Jumat, 18 April 2014

Dodolitdodolitdodolibret

[seno+gumira.jpg]
Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.

“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.

Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.

”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”

Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.

Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.

”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”

Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.

Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.
Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.

Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.

”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.

Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.

”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, "dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan ?”

Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.

Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.

”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.
 _______________________________________________

Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”

Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.

”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.

Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”

Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.

Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!

”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.

Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.

”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.

Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.

”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.

Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.
Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.

”Guru! Lihat!”

Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!

Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?
Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.

”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”.


(Seno Gumira Ajidarma)

Rabu, 16 April 2014

Cerita "Abu Nawas dan Ayam Panggang"

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2tD1X6MI1T64XkD8hrJi7tU1TlP905A8nYhuLV1fEWgajfLhXLsMb7LNXhbiJUF0epbELgF8vF2cZPVSOvaRKaHPxaDLPY3DSM0_bSlIv6DbU8zh6VvgnFxgrU2-WZOa_BU2IaSN_TVk/s1600/jadingemis-09-10-05f.jpg
Al kisah Abu Nawas dipanggil Sultan Harun al Rasyid. Sudah lama sultan dendam dengan Abu Nawas. Dia ingin membunuh Abu Nawas, tetapi tidak menemukan akal.

Suatu hari dia ingat, bahwa hobi Abu Nawas adalah makan ayam. "nah, ini dia..." Abu Nawas terus dipanggil, dengan disertai undangan kepada khalayak ramai, bahwa Abu Nawas dihukum mati karena kalah berteka-teki melawan sultan.

Pada hari yang ditentukan, Abu Nawas datang. Dia disodori ayam panggang. Air liurnya menetes keluar. Tetapi dia terkejut, melihat sultan dikelilingi algojo.

"Ada apa Sultan ? " tanya Abu Nawas kepada sultan.


"Abu Nawas, ayam panggang ini harus kau nikmati. Jika tidak, kau akan dihukum mati dengan tuduhan menghina sultan. Apapun yang kau kerjakan terhadap ayam itu, aku akan berbuat serupa terhadap kamu" kata sultan.

"Apa maksud sultan" tanya abu nawas penuh heran.

"Begini, jika kau makan leher, aku akan memotong lehermu. Jika kau maka dada, maka dadamu akan aku belah. Jika kau makan paha ayam itu, maka pahamu akan aku potong?" jawab Sultan.

Dengan penuh kebingungan, dalam hati Abu Nawas bergumam. "dimakan, aku mati. Tidak dimakan, aku mati juga"

Setelah beberapa saat merenung sembari memikirkan apa yang harus dilakukannya akhirnya, Abu Nawas mendapat dapat akal. Langsung saja seluruh tubuh ayam panggang itu dijilati, mulai dari kepala sampai ke liang dubur.

Setelah itu, Abu Nawas memelorotkan celananya sambil berkata "Sultan, saya siap menerima perlakuan yang sama dari Sultan". Sesaat itupula sultan terdiam, hadirin geger, tidak bisa membayangkan sultan akan menjilati seluruh tubuh abu nawas. 

Si Kabayan Dan Pak Ustadz

http://fc08.deviantart.net/fs70/i/2011/018/0/f/si_kabayan_by_blacklightzzz-d37h7h8.jpg
Si Kabayan seorang laki-laki yang beasal dari desa, telah lima tahun menuntut ilmu di negeri paman sam. Suatu hari… ia kembali ke desanya. Nyai Iteung (Istrinya) merasa heran dengan perubahan yang terjadi pada diri sang suami (Kabayan). Kabayan yang dulunya rajin shalat… kini ga pernah lagi terlihat pergi ke masjid “boro-boro ke masjid… shalat di rumahpun ga pernah”…Iteung penasaran dan menanyakan kepada sang suami kenapa dia menjadi berubah. “Kang Kabayan! Iteung mah ngerasa aneh sama akang!” Kata iteung heran

“Aneh kenapa atuh nyi!” Jawab kang Kabayan.
“Kenapa sekarang akang jarang shalat… jarang ngaji…. dan ga pernah pergi ke masjid!” tambah iteung.
“Sekarang saya punya keyakinan baru dari negeri paman sam sana iteung!” jawab Kabayan dengan nada tinggi.
“Astaghfirullah….! kenapa akang jadi begini?” Iteung sedih.
“Sudahlah Iteung… kamu bawa saja kiayi atau ustad paling hebat di kampung ini! dia pasti ga bisa jawab pertanyaan akang, dia pasti jadi pengikut akang” Kata Kabayan dengan sombong.

Iteung merasa khawatir… iapun bergegas memanggil ustad Asep, salah satu guru ngaji di kampung tetangga. Atas panggilan Iteung, datanglah sang ustad ke rumah si Kabayan.

“Anda siapa?” tanya kabayan.
“Saya ustad Asep, dari kampung sebelah”
“Benar kamu ustad? kalo benar kamu ustad… dan kamu percaya bahwa tuhan itu ada, kamu pasti bisa menjawab pertanyaan saya. Tetapi kalau tidak bisa… tinggalkan saja agamamu itu!” Kabayan menantang sang ustad…
“InsyaAllah… jika Allah mengijinkan saya akan menjawabnya.”
Kata ustad,
“Kamu jangan yakin dulu… di Amerika saja, waktu saya kuliah… Profesor paling pintar sekalipun tidak ada yang bisa menjawab” Hardik Kabayan dengan yakin.
“Kalau begitu… pertanyaan apa yang akan kang Kabayan tujukan pada saya?” Tanya ustad.
“Begini…

1. Kalau benar tuhan itu ada, tunjukan wujud tuhan kepada saya.
2. Kalau benar manusia mempunyai takdir, apa itu takdir dan tunjukan pula pada saya.
3. Setan itu kan diciptakan dari Api, lalu kenapa tuhan memasukan setan ke dalam neraka? bukankah neraka juga terbuat dari api? apakah setan akan merasa sakit dengan api? mengapa tuhan tidak berfikir sampai kesitu?”

“PLAK….” (itu gambaran saya tentang suara tamparan) tiba-tiba sang ustad menampar pipi Kabayan dengan keras.
“Aduh…. kenapa kamu menampar saya? kamu marah? kalau tidak bisa membuktikan jangan marah!” kata Kabayan

Sang ustad tersenyum. “Itu adalah jawaban dari ketiga pertanyaan akang”

Kabayan : “Kalau kalah jangan marah…”
Ustad : “Bagai mana rasa tamparan saya”
Kabayan : “Sakit!”
Ustad : “Akang percaya rasa sakit itu ada?”
Kabayan : “Saya percaya!”
Ustad : “Tunjukan wujud sakit itu pada saya”
Kabayan : “Saya tidak bisa menunjukan wujudnya”
Ustad : “Itulah jawaban pertanyan pertama anda. Sesungguhnya Tuhan itu ada namun manusia tidak akan mampu melihat wujudnya”
Ustad : “Apakah sebelum saya datang Akang berfikir akan merima tamparan dari saya hari ini?”
Kabayan : “Tidak!”
Ustad : “itulah yang dinamakan takdir…”
Ustad : “terbuat dari apa tangan saya?”
Kabayan : “Kulit…”
Ustad : “Terbuat dari apa pipi Akang?”
Kabayan : “Kulit juga.”
Ustad : “Bagaimana rasa tamparan saya?”
Kabayan : “sakit!”
Ustad : “Walaupun setan terbuat dari api dan neraka pun terbuat dari api… jika Tuhan berkehendak maka neraka merupakan tempat yang menyakitkan bagi setan”
Mendengar jawaban dari sang ustad… sikabayan terdiam.

Selasa, 15 April 2014

Puisi : Belajar Membaca (Sutardji Calzoum Bachri)

 photo sutardji.jpg
Kakiku Luka
Luka Kakiku
Kakikau Lukakah
Lukakah Kakikau

Kalau Kakikau Luka
Lukakukah Kakikau
Kakiku Luka
Lukakaukah Kakiku

Kalau Lukaku Lukakau
Kakiku Kakikaukah
Kakikaukah Kakiku
Kakiku Luka Kaku

Kalau Lukaku Lukakau
Lukakakukakiku Lukakakukakikaukah
Lukakakukakikaukah Lukakakukakiku

Senin, 14 April 2014

Puisi : Air Mata Bola Basket


Air Mata Bola Basket Dalam Kaset . . .
Air Mata Bola Basket Dalam . . .
Air Mata Bola Basket . . .
Air Mata Bola . . .
Air Mata . . .
Air . . .
A
I
R
M
A
T
A
Bola Basket Dalam Kaset

Karya : Ghani

Beri Aku Maaf, Teman

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsSDq1C_Og6oGkIWkVKqIz0ZKwNbqZU7PmkTB3tRjZrjXFItj3NpMF81mJIuROXUbRXh2fV6JubQNy3L8fkOWM1wAnFaJ7Usr1XAaqEMHjYReE1s3vveumc-rObSZvC3gLF_3a2PApLDu0/s1600/sahabat21.jpg
Berbagai cara sudah dilakukan Ano untuk meredakan kebekuan hati Udik. Namun belum membuahkan hasil. Udik masih tetap marah dan tak mau mengajaknya bicara. Ano heran setengah mati, udik bersikap seperti itu. Ano tak menyangka sama sekali apa yang dilakukan membuat sohib dekatnya tersinggung dan marah besar. Ano mengakui kesalahannya, tapi Udik belum membuka pintu maaf baginya.

Bagaikan perang kalah, perasaan Ano melihat kenyataan itu. Sedih, teramat tragis. Ia sangat terpukul ketika permintaan maafnya yang kesekian, sore kemarin, ditolak mentah-mentah.

“Aku belum bisa melupakan peristiwa itu. Suatu saat jika sudah lenyap dari benakku, aku akan menerima maafmu.” Itu yang diucapkan Udik ketika Ano jauh-jauh menemuinya.

Ano mencatat, empat kali ia minta maaf pada Udik. Empat kali pula ia harus kecewa, permintaan maafnya tidak direspons . Ano mengakuinya, dirinya memang salah. Karenanya, ia berupaya minta maaf pada Udik.
Terlintas  jelas di benak Ano bagaimana peristiwa itu terjadi. Secara tak sengaja ia biarkan Udik menunggu disambati Ano. Di mata Ano, Udik baik dan entengan. Sayang, peristiwa stasiun itu, membuat hubungan itu memburuk.

Permasalahannya sepele, Ano tak menemukan Udik ketika keretanya tiba di stasiun. Dicari sana-sini, batang hidung Udin tak Nampak. Dalam keadaan bingung muncullah wahyu, teman sekampusnya. Singkat cerita Ano pulang dengan Wahyu.

Siangnya udik datang ke tempat Ano. Berbagai makian ditumpahkan Udik. Udik menganggap Ano mempermainkan. Disuruh menjemput, tapi malah dibiarkan bingung. Ano menjelaskan bahwa dirinya sudah mencari Udik, tapi tak ada. Udik beralasan ia sedang ke kamar kecil dan malah menyalahkan Ano yang tidak menelponnya. Mengapa saat itu Ano tidak ngontak Udik, karena HP-nya low bath. Sebenarnya ia bisa telpon lewat wartel yang ada di situ.

Tapi karena panik, ingin cepat-cepat sampai di tempat kost, Ano tak melakukan itu. Dan kesalahan itulah membuat Udik berang. Betul-betul marah pada Ano.

Ano sudah minta pendapat teman-teman, langkah apa yang diambil. Sebenarnya bisa saja Ano cuek dengan kelakuan Udik itu. Tapi sebagai orang yang masih mempunyai hati nurani, Ano merasa perlu minta maaf.

“Masak salah dan bikin orang teraniaya diam saja. Sudah sepantasnya aku minta maaf.” Ujar Ano pada Sinta.

Sinta bisa mengerti yang diamui teman sekampus itu. Tapi ia merasa tak rela jika Ano dilecehkan oleh Udik seperti itu.

“Ngapain kamu minta maaf, sementara yang kamu mintai maaf ketus kayak gitu. Lupakan saja, Anggap sudah selesai saja,” saran Sinta.
“Wah tak segampang itu, Sin!”
“Kan sia-sia kalau tanggapan Udik terus seperti itu.”
“Justru itu aku harus bisa mendapat maaf darinya. Baru setelah itu lega.”
Udik sebenarnya sudah disadarkan teman-temannya. Apa yang dilakukan tidak baik. Namun Udik mengaku merasa masih sakit hati atas kejadian itu. Ia punya pendapat, sikap ngeyelnya itu untuk member pelajaran Ano.
“Tapi kasihan Ano kalau kamu seperti it uterus. Padahal dia benar-benar mendambakan maafmu,” ungkap Indro.
“Itu resiko dia. Berani berbuat, berani menanggung akibatnya!”
“Dia sangat menghormatimu, Kalau dia tidak menganggapmu, pasti tak akan minta maaf. Mestinya kamu tahu itu. Apa sih sulitnya member maaf?”

Udik terdiam. Lontaran Indro menusuk kedalam sanubari Udik. Sesuatu sedang dipikir cowok itu.
Gerimis mewarnai atmosfir malam itu. Ano malas keluar rumah. Ia masih dikamar sambil mendengarkan teriakan nyaring Chris Cornell, vokalis Audioslaves. Padalah lapar sudah meliliti perut.

Ano terperanjat ketika pintu diketuk. Lebih terkejut lagi saat Udik di hadapannya, begitu pintu dibuka. Berbagai perasaan berkecamuk di benak Ano. Apa yang akan dilakukan Udik terhadap dirinya ? Pikiran itu menyelusuri di sekujur darah Ano.

“Maaf kedatanganku mengejutkanmu. Ada hal penting yang perlu kuungkapkan padamu, Ano.”
“Eh, nggak apa-apa kok,” Jawab Ano kikuk.
“Aku hanya mau minta maaf padamu. Selama ini aku telah menyusahkan dirimu.”
“Lho, yang mestinya minta maaf kan aku.”
“Nggak. Aku telah menyia-nyiakan kebaikanmu. Aku sudah menolak maafmu selama ini. Padahal maafmu itu tulus. Aku sadar, apa yang kulakukan itu salah.”

Ano terdiam.

“Untung ini tidak berlarut-larut. Teman-teman menyadarkanku aku. Aku menyesali atas sikapku selama ini Ano. Minta maaf memang hal yang paling sulit diucapkan. Tapi aku harus melakukannya.” Tambah Udik.
“Jadi, kamu sudah memaafkanku, Dik ?”
“Tentu, kita temanan lagi.”
“Benarkah itu ?”

Udik mengangguk. Ano tersenyum memancarkan kegembiraan. Maaf yang ditunggu-tunggu, datang sudah. Tak ada kebahagiaan bagi Ano yang melebihi peristiwa malam itu.