Selasa, 22 April 2014

Kata Kata Bijak Para Sahabat Nabi Muhammad SAW

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSF6SAPJKbKGmY-xMm4MOgktznBO4_GoYvP_LBEizPE-v-I5ZrcGLRjVsANlNLWWukR_RqgP-eVruTBM6SyLkALWhirKANgIm2TH8mAB-55gIjnQciBk9oJV0AjF8zfqhXJe4AJZH0AeM/s320/Kata+kata+mutiara+hikmah+nabi.jpg

Orang yang paling aku sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku. ~ Khalifah ‘Umar
 
Antara tanda-tanda orang yang bijaksana itu ialah :
1. Hatinya selalu berniat suci. Lidahnya selalu basah dengan zikrullah.
2. Kedua matanya menangis kerana penyesalan (terhadap dosa).
3. Segala perkara dihadapinya dengan sabar dan tabah.
4. Mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.
~ Sayidina Utshman bin Affan

Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak ada ilmunya dan tidak ada kebaikan ilmu yang tidak difahami dan tidak ada kebaikan bacaan kalau tidak ada perhatian untuknya. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah

Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak. ~ Khalifah ‘Ali

Sabar memiliki dua sisi, sisi yang satu adalah sabar, sisi yang lain adalah bersyukur kepada Allah. ~ Ibnu Mas’ud

Takutlah kamu akan perbuatan dosa di saat sendirian, di saat inilah saksimu adalah juga hakimmu. ~ Khalifah ‘Ali

Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk. ~ Imam An Nawawi

Sesungguhnya seorang hamba itu bila merasa ujub kerana suatu perhiasan dunia, niscaya Allah akan murka kepadanya hingga dia melepaskan perhiasan itu. ~ Sayidina Abu Bakar

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Barangsiapa takut kepada Allah SWT nescaya tidak akan dapat dilihat kemarahannya. Dan barangsiapa takut pada Allah, tidak sia-sia apa yang dia kehendaki. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Orang yang bakhil itu tidak akan terlepas daripada salah satu daripada 4 sifat yang membinasakan yaitu : Ia akan mati dan hartanya akan diambil oleh warisnya, lalu dibelanjakan bukan pada tempatnya atau; hartanya akan diambil secara paksa oleh penguasa yang zalim atau; hartanya menjadi rebutan orang-orang jahat dan akan dipergunakan untuk kejahatan pula atau; adakalanya harta itu akan dicuri dan dipergunakan secara berfoya-foya pada jalan yang tidak berguna. ~ Sayidina Abu Bakar

Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya. Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina. Orang yang mencintai akhirat, dunia pasti menyertainya.
Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Hendaklah kamu lebih memperhatikan tentang bagaimana amalan itu diterima daripada banyak beramal, kerana sesungguhnya terlalu sedikit amalan yang disertai takwa. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah

Janganlah seseorang hamba itu mengharap selain kepada Tuhannya dan janganlah dia takut selain kepada dosanya. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah

Tiada sholat yang sempurna tanpa jiwa yang khusyu’.
Tiada puasa yang sempurna tanpa mencegah diri daripada perbuatan yang sia-sia.
Tiada kebaikan bagi pembaca al-Qur’an tanpa mengambil pangajaran daripadanya.
Tiada kebaikan bagi orang yang berilmu tanpa memiliki sifat wara’.
Tiada kebaikan mengambil teman tanpa saling sayang-menyayangi.
~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah

Nikmat yang paling baik ialah nikmat yang kekal dimiliki.
Doa yang paling sempurna ialah doa yang dilandasi keikhlasan. Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak pula salahnya. Siapa yang banyak salahnya, maka hilanglah harga dirinya. Siapa yang hilang harga dirinya, bererti dia tidak wara’. Sedang orang yang tidak wara’ itu berarti hatinya telah mati. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah

Kulupakan dadaku dan kubelenggu penyakit tamakku, karena aku sadar bahwa sifat tamak bisa melahirkan kehinaan. (Imam Syafií)

Aku tidak pernah berdialog dengan seseorang dengan tujuan aku lebih senang jika ia berpendapat salah. (Imam Syafií)

Setiap manusia mempunyai orang yang dicintai dan yang dibenci. Tapi bagimu, jika ada maka berkumpullah kamu dengan orang-orang yang bertaqwa. (Imam Syafií)

Didiklah anak-anakmu itu berlainan dengan keadaan kamu sekarang kerana mereka telah dijadikan Tuhan untuk zaman yang bukan zaman engkau. (Umar bin Khatab)

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Aku memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. (Umar bin Khattab)

Siapa takut kepada Allah, maka tidak hidup marahnya, Siapa yang bertaqwa kepada-Nya, niscaya tidak mengerjakan sesukanya. (Umar bin Khatab)

Allah telah memberikan petunjuk kepadaku sehinga aku bisa mengenali diriku sendiri dengan segala kelemahan dan kehinaanku.
(Umar bin Khathhab)

Kebahagiaanku jika mati sebelum baligh lalu aku dimasukkan kedalam syurga, tidak sebahagia jika aku hidup sampai tua dalam keadaan mengenal Allah yaitu yang paling bertaqwa, rajin mengerjaklan ibadah serta menerima apa apa yang telah di berikan Allah kepadaku. (Ali Bin Abu Thalib)

Minggu, 20 April 2014

Puisi : Raisopopo (Fadli Zon)

http://rmol.co/images/berita/normal/249871_06340030072013_Fadli_Zon.jpg
Aku raisopopo
Seperti Wayang digerakkan dalang
Cerita sejuta harapan
Menjual mimpi tanpa kenyataan
Berselimut citra fatamorgana
Dan kau terkesima

Aku raisopopo
Menari di gendang tuan
Berjalan dari gang hingga comberan
Menabuh genderang blusukan
Kadang menumpang bus karatan

Di antara banjir dan kemacetan
Semua jadi liputan
Menyihir dunia maya
Dan kau terkesima

Aku raisopopo
Hanya bisa berkata rapopo


*Bagaimana pendapat kalian tentang puisi terbaru karangan fadli zon ini,. Kalau dibaca sih pasti sobat sudah pada tahu untuk siapa puisi itu. Tapi... kalau menurut saya sih, kalau dilihat kata katanya mungkin dia sendiri yang raisopopo atau tidak bisa apa apa, bisanya cuman nyindir doang. LOL :D

Puisi : Air Mata Buaya (Fadli Zon)

http://rmol.co/images/berita/normal/103526_10431516032013_fadli_zon.jpg
Kau bicara kejujuran sambil berdusta
Kau bicara kesederhanaan sambil shopping di Singapura
Kau bicara nasionalisme sambil jual aset negara
Kau bicara kedamaian sambil memupuk dendam

Kau bicara antikorupsi sambil menjarah setiap celah
Kau bicara persatuan sambil memecah belah
Kau bicara demokrasi ternyata untuk kepentingan pribadi
Kau bicara kemiskinan di tengah harta bergelimpangan

Kau bicara nasib rakyat sambil pura-pura menderita
Kau bicara pengkhianatan sambil berbuat yang sama
Kau bicara seolah dari hati sambil menitikkan air mata

Air mata buaya

Puisi : Amuk (Sutardji Calzoum Bachri)

http://www.jakarta.go.id/web/system/jakarta2011/public/images/encyclopedia/c8c50457527ce7089f05df1d6260e861.jpg
Maafkan aku
Aku bukan sekedar penyair
Aku depan             
Depan yang memburu
Membebaskan kata
Memanggil Mu

Pot pot pot
Pot pot pot
Kalau pot tak mau pot

Biar pot semau pot
Mencari pot
Pot
Hei, Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu

Izukalizu
Mapakazaba itasatali
Tutulita
Papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zagezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zagezegeze aahh....!

Nama nama kalian bebas
Carilah tuhan semaumu

Jumat, 18 April 2014

Duduk Di Tepi Sungai



Cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Ia meraup remah remah roti dari telapak tangannya yang bergurat kasar. Melemparkannya ke pasir putih. Lantas merpati itu mematukinya. Angin menggelepar di tingkah bunyi sayap mereka, yang datang dan pergi sesekali. Suara sungai seperti aliran mimpi. “Terbangnya cepat dan tinggi ?” Tanya si cucu, sambil memandangi makhluk bersayap itu tanpa berkedip.

“Tentu saja, coba lihat matanya . . . .”

Dan lelaki tua yang telah merasuki hidup itupun bercerita tentang mata, paruh dan bulu-bulu dan warna-warna, dan segala macam hal tentang merpati yang diketahuinya. Ia memindahkan seluruh pengalaman hidupnya pada si anak. Dan si anak merekam seluruh pengalaman hidup orang tua itu.

“Merpati juga sering disebut burung dara, kamu tahu kenapa?”
“Tidak.”
“Aku juga tidak. Orang-orang tua seperti aku tidak pernah diberi pelajaran Bahasa Indonesia. Mestinya kamu lebih tahu.”
“Aku akan tahu nanti, tapi sekarang belum.” Anak itu menjawab sambil menatap mata kakeknya.

Mata anak itu bening, tajam dan bercahaya, bagaikan memancar langsung dan menyelusup ke dalam mata kakeknya. Mata kakeknya juga bercahaya, tapi tidak lagi begitu bening dan tidak lagi begitu tajam. Mata itu juga menusuk langsung ke dalam mata cucunya. Kakek itu melihat masa lalu melalui cucunya. Dulu ia juga mengenal banyak hal dari kakeknya. Ia mengenal kerbau. Ia mengenal bunga rumput. Ia mengenal seruling. Ia mengenal suara sungai. Itu semua dari kakeknya. Lantas terpandang telapak tangannya sendiri yang keriput. Ia teringat telapak tangan kakeknya. Telapak tangannya sendiri dulu juga seperti telapak tangan cucunya.

“Itu semua sudah berlalu,” batin kakek itu sambil terus memandang mata cucunya. Ia seperti mencari sesuatu dari dirinya dalam diri cucunya.
“Tentu ada sesuatu dari dalam diriku.” Batinnya lagi, “seperti jua ada sesuatu dari diri kakekku dalam diriku.”
“Apakah kakek dulu juga bersekolah seperti aku ?”
“Aku tidak pernah sekolah, nak. Aku dulu belajar mengaji.”
“Mengaji.?”
“Ya, mengaji. Kamu tahu kan ? sebetulnya itu sekolah juga. Ayat-ayat kitab suci mengajarkan bagaimana hidup yang benar.”
“Kenapa bapak tidak mengajari aku mengaji sekarang ?”
“Tanyakan saja sendiri. Mungkin karena waktumu habis untuk sekolah. Kamu selalu pergi sampai sore.”
“Kalau memang kitab suci mengajarkan hidup yang benar, seharusnya bapak menyuruhku belajar mengaji.”
“Ya, tapi banyak orang berpikir belajar mengaji itu aneh di zaman sekarang. Mungkin bapakmu juga berpikir begitu. Ia berpikir kamu lebih baik belajar bahasa inggris.”
“Apakah hidup kita akan tidak benar kalau tidak pernah belajar mengaji sama sekali?” kakek itu terperangah. Keningnya berkerut. Ia menatap mata cucunya yang bening dan polos bercahaya. Itulah pertanyaan yang pernah ia ajukan kepada kakeknya dulu. Tapi ia tak ingin menjawab pertanyaan cucunya dengan jawaban kakeknya. Ia sendiri sudah lama berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan. Sekarang ia merasa harus berusaha keras menjawab pertanyaan cucunya itu, karena ia berpikit akan teringat sampai mati. Sering kali ia merasa sudah menemukan jawaban, tapi ia takut itu merupakan jawaban yang tidak sesuai untuk cucunya. Selama ini  memang sudah menemukan keyakinan, namun ia juga ingin cucunya menemukan keyakinan sendiri.

“Tanyakan saja pada gurumu,nak. Tentunya ia punya jawaban yang bagus.”
“Guruku tidak menjawab, kek. Ia hanya mengajarkan bagaimana caranya aku menemukan jawaban.”
“Wah, kalau begitu sekolahmu itu pasti sekolah yang bagus. Kamu beruntung sekali, nak. Kamu sangat beruntung . . .”

Anak kecil itu masih memandang mata kakeknya tanpa berkedip. Mereka saling bertatapan dan saling merasuki lorong kehidupan yang amat panjang ke masa lalu dan ke masa depan. Orang tua itu teringat kembali ia dulu juga menatap mata kakeknya begitu lama dan ia waktu itu merasakan rekaman sebuah perjalanan panjang sedang memasuki dirinya dan kini ia tengah memindahkan perjalanan kakeknya dan perjalanannya sendiri dalam diri cucunya dan ia membayangkan cucunya kelak setelah menjadi kakek akan memindahkan perjalanan leluhurnya ke dalam diri cicitnya. Sungai itu mendesah. Burung dara mengepakkan sayap. Desah sungai selalu seperti itu dan kepak sayap burung selalu seperti itu tapi manusia selalu berubah. Kakek itu mendengar cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Kakek itu memandang cucunya berlari-lari melintasi kerumuman burung-burung sehingga burung-burung itu beterbangan sebentar sebelum merendah kembali mematuki remah-remah roti di antara kerikil. Cucunya berlari-larian di atas kerikil bercampur pasir putih yang bersih.

“Ini sebuah tempat yang bagus,” pikir orang tua itu. Di seberang sungai itu ada pohon-pohon yang rindang tempat remaja berpacaran dan di seberang pohon-pohon yang rindang itu ada pagar tembok dan diluarnya  membayang deretan gedung-gedung bertingkat dan diatas gedung-gedung bertingkat itu bertengger antena-antena parabola. Mata orang tua itu berkedip-kedip karena silau

“Kakek ! ke sini !”

Terdengar cucunya memanggil. Orang tua itu duduk mendekat. Ia melihat cucunya duduk di tepi sungai, sungai itu jernih. Dasarnya terlihat jelas. Terlihat ikan bergerak-gerak di celah batu. Ia memandangi cucunya, ingin tahu anak itu mau berkata apa. Tapi anak kecil itu Cuma membenamkan dagu antara kedua lututnya. Seperti mendengarkan sungai. Remah-remah roti yang mereka bagikan telah habis. Burung-burung melayang pergi, mereka berdua memandang burung-burung berterbangan di langit. Makin lama makin menjauh dan menghilang seperti masa yang berlalu. Tak terdengar lagi kepak sayap burung. Tinggal suara sungai yang gemericik dan udara yang bergetar ditembus cahaya matahari.

(Seno Gumira Ajidarma)

Dodolitdodolitdodolibret

[seno+gumira.jpg]
Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.

“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.

Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.

”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”

Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.

Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.

”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”

Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.

Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.
Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.

Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.

”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.

Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.

”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, "dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan ?”

Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.

Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.

”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.
 _______________________________________________

Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”

Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.

”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.

Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”

Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.

Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!

”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.

Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.

”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.

Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.

”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.

Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.
Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.

”Guru! Lihat!”

Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!

Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?
Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.

”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”.


(Seno Gumira Ajidarma)