Hijau
dedaunan tampak menatap ragu. Dahan pohon melambai-lambai lesu tertiup
angin. Tanah terlihat retak dan kering. Sumber-sumber mata air sepi dari
jamahan penduduk, karena airnya kering kerontang. Tanpa disangka dan
diduga musim kemarau kali ini datang lebih awal dari biasanya. Tak hanya
itu musim kemarau ini terjadi sangat panjang. Alhasil air di sungai, rawa-rawa, atau sumur menjadi lebih cepat kering.
Seluruh
penduduk di Pulau Belitung kesulitan mendapatkan air. Tak terkecuali
dengan penduduk di Kelekak Pancor. Satu-satunya sumber air yang tidak
pernah kering hanya ada di antara dua bukit yang jaraknya lebih kurang
13-14 km dari tempat itu. Tempat itu bernama Selangan Libot (selangan =
antara ; libot = dua bukit).
Meskipun
jaraknya cukup jauh dari Kelekak Pancor penduduk tetap
berbondong-bondong berjalan kaki ke Selangan Libot untuk mengambil air.
Penduduk silih berganti menuju mata air itu, dari pagi buta hingga malam
hari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
*************
“Aku haus, aku haus ingin minum tapi tidak ada air” Manis berkata disela-sela tangisannya sambil meraung-raung.
Tangisan
Manis yang cukup keras terdengar oleh saudaranya Tuk Pancor. Tuk Pancor
yang tengah berada di ladang segera berlari ke rumah untuk mengetahui
apa yang tengah terjadi. Ketika tiba di rumah alangkah terkejutnya Tuk
Pancor karena melihat Manis, saudaranya yang paling kecil tengah
menangis kehausan di halaman depan rumah mereka. Tuk Pancor lalu
mendekati Manis dan berusaha menenangkannya.
“Sabar
Manis, tunggu lah sebentar lagi Nek Pancor pulang dari Selangan Libot
mengambil air” dengan penuh kasih sayang Tuk Pancor membujuk Manis
seraya mengelus-elus kepalanya.
“ Di mana-mana tidak ada air, aku ingin minum” jawab manis sambil terus menangis.
Meskipun
Tuk Pancor sudah berusaha keras menenangkan Manis, tapi dia menangis
semakin menjadi-jadi. Tuk Pancor tidak tega melihat Manis yang terus
menangis karena lelah dan kehausan. Seketika itu pula, Tuk Pancor
mengambil tempat air dan bergegas menuju Selangan Libot untuk mengambil air.
Musim
kemarau memang selalu hadir dengan berbagai suka citanya. Ada yang
merasa kesusahan saat musim kemarau tiba, karena kesulitan mencari air.
Di sisi lain ada yang merasa agak nyaman saat beraktifitas di luar rumah
tanpa takut kehujanan. Apalagi sebagian besar penduduk Kelekak Pancor
bekerja di ladang.
Cuaca
yang panas di siang hari saat musim kemarau, memang membuat banyak
orang beraktifitas di luar rumah. Orang-orang dewasa pergi untuk
berladang atau melakukan pekerjaan rumah lainnya, sementara anak-anak
menjadi semakin girang bermain di luar rumah. Kebanyakan anak-anak
berkumpul bersama teman-temannya lalu bermain bersama-sama. Hari itu pun
Manis pergi bermain bersama teman-temannya sejak pagi hari. Mereka
bermain sangat asyik hingga tak menyadari matahari perlahan mulai
meninggi dan bersinar semakin terik. Ketika semakin lelah, Manis pun
merasa kehausan. Dia lantas pulang ke rumah dan langsung menuju tempayan
tempat menyimpan air. Karena tak menemukan setitik air pun, dia terus
mencari ke seluruh penjuru rumah untuk melepas dahaganya. Malangnya,
Manis tidak menemukan air di rumahnya. Akan tetapi Manis tak kehabisan
akal, dia lalu menuju rumah tetangganya untuk meminta air. Hingga lelah
mencari Manis tak kunjung menemukan air. Rasa lelah dan haus yang
semakin menjadi-jadi membuatnya menangis meraung-raung.
Sepeninggalan
Tuk Pancor yang pergi menuju Selangan Libot, Manis terus menangis dan
meratap kehausan. Cuaca pun semakin panas karena hari semakin siang.
Matahari telah mencapai ketinggian maksimal di singgasananya. Di tengah
gumpalan awan-awan putih yang berarak matahari semakin ganas memuntahkan
panasnya ke bumi. Manis terus menangis sambil menghentak-hentakan
kakinya ke tanah. Semakin haus semakin bertambah keras pula hentakan
kakinya ke tanah.
Sementara
itu Tuk Pancor berjalan tergesa-gesa dan setengah berlari sambil
membawa tempat air. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Rasa
lelah sudah pasti dirasakannya. Akan tetapi karena teringat Manis yang
tengah kehausan menunggunya, semua kelelahannya seakan tak berarti
apa-apa. Saat itu yang ada di benaknya hanyalah satu hal, yaitu sesegera
mungkin tiba di Selangan Libot mengambil air untuk Manis dan kembali ke
rumah. Di tengah perjalanan Tuk Pancor beberapa kali berpapasan dengan
penduduk yang juga mengambil air dari Selangan Libot.
Di
halaman depan rumah mereka, Manis terus menangis sembari menanti Tuk
Pancor yang pergi mengambil air untuknya. Saat itu rasa hausnya sudah
tak tertahankan lagi dan kian memuncak. Tanpa sadar dengan hentakan
kakinya Manis telah mengerok tanah semakin dalam. Saat itu juga Manis
meratap sambil tangannya menunjuk ke arah tanah tempat dia menghentakkan
kakinya,
“apakah saya masih diberi kesempatan untuk hidup, maka keluarkanlah air dari tempat ini” .
Dengan
kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, serta merta terjadilah keajaiban. Pada
saat itu juga keluarlah air yang jernih dari tempat itu. Manis bersorak
kegirangan dan minum sepuasnya.
Setelah
tempat air yang dibawanya terisi penuh, Tuk Pancor segera bergegas
kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin menemui Manis dan
memberikan air yang dibawanya. Sepanjang perjalanan Tuk
Pancor tersenyum membayangkan wajah Manis yang kegirangan karena
akhirnya mendapatkan air. Segala rasa lelah sepanjang perjalanan seakan
terbayar dengan hal itu.
Air
dari dalam tanah itu memancar semakin deras. Manis semakin kegirangan
dan terus minum hingga hausnya tak terasa lagi. Dari kejauhan terlihat
Tuk Pancor terengah-tengah karena berlari mengambil air untuk Manis. Dia
tidak tega melihat saudaranya tersiksa kehausan, karena ketika
ditinggalkannya tadi Manis sudah sangat letih. Namun ketika sudah dekat
dengan rumahnya Tuk Pancor tidak lagi mendengar suara tangisan Manis.
Saat semakin dekat dengan rumahnya, Tuk Pancor semakin terheran-heran
karena Manis tidak lagi menangis. Manis terlihat segar bugar dan telah
bermain dengan riangnya, tidak terpancar sedikitpun keletihan di
wajahnya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi ternyata Manis bermain
dengan air.
Menyaksikan
hal tersebut Tuk Pancor segera menghampiri Manis. Tuk Pancor segera
menanyakan bagaimana cara Manis mendapatkan air serta berusaha melarang
Manis bermain air karena saat itu air sulit di dapat.
“Manis
bagaimana kamu bisa mendapatkan air? Bukankah tadi kau menangis karena
kehausan? Lantas jangan kau buang-buang begitu saja air ini, karena saat
ini kita semua tengah kesulitan untuk mendapatkan air” Tuk Pancor bertanya dengan masih diliputi rasa heran.
“Air ini dari dalam tanah” jawab Manis dengan polos.
Manis
semakin girang dan terus bermain dengan air itu. Sementara Tuk Pancor
semakin bingung dan heran mendengar jawaban Manis. Maka dia pun kembali
bertanya kepada Manis.
“Manis sayang, bisakah kau ceritakan bagaimana air ini bisa muncul dari dalam tanah?”
“Tadi
sambil menangis aku menghentak-hentakkan kakiku ke tanah, semakin lama
semakin keras kuhentakkan kakiku karena semakin lelah dan haus aku
berdoa meminta air dari dalam sini”
Manis menjawab seraya menunjuk ke tanah yang saat ini memancarkan air.
Mendengar
jawaban Manis, Tuk Pancor pun merasa lega bercampur heran. Semakin
lama, sumber air itu semakin memancarkan air dengan deras.
Sejak
saat itu penduduk di Kelekak Pancor tidak lagi kesulitan menempuh jarak
jauh untuk mendapatkan air. Mereka merasa senang karena kebutuhan
sehari-harinya terpenuhi.
Hingga
saat ini sumur tersebut dikenal dengan nama Telaga Moyang Manis. Sumur
itu merupakan tanah cekung bekas galian yang besar, garis tengahnya
kira-kira dua meter dan dalamnya kira-kira enam puluh sentimeter.
Letaknya tidak jauh dari Sungai Pancor atau sungai tempat Tuk Pancor
mendarat untuk pertama kali di daerah itu.