Minggu, 06 April 2014

Di Atas Kereta Rel Listrik

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnMCdep8ReTP2zZD6ymLYlltRozB6sqj9RVkoC3Qc7c6hErxHCfYdAmbAzUIOTcRFEuWYmt84neJLaU_uRmLh2mGshZ92EjZg9-M3kEs_6g_ChzmoxN2N_9rJf5KcCQJMXBYzgpGZvFv4/s1600/eko+biasa.jpg
Tidak lama setelah itu, sekawanan remaja sekolah menengah umum seusia anak yang duduk di sebelahku, muncul dari gerbong di depan gerbong kami. Mereka masuk dengan sikap beringas dan tidak menunjukan sikap sopan. Inilah awal malapetaka itu.
Melihat kedatangan sekawanan anak sekolah itu, anak laki-laki yang baru naik dan duduk disebelahku, jadi gelisah. Dia bergeser dekat denganku.

“Tolong lindungi saya, pak. “saya sama sekali tidak terlibat dalam perkelahian itu. Aku tidak ikut-ikutan”
Dia makin cemas dan gelisah. Mungkin dia menyadari kalau dia sedang berhadapan dengan bahaya, dan dia sudah terperangkap di antara langit-langit dan dinding garbing. Tak ada tempat untuk menghindar.

“Murid-murid sekolah kami berkelahi dengan murid-murid sekolah mereka. Ada tiga korban terbunuh dari pihak mereka. Saya tidak ikut-ikutan dalam perkelahian itu. Tolong lindungi saya, pak.”
“Kalau begitu persoalannya duduklah dengan tenang di sebelahku. Tak ada yang perlu dicemaskan. bersikaplah seolah kau anakku.”
“Terima Kasih, pak.” Katanya.

Namun, semuanya terjadi di luar perhitunganku.  Dan tak dapat dihindarkan mereka pun melihat anak itu dan dapat menandai dari seragam sekolah yang dikenakannya. Seorang dari mereka datang kearah kami. Mencengkeram dan merenggut kerah baju dibagian lehernya. Terdengar benang tetas di bagian kerah yang direnggut anak itu. Mereka menyeretnya dari sisiku. Aku langsung bertindak mencegahnya. Tetapi mereka mendorongku dengan kasar, membiarkan aku terjungkal di atas lantai. Kemudian dengan sangat brutal mereka melakukan penganiayaan padanya. Sekarang gerbong itu telah berubah menjadi penyiksaan.

“Apa persoalannya? Mari kita selesaikan dengan baik-baik. Jangan bertingak seperti itu. Siapa tahu dia bukanlah orang yang kalian maksud.”
“Bapak jangan ikut campur,” kata salah seorang dari mereka. Dia memegang besi lancip seperti obeng.
“Siapapun di antara kalian yang mencoba ikut campur, kami tidak segan-segan melukainya. Tiga teman kami mereka bunuh dengan cara yang sangat kejam. Tanda pengenal sekolah mereka, mereka ikat di leher teman-teman kami seperti dari kematian. Kekejaman harus dibalas dengan kekejaman yang sama!”
“Aku tidak ikut berkelahi. Aku tidak ikut membunuh. Aku hanya dari sekolah yang sama. Tolong jangan bunuh aku,” kata anak itu.
“Diam! Tiga temang kami telah kalian bunuh dengan cara kejam. Apa pun yang kau katakana sekarang, aku tidak percaya. Kau dusta ! sekarang, jangan coba-coba berlindung dibalik kata-kata bohongmu!”
“Biarkan dia bicara, supaya jelas duduk persoalannya,” kataku.
“Diam kau orang tua!” hardik mereka. Sebuah tendangan yang luar biasa kuatnya menghantam mukaku. Aku tersungkur di lantai. Ceceran darah terasa hangat menjalar dibawah hidungku.

Anak gadis yang duduk disebelahku bergegas menghampiriku dan melindungiku dari amukan mereka. Ia memapahku ke tempat duduk semula. Dikeluarkannya kertas tisu, dihapusnya darah yang menetes di bibirku.
“Saudara-saudara sekalian, malirah kita kendurkan sejenak ketegangan saraf kita. Mari kita lupakan sejenak segala terror  yang diberondongkan kepada kita. . . .  aku dan kekasihku baru saja membeli tep recorder, suaranya sangat bagus untuk sejenisnya. Sekarang, mari kita bergembira.”

Dikeluarkannya tep recorder dari dalam kotak pembungkusnya. Dimasukkanya sebuah pita rekaman. Dipencetnya sebuah tombol disana dan didalam volume tinggi, mengumandanglah sebuah lagu. Dia raih tangan kekasihnya yang duduk bersamanya. Diajaknya berdiri, dan keduanya pun menari. Mereka diatas rel kereta listrik yang sedang berjalan laju.

“Ayo, semua menari.” Ajaknya. “mari kita lupakan sejenak segala duka. Duka yang diakibatkan segala macam kekerasan. Duka yang terjadi di ladang-ladang pembantaian. Mari kita menari. Mari kita lupakan sejenak semua itu. Mari kita menari bersama.”

Melihat tingkah kedua remaja itu, ditambah ajakanya yang menggoda , serta music pengiringnya yang merangsang, penumpang-penumpang yang banyak itu pun tergelitik ikut menari. Dia menoleh kepada dan berkata, “mari kita ikut menari, pak!”
“Taklah. Badan bapak masih terasa sakit, kau sajalah yang menari.”
“Tapi tak ada pasangan yang tersisa untukku. Ayolah. Temani saya. Tak apalah sakit-sakit sedikit. Apa kata anak-anak muda itu? Lupakan sejenak segala duka! Mari sejenak kita ikut berlupa-lupa”
“Bapak tak pantas menari bersamamu. Malu dilihat orang. Apa kata mereka nanti? Si tua tak tahu tuanya!”
“Semua orang sekarang sedang gila menari! Tak pantas kalau kita tak ikut menari di tengah orang yang sedang menari. Ayolah, pak. Ayolah. Malu bukan lagi milik orang sekarang ini. Ayolah. Lupakan sejenak segala duka! Mari bergembira.” Ditariknya tanganku.
“Saya ingin sekali menari di atas rel listrik yang sedang berjalan. Bagaimana melenggok di atas lantai yang bergoyang. Tak pernah kutemukan suasana gila seperti ini, seumur-umur. Ayolah, pak. Mumpung ada orang yang mengambil inisiatif,”

Makin ditariknya tanganku. Betul juga katanya, tak pantas berdiam diri ditengah orang yang menari. Aku pun mengikuti ajakannya. Aku ikut gila ditengah kegilaan yang gila.

Kereta rel listrik itu tiba-tiba berjalan perlahan dan berhenti. Pasangan remaja itu turun tanpa mematikan musik yang mengumandang dari dalam tep recorder yang dibawanya. Orang-orang yang menari itu ikut pula turun , sambil terus menari seolah tersihir musik yang terus mengumandang dari tep recorder itu. Aku pun ikut terpukau, ikut turun dari gerbong mengikuti irama musik yang terus mengumandang itu. Kami seolah telah menjadi tikus-tikus dalam sebuah dongeng mengikuti tiupan seruling seorang pangeran.

Begitu kakiku menginjak peron. Tiba-tiba aku teringat sepatu anak laki-laki yang tertinggal di dalam gerbong. Aku dikembalikan pada niatku. Aku telah memutuskan  hendak membawa sepatu itu ke rumah. Aku akan tunjukan kepada anak-anakku di rumah, bahwa sepatu itu merupakan wujud sebuah duka yang memilukan dari hasil perkelahian antar pelajar seusia mereka.
Hamsad Rangkuti

0 komentar:

Posting Komentar