir"

   https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUxJpqfjvqflL5qyllikXtAIqGhSz1O6vVj-jMyuTlLHxnei22g5dPE3JMi02fMOghRzRp0Gr_gmXI2l8KF18dOxDpbcV2W1oqNerqqUfzzn-2wrh3tIRtd4Xs_BhljJ51qbqiC4puwTZO/s400/ternyata-gen-penyihir-ada-juga.jpg
Abunawas mempunyai burung nuri yang sangat lucu. Baginda Harun Alrasyid ingin memilikinya.
"Kalau kau berniat menjualnya, jangan ditawarkan kepada orang lain. tawarkan saja kepadaku. berapa pun harganya, aku akan membayarnya," ujar Baginda kepada Abunawas.

Abunawas tidak menjawab Dia hanya mengangguk. Tapi dalam hari, dia berakta mana mungkin aku menjual burung yang tidak berharga ini kepada Baginda.

Keesokan paginya, abunawas datang ke Istana. Dia datang dengan membawa burung nuri yang diinginkan baginda itu. Abunawas tidak ingin menjualnya. Dia ingin memberikan Cuma-Cuma kepada baginda. Tapi di pintu gerbang istana, dua orang pengawal menahannya.

“Siapa kamu? Ada keperluan apa menghadap baginda ?” hardik kedua pengawal dengan wajah bengis. Rupanya kedua orang pengawal istana tersebut adalah orang kepercayaan Perdana Menteri Abudahi yang selalu ingin mencelakakan Abunawas.
“Aku hendak menyerahkan burung nuri ini kepada baginda karena beliau sangat menyukainya,” jawab abunawas.
“Tinggal saja burung jelek itu disini, biar aku yang menyerahkannya kepada baginda,” ucap salah seorang pengawal.

Abunawas pun menurut. Dalam situasi seperti ini, dia tidak mungkin melawan. Tapi suatu saat mereka pasti akan menemui perbuatannya.

Oleh kedua pengawal kepercayaan Abudahi, burung nuri Abunawas ditukar dengan burung gereja. Setelah itu, diserahkan kepada baginda. Perdana Menteri Abudahi yang melihat kejadian itu tersenyum simpul memuji hasil kerja anak buahnya.
“Bedebah!” gigi baginda gemertak menahan amarah. Dia merasa terhina oleh perbuatan Abunawas. Burung nuri yang diharapkannya tapi burung gereja yang dikirimkan.

Tanpa menunggu waktu, saat itu juga  baginda mendatangi rumah abunawas.

“Abunawas ! kalau kau keberatan menjual burung nuri kepadaku aku tidak apa-apa. Tapi jangan kau kirim burung gereja ke istana. Itu suatu penghinaan buatku!” kecam baginda dengan mata memerah menahan amarah.
“Begini baginda,” tutur abunawas mencoba meredakan amarah baginda.”Istana baginda telah kemasukan dua orang penyihir yang menjadi penjaga pintu gerbang istana. Kedua orang itu bbisa menyihir seekor burung gereja, dan hamba yakin, besok-besok, kedua orang itu bisa menyihir burung beo menjadi burung nuri. 

Kalau tidak percaya, tunggulah besok di istana, baginda akan menyaksikan sendiri betapa hebatnya sihir mereka”

Sambil berkata begitu, abunawas mengelus-ngelus seekor burung beo yang bertengger didepan jendela rumahnya. Burung beo itulah yang akan dibuat menjebak kedua pengawal bengis istana.

Pagi-pagi sekali Abunawas sudah tiba di istana. Dia membawa burung beo di tangannya. Di depan gerbang lagi-lagi dia dicegat pengawal.
“Ada perlu apa lagi kau di sini ?” kedua pengawal kembali menghardik Abunawas. “Sudah kubilang, kau tidak akan bisa bertemu Baginda!”
“Maaf, kemarin aku keliru. Aku sebenarnya hendak memberikan burung beo ini kepada Baginda. Tapi aku keliru mengambilnya. Baginda pasti marah-marah mendapat kiriman burung nuri itu. Semua orang tahu, baginda sangat benci burung nuri. Dia pernah tersesat di hutan gara-gara burung nuri keparat itu. Maafkan aku, aku telah membuat baginda marah!” bujuk abunawas seolah-olah cerita itu benar-benar terjadi.
“Taruhlah saja disitu! Biar aku nanti yang akan menyerahkan kepada baginda!” perintah pengawal istana.

Terpengaruh bujukan Abunawas, kedua kaki tangan Abudahi itu pun menukar burung beo dengan nuri. Setelah itu mereka menyerahkannya kepada baginda. Keduanya bersukaria karena sebentar lagi Abunawas pasti akan mendapat hukuman yang setimpal dari Baginda.

Menerima burung nuri itu kedua pengawal istana, Baginda terperangah kaget. Ternyata benar apa yang dikatakan Abunawas. Kedua pengawal ini bisa menyihir alias menggelapkan barang yang bukan haknya.

“Ini nurinya, mana beonya?” sindir baginda yang langsung membuat wajah kedua pengawal itu pucat pasi. 

Belum sempat kedua pengawal itu menjawab, Baginda langsung menitahkan perintah yang tak disangka-sangka. “karena hasil kerja yang sangat bagus, kalian berdua aku beri hadiah hukuman cambuk masing-masing 50 kali.

Perdana Menteri Abudahi yang menyaksikan kejadian itu, kini hayna bisa tertunduk lesu

Senin, 10 Maret 2014

Seorang Buta Mendapatkan Istri Yang Cantik

http://cdn.klimg.com/merdeka.com/resized/670x670/i/w/news/2013/10/07/259597/996x498/6-orang-buta-yang-menginspirasi-dunia.jpg

Kisah ajaib ini, terjadi pada seorang buta lagi miskin yang dicampakkan oleh kaum wanita. Lalu dia berdo’a kepada Allah Ta’ala dan Allah pun mengabulkan do’anya dengan gadis yang paling cantik di antara mereka. Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz al-‘Aql dalam muhadarahnya yang berjudul Qashash wa ‘Ibar. Kisah nyata ini terjadi pada salah seorang kerabat Syaikh sendiri.

Syaikh Abdul Aziz mengatakan, “Diantara kisah yang pernah saya alami adalah seseorang dari famili saya yang hafal al-Qur’an, dan yang shalih. Saya mengenalnya dan kami mencintainya ketika kami masih kanak-kanak. Orang tadi ahli bersilaturahim dan selalu beristiqamah untuk taat kepada Allah. Dan dia adalah orang yang buta. Pada suatu hari, dia berkata kepada saya, “Hai anakku -waktu itu saya berumur 16 atau 17 tahun- kenapa kamu tidak menikah?”

Saya jawab, “Hingga Allah memberi saya rizqi.” Dia berkata, “Wahai putraku, bersikap jujurlah kepada Allah, ketuklah pintu Allah, dan berharaplah, pintu kelapangan akan terbuka.” Kemudian dia berkata kepada saya, “Duduklah wahai putraku, aku akan menceritakan kepadamu, apa yang pernah aku alami dulu.”

Dia melanjutkan, “Saya dulu benar-benar miskin, ibu dan bapakku adalah orang miskin, kami semua sangat miskin, aku sendiri semenjak dilahirkan sudah menjadi orang yang buta, pendek dan papa.

Segala sifat yang tidak disukai wanita ada padaku. Kemudian aku sangat menginginkan seorang wanita, akan tetapi kepada Allah aku tumpahkan seluruh keprihatinanku, karena dengan kondisiku yang seperti itu, akan sulit rasanya untuk mendapatkan seorang istri. Aku mendatangi ayahku kemudian mengatakan, “Wahai ayah, aku ingin menikah.” Maka ayahku mentertawakanku.

Sebenarnya, dengan kata-katanya itu ayah telah membunuhku. Waktu itu aku berumur kira-kira 24 atau 25 tahun. Lalu akupun pergi menemui ibuku. Mengadukan perihalku, barangkali ia dapat membujuk ayahku.

Hampir saja aku menangis, ketika ibuku juga mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan oleh ayah. Dia mengatakan, “Anakku, kamu akan nikah?!
Apakah kamu tidak waras nak?!
Siapa wanita yang mau sama kamu?!
Darimana kamu mendapatkan harta?!

Kamu tahu sendiri, bahwa kita semuanya ini sangat membutuhkan sedikit harta untuk bertahan hidup. Kemudian kamu juga jangan lupa, bahwa hutang kita telah menumpuk.” Aku tidak berputus asa, kuulangi lagi usahaku untuk memahamkan ayah dan ibuku. Akan tetapi sikap dan jawaban mereka tetap tidak berubah.

Pada suatu malam, aku berkata, “Mengapa aku tidak mengadukan hal ini pada Tuhanku yang Maha Pengasih dan Penyayang?

Mengapa aku merengek-rengek dihadapan ayah dan ibu yang memang tidak mampu melakukan apa-apa?

Mengapa aku tidak mengetuk pintu ilahi yang Maha Kuasa dan Perkasa?”

Lalu akupun shalat diakhir malam sebagaimana kebiasaanku. Aku mengangkat tangan kepada Allah Ta’ala dan aku katakan diantara do’aku.

Ya Allah, ya Tuhanku, mereka mengatakan kalau aku miskin padahal Engkaulah yang membuat aku miskin. Mereka mengatakan kalau aku buta, padahal Engkaulah yang mengambil penglihatanku. Mereka mengatakan kalau aku adalah jelek dan buruk, padahal Engkaulah yang menciptakan aku. Ilahi,

Tuhanku, Tuanku dan Penolongku, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, Engkau mengetahui apa yang ada didalam jiwaku. Engkau mengetahui keinginanku untuk menikah, dan aku tidak ada daya dan upaya untuk itu. Ayah dan ibuku menyatakan tidak sanggup. Ya Allah, mereka memang tidak sanggup dan tidak mampu. Aku memahami kondisi mereka. Tetapi Engkau adalah Maha Mulia dan Perkasa yang tidak terkalahkan oleh apapun.

Ilahi, kumohon satu rahmat dari rahmat-Mu. Wahai Tuhan yang Maha Mulia, Maha Pengasih dan Penyayang, berikanlah kepadaku dengan segera seorang istri yang penuh berkah, shalihah, dan cantik jelita. Yang menenangkan hatiku dan yang menyatukan jiwaku.

Aku berdo’a sementara kedua mataku, mengucurkan air mata dan hatiku menangis merendah dihadapan Allah Ta’ala. Karena aku shalat malam diawal waktu, maka akupun mengantuk. Ketika aku tertidur, aku bermimpi seolah-olah aku berada disebuah tempat yang sangat panas. Sepertinya ada kobaran api yang sangat dahsyat. Tidak lama setelah itu, aku melihat ada satu kemah yang turun dari langit. Kemah yang sangat indah mempesona, belum pernah aku melihat sebelumnya.

Hingga kemah itupun turun diatasku dan memayungiku. Bersamaan dengan itu, ada hawa dingin yang aku tidak mampu menceritakannya karena benar-benar membawa sebuah kedamaian, hingga aku terbangun karena kedinginan setelah merasa kepanasan yang amat sangat. Aku terbangun dan perasaanku sangat senang dengan mimpi tersebut. Dipagi yang buta aku pergi menemui seorang alim yang dapat menafsiri mimpi.

Maka setelah aku ceritakan apa yang kualami dalam mimpi itu, seorang alim tersebut mengatakan kepadaku, “Hai anakku, engkau sudah menikah, jika tidak, mengapa kamu tidak menikah?”

Maka saya katakan, “Tidak, demi Allah saya belum menikah.” Dia bertanya, “Mengapa engkau tidak menikah?”

Kukatakan, “Demi Allah Ya Syaikh, seperti yang engku ketahui, aku adalah seorang yang buta lagi miskin, dan buruk rupa.”

Dia berkata, “Hai anakku, apakah tadi malam engkau telah mengetuk pintu Tuhan mu?”

Kukatakan, “Ya, aku telah mengetuk pintu Tuhan ku.” Syaikh berkata, “Pergilah wahai putraku, perhatikanlah gadis yang paling cantik dalam benakmu dan pinanglah, karena pintu itu telah terbuka untukmu. Ambillah yang terbaik apa yang ada dalam dirimu dan jangan merasa rendah dengan mengatakan, “Aku adalah seorang yang buta, maka aku akan mencari wanita yang buta pula, jika tidak maka yang begini, dan yang begitu. Tetapi perhatikanlah gadis yang terbaik, karena pintu itu telah dibuka untukmu.”

Setelah aku berfikir dalam diriku, aku memilih gadis yang dikenal sebagai gadis yang paling cantik di daerah itu disamping memiliki nasab dan keluarga yang terhormat. Maka aku mendatangi ayah, kukatakan barangkali ayah mau pergi kepada mereka guna meminang gadis itu untukku. Ayah menolak dengan keras, lebih keras dari penolakannya yang pertama. Dia benar-benar menolak secara mentah-mentah mengingat rupaku yang buruk dan kemelaratanku, apalagi gadis yang kuinginkan adalah gadis yang paling cantik di negeri itu.

Maka aku pergi sendiri. Aku bertamu kepada keluarga itu, mengucapkan salam kepada mereka dan mengatakan kepada orang tuanya, “Saya menginginkan Fulanah (maksudnya putrinya).” Dia menjawab, “Kamu menginginkan putriku?”

Saya jawab, “Ya.” Maka dia menjawab, “Demi Allah, ahlan wasahlan, wahai putra Fulan, selamat datang wahai pembawa Al-Qur’an, demi Allah hai putraku, kami tidak mendapatkan laki-laki yang lebih baik darimu, akan tetapi aku berharap agar putriku mau menerimanya.” Kemudian ia pergi menuju putrinya dan mengatakan, “Wahai putriku, ini Fulan datang meminangmu.

Memang dia buta akan tetapi dia hafal Al-Qur’an, dia menyimpan Al-Qur’an di dalam dadanya. Apabila engkau dapat merelakannya untukmu, maka tawakkallah kepada Allah.” Sang putripun menjawab, “Sesudahmu, tidak ada hal lain wahai ayah, kami bertawakkal kepada Allah.”

Selang sepekan setelah itu, wanita cantik itupun menjadi istri bagi si buta yang miskin dengan taufik Allah dan kemudahan dariNya karena keutamaan Al-Qur’an. Walhamdulillahirabbil ‘alamin.